WakTu itu belum malam, masih siang malah. Pesawat yang membawaku dari Indonesia menuju Jepang, sudah berangkat lebih dari dua jam yang lalu. Aku membuat diriku senyaman mungkin di dalam pesawat Garuda Airlines ini. Setidaknya, aku harus membuat diriku berpikir positif tentang negara yang akan aku injak enam jam lagi, karena ketika kakiku menginjak tempat itu, aku tidak akan beranjak keluar. Aku tidak bisa keluar dari negeri sakura itu karena sudah tidak ada tempat lagi untukku di Indonesia, setidaknya saat ini, sampai mungkin kakek dan nenekku membuka hati untuk menerimaku di tempat mereka.
Di sebelahku duduk laki-laki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, sampai hari ini. Wajahnya tirus dengan mata sipit yang tertutup ―tampaknya dia sedang tidur. Pakaiannya luar biasa rapi, dengan jas dan dasi seperti para direktur bank. Dan, aku harus mulai membiasakan diriku memanggilnya Ojisan karena dia adalah pamanku.
Empat hari sebelum aku bertemu pamanku ini, aku masih berdiri di pelataran rumahku, terpekur sendirian, bahkan aku sudah tidak mampu lagi untuk menangis. Tubuh kedua orangtuaku dan adikku baru saja dikubur, dan tanah kuburannya masih memerah. Dalam sekejap, aku menjadi yatim piatu. Itu buruk, apalagi untuk anak seusiaku yang baru lima belas tahun. Itu sangat buruk!
Papaku memiliki beberapa saudara, tapi papaku melanggar adat karena menikah dengan mamaku dan dikucilkan keluarganya. Aku tentu tidak membenci Papa yang bertindak seperti itu. Kalau aku membenci tindakannya, maka aku tidak akan pernah lahir ke dunia ini. Aku juga tidak menyalahkan mamak (paman) dan ande-ande (bibi) –ku. Mereka pasti sangat marah, sampai tak bisa memaafkan papaku. Oke, bukan itu masalahnya. Yang jadi masalah sekarang adalah bagaimana dengan nasibku?
Apa yang bisa dilakukan seorang anak berusia lima belas tahun di kota besar sendirian, tanpa wali? Kamu tahu? Mungkin aku akan dimasukkan ke dalam panti asuhan. Tapi, aku memiliki rumah di sini. Rumah ini tentu saja warisan mama dan papaku, tapi aku masih terlalu muda dan tidak tahu mengolah warisan ini. Jadi, sekarang aku duduk bersender pada palang pintu sambil berpikir, apa yang mesti aku lakukan?
Sore itu, setelah acara penguburan Papa, Mama, dan adikku selesai, setelah semua kesenyapan dan kesedihan yang menyergap
hatiku, muncullah dia ―aku seharusnya tidak bilang orang itu, dia. Dia itu Uncu, adik papaku yang paling bungsu. Dia perempuan berjilbab dan cantik. Kamu tahu? Cantik dalam arti yang sebenarnya. Uncu-ku itu memang sedikit berbeda, bahkan sempat aku berpikir kalau uncu-ku itu memiliki darah Arab di dalam dirinya ―seandainya aku mengabaikan bahwa dia memang benar-benar keturunan Minang totok― ditambah pula usianya yang baru dua puluh tahun. Namanya tentu saja bukan Uncu, namanya manis ―Mariani. Uncu hanya sebutan untuk anak paling bontot.
Kehadiran Uncu bagai oasis di padang gersang hatiku yang sesungguhnya sangat pedih. Uncu berbeda dengan keluarga Papa yang lain. Dia baik dan perhatian. Oh iya, papaku memang pernah bercerita kalau dia memiliki seorang adik yang sejak awal bersekolah di sebuah pesantren yang paling bagus di Padang. Saat ini Uncu tengah kuliah Jurusan Fisika, IKIP, Padang. Cita-citanya hendak jadi guru dan mencerdaskan anak-anak Minang yang rata-rata masih terbelakang. Kamu tahu? Dia memang seorang wanita yang baik hati.
Mula-mula Uncu dengan sabar menghiburku. Bahkan dia untuk sementara waktu tinggal di rumahku, menemaniku bersama seorang bibi yang masih bekerja di rumahku. Memang itu menyenangkan hatiku ―dan, itu tampak sangat manis. Tapi, toh Uncu tidak bisa berlama-lama di sini. Dia harus kembali ke Padang untuk melanjutkan studinya. Lalu, bagaimana denganku di sini? Aku sudah terlanjur senang Uncu datang dan menghiburku.
Lalu, hari penentuan itu datang juga. Sungguh, aku tidak pernah menyangka segalanya bisa berbalik 180 derajat seperti ini. Tentu saja aku senang ketika Uncu bersedia untuk mengasuhku ―tapi kamu tahu, itu adalah hal yang tidak mungkin dilakukannya sekarang. Uncu masih kuliah, belum memiliki apa pun yang bisa dia gunakan untuk menghidupi aku. Nenek dan kakekku dari pihak Papa bersikeras untuk tidak mengambilku, toh papaku sudah dianggap hilang dalam urutan keluarga. Walau mereka marah dengan sikap papaku dulu, tapi ketika hari kematian Papa dan Mama, mereka datang.