Langit tampak berat sejak pagi, seolah menggantungkan sesuatu yang tidak ingin jatuh. Udara di ruang kelas terasa lembap, bercampur bau kapur tua dan kayu lapuk. Suara kipas tua di langit-langit berdecit pelan, seperti mengeluh karena harus terus bergerak.
Rana duduk di barisan ketiga dari depan, seperti biasanya. Ia bukan tipe yang suka menonjol, dan tak pernah terlalu dekat dengan teman sekelas. Diam, tenang, dan menjaga jarak. Tapi matanya awas—lebih awas dari siapa pun.
Dari jendela, ia memperhatikan segerombolan burung yang terbang ke arah barat. Bukan ke utara, seperti biasanya. Entah kenapa, itu membuatnya gelisah.
“Kamu tahu nggak sih, katanya korban yang hilang kemarin itu terakhir kelihatan deket-deket sini.”
Suara Lani, teman sebangkunya, memecah lamunan.
Rana menoleh. “Di sekitar sekolah?”
Lani mengangguk cepat, setengah bergosip, setengah takut. “Iya. Salah satu korban terlihat di CCTV berjalan masuk ke sekolah dan tak pernah kembali. ”
Rana mencoba tersenyum, tapi jemarinya di atas meja terasa tegang.
Lani menunduk sedikit. “Semuanya hilang gitu aja. Kayak… hilang ditelan bumi.”
Rana tidak menjawab. Ia teringat minggu lalu, saat pulang les. Ia melihat sosok di balik pagar itu. Berdiri diam. Tak bergerak. Membelakangi lampu jalan. Tapi yang paling aneh… sosok itu tidak punya bayangan.
Ia tidak pernah cerita pada siapa pun. Bahkan dirinya sendiri pun mencoba melupakan.
Tak lama kemudian, jam istirahat hampir selesai. Teman-teman mulai kembali dari kantin, beberapa duduk bergerombol, mengobrol sambil menunggu bel masuk. Di sudut ruangan, Aleysha duduk bersama Devi, mulai bercerita.
“Aku nonton berita tadi pagi. Korban yang hilang itu… semuanya anak sekolah. Lima orang, dari sekolah berbeda, tapi hilangnya di tempat yang mirip—dekat sekolah kita ini”.
Devi terlihat merinding. “Kamu yakin ini bukan cuma kebetulan?”