Timah panas itu menghujam dadaku. Samar kumelihat mereka yang kukenal bergelimpangan meregang nyawa tergeletak jatuh di depanku. Mereka semua mati demi melindungiku walau nyatanya mereka gagal. Kini giliranku meregang nyawa. Merasakan seperti apa yang mereka rasakan. Aku masih dapat mencium asap tipis berbau daging gosong yang mungkin keluar dari dadaku. Detik demi detik terasa begitu menyakitkan. Sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Kini aku ambruk, kepalaku terbentur lantai berbau darah anyir yang bergetar dengan langkah-langkah kaki bersepatu PDL. Aku tak mampu lagi menahan kesadaranku. Sesak seketika melanda dengan hebat bersamaan dengan sesuatu yang menarik keras ubun-ubunku. Sakit, begitu sakit. Dalam samar pandanganku yang perlahan pudar, tiba-tiba wajah Klaudia dan Ariel menjadi bayangan penutup hidupku.
Mereka adalah istri dan anakku.
Aku tidak pernah merasakan ada pada keheningan dan kegelapan seperti apa yang kurasa kini. Tidak ada apapun, hanya pekat yang lebih dalam. Bahkan hitamnya kegelapan pun tak mampu mendekati kepekatan ini. Sementara heningnya, rasanya aku mampu mendengar denyut jantungku, embusan napasku, hingga decit kecil di setiap pergerakan tulangku. Perlahan bulu romaku berdiri. Aku takut, ketakutan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin karena takut akan penghakiman Tuhan, atau bisa jadi karena aku telah mati dan tidak akan bisa bertemu istri dan anakku lagi. Perasaan itu mengiris perih hatiku sehingga tangisan adalah hal terakhir yang mampu menguranginya.
"Habisin aja!" terdengar suara seorang pria yang menggetarkan perasaanku.
"Jangan Ron! Tolong, ini uang terakhir gue, buat ongkos gue pulang!" terdengar suara pria lain yang bergetar ketakutan.
"Gue nggak peduli! Gue butuh buat beli barang. Lo pulang ngesot aja!" hardik pria lain yang tengah mengancam pria sebelumnya.
Mendengar semua itu, aku segera mencari arah suara. Melangkah dengan arahan daya pendengaranku. Suara itu semakin jelas menggambarkan suatu kekerasan dari pria bernama Ron tersebut. Mungkin itu suatu perampokan, atau pemalakan rendahan di pasar tradisional dari preman-preman kampung.
Aku makin jelas mendengarnya. Bersamaan dengan itu, seberkas cahaya perlahan menelisik mengisi ruang. Perlahan aku mampu melihat dimana kau berada. Sebuah tempat yang begitu kosong tanpa apapun. Aku kini mempercepat langkahku menuju arah suara. Berjalan beberapa lama hingga langkahku terhenti saat melihat sebuah pintu. Sebuah pintu kuning yang tampak tidak mampu lagi menahan cahaya di luar yang hendak menerobos masuk. Aku segera menuju pintu itu. Meraih gagangnya dan langsung membukanya.
Cahaya masuk seperti air bah menerangi seisi ruangan. Tempat aneh tersebut benar-benar sesuatu yang tak tentu ujung. Saat takjub akan pemandangan yang kulihat, sekilas aku menemukan sosok lain di kejauhan yang menatap tajam padaku. Sosok makhluk tinggi besar dengan sayap hitam berkilau yang mengepak itu membuat jantungku nyaris melompat keluar. Lengannya bisa enam atau delapan, yang jelas makhluk itu bukanlah manusia. Wajahnya mencuatkan kengerian dengan taring panjang hingga ke dadanya yang bidang dengan kulit legam. Makhluk itu mungkin iblis yang membawa kematian.
Makhluk itu lantas meraung memekakan telinga. Seketika darah keluar dari telinga dan hidungku. Aku bergegas keluar dan berusaha kututup pintu tersebut di tengah raungannya yang makin keras. Susah payah aku mendorong pintu agar tertutup karena raungan makhluk itu adalah energi yang menahan pintu agar terus terbuka. Kudorong sekuat tenaga hingga akhirnya pintu tertutup. Raungannya pun lesap. Baru beberapa saat aku menarik napas lega, sebuah energi besar dari balik pintu membuatku terpental dengan keras dan membentur dinding.
"Sialan, lo berani ngelawan?" samar terdengar suara pria di tengah desingan yang melanda telingaku.
Aku mencoba membuka mata, menggapai dinding untuk membantuku berdiri. Kusandarkan kepalaku pada dinding yang dingin itu untuk menstabilkan kembali diriku. Beberapa detik aku mencoba pada kesadaran sempurna setelah hempasan suara makhluk mengerikan itu. Saat semuanya sudah dalam kontrolku, aku terkejut bukan main melihat seorang anak SMA yang memukuli anak SMA lain. Anak yang dipukuli itu tampak lemah. Bibirnya pecah, wajahnya lebam. Namun puncak keterkejutanku bukanlah karena perkelahian itu, tapi karena aku mengenal situasi ini. Aku tahu semua apa yang terjadi di sini.
Pria yang memukulinya dan tampak unggul adalah Zarfan, seorang preman sekolah. Sementara, anak itu. Anak culun yang selalu terhina dan objek cercaan seisi sekolah, anak yang seharusnya tak perlu repot-repot untuk lahir ke dunia karena hidupnya yang malang dan menyedihkan. Namanya Jito. Orang-orang membuat akronim dari namanya, yaitu Jijik dan Tolol!
Zarfan kini menatapku. Aku terkejut akan tatapannya yang licik tersebut. Ia lantas menghampiriku. Aku memasang kuda-kuda agar ia tidak menghajarku juga. Saat di dekatku, Zarfan tarlihat bingung. Sambil memberikan uang lima ribu rupiah yang ia rampas dari Jito, ia berbisik,
"Lo gimana sih, Ron, masa sama si culun aja kebanting gitu?"
"Ron?" aku terkejut Zarfan memanggilku demikian.
Zarfan pun ikut bingung, "Lo kenapa, sih, jadi gini?"
Aku berlari menuju wastafel, menatap diriku pada cermin. Lagi-lagi keterkejutan luar biasa kembali kurasakan. Hal segila dan tidak masuk akal ini terjadi pada diriku. Aku menjadi Karoni Rizal Basri. Tragedi yang aku alami rupanya membawaku pada tahun dua ribuan awal ketika masa SMA. Semuanya begitu detail dan membawa ingatanku menjadi kenyataan baru yang aku jalani. Ya, ini sebuah kenyataan baru. Karena seharusnya aku bukanlah menjadi Karoni Rizal Basri. Karena aku adalah Zian Taufik, atau orang-orang memanggilku Jian Topik, dipersingkat menjadi Jito dan dihinakan menjadi Jijik dan Tolol! Orang yang saat ini tergeletak mengenaskan tanpa nyali dan keberanian.
"Zarfan, tanggal berapa sekarang?" tanyaku.
"Tiga belas!"
"Tiga belas apa, bulan apa, tahun berapa?"
"Hah?" Zarfan masih bingung.
"Jawab!" bentakku.
"Lo kebentur keras banget kayaknya tadi!"
Aku meraih kerah baju Zarfan dan menariknya kasar, "Jawab pertanyaan gue!"
Zarfan yang tampak takut sekaligus bingung pun menjawab, "13 Mei 2003, hari selasa!"
Mendengar itu kulepaskan Zarfan, kakiku lemas kembali sampai-sampai aku berpegangan pada wastafel usang yang tak terawat di toilet sekolah ini. Aku harus menjalani hidup, atau mengulang hidup menjadi orang paling brengsek di sekolah yang tewas mengenaskan karena kecelakaan saat berkendara dalam pengaruh narkoba.
Tunggu, bila aku tidak salah ingat...
Aku menelusuri detail ingatanku dan itu membuat sakit kepalaku. Rupanya ingatanku dan Roni bertabrakan hebat di kepalaku. Aku mengingat semua hal yang juga Roni alami dan kebanyakan itu adalah hal yang sangat menjijikan. Juga kekerasan. Tapi aku terus bertekad keras untuk membuka memoriku sendiri. Memori sebagai Zian Taufik. Sampai aku menemukan ingatan tentang tanggal ini. Hari ini adalah hari dimana seharusnya Roni meninggal kecelakaan karena kebodohannya. Selepas kematian Roni, rupanya anak-anak lain berusaha mengambil perannya. Kekerasan di sekolah makin marak karena mereka berlomba menjadi jagoan. Akupun tak luput dari sasaran. Awalnya hanya Roni dan Zarfan yang menggangguku, tapi saat itu, hampir semua anak sok jago menggangguku. Menyiksaku, menghinaku, memalak uangku. Hidupku sama saja bahkan cenderung lebih parah. Hal itulah yang akhirnya memicuku untuk ikut menjadi calon pengganti Roni. Aku cari preman-preman temannya dan menjadi bagian mereka. Selanjutnya aku menjadi pengedar narkoba level sekolahan sampai akhirnya bisa memiliki kartel.
"Wah, Ron! Kayaknya kita harus cabut! Kalau si cupu lihat lo lemah gini pasti dia makin berani!" bisik Zarfan lagi.
Aku hanya menatap pada diriku versi lemah, yang juga menatapku dengan penuh dendam. Tanpa bersuara lagi, aku ikuti perkataan Zarfan. Meninggalkan diriku sebenarnya dalam pilu yang menjijikan. Diikuti Zarfan yang sebenarnya ingin pula kubunuh.
*
Aku mengikuti kelas seperti biasanya. Pak Jatmiko yang terkenal galak menutup hari ini dengan pelajaran Matematika yang tidak mampu otak Roni cerna. Ia begitu tolol. Harusnya tolol pun harus disematkan sebagai cercaan kepadanya. Meski rasanya tidak ada seorang siswa pun yang berani mengutarakan langsung kepadanya.
Bel pulang sekolah berdering nyaring memekakakn telingaku yang masih sakit karena raungan makhluk mengerikan di tempat aneh itu. Pelajaran usai. Kini saatnya aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku meskipun sebenarnya aku bingung harus kemana aku mencari petunjuknya. Apa yang aku alami ini di luar nalar. Tidak mampu dijelaskan sains, bahkan akupun ragu agama dapat menjabarkannya dengan baik. Bila begitu nyatanya, apakah aku harus menjalani hidupku kembali sebagai orang lain? Bagaimana dengan Klaudia? Bagaimana juga dengan Ariel? Apakah mereka akan tetap menjadi istri dan anakku atau aku harus menjalani kehidupan sebagai Roni. Menikah dengan wanita lain yang menjadi jodoh Roni dan memiliki anak lain yang merupakan anak Roni?
Ah tidak!
Semua itu tidak akan terjadi karena Roni mati hari ini. Kalau aku tidak salah ingat, kabar di sekolah yang beredar esok hari mengatakan bahwa Roni mati kecelakaan pukul enam lima belas petang. Bersama Zarfan yang ia bonceng di motornya. Tapi Zarfan tidak meninggal, ia kehilangan kedua kakinya dan pindah ke sekolah khusus karena malu dengan kecacatannya. Artinya, Roni tidak akan menikah karena ia mati dalam keadaan membujang. Lantas, sekarang apa yang harus aku lakukan? Tetap menjalani hidup sebagai Roni dan temukan takdirnya untuk mati hari ini atau aku harus menyelamatkan Roni? Aku tahu rasa sakitnya menjelang ajal. Lagipula aku pun tidak ingin kembali bertemu makhluk mengerikan itu. Mati sebagai Roni tentunya lebih buruk ketimbang mati di tangan Interpol yang mengincarku bertahun-tahun karena kartel narkoba yang kubangun. Ah, bagaimana ini, aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan!
"Ron!" terdengar suara Zarfan dari pintu kelas. Ia menggerakkan kepalanya sebagai kode untuk mengajakku pergi. Zarfan dan Roni tidak sekelas, tapi mereka membentuk ikatan kuat sebagai penguasa sekolah meskipun saat ini masih di bangku dua SMA. Bahkan kakak kelas pun tidak ada yang berani menyentuh mereka.
Aku mengikuti arahan Zarfan, ingatan asli Roni mengarahkan pada pesta narkoba dan miras bersama Tama, Regi dan Andre. Mereka orang dewasa yang merupakan sampah masyarakat. Pencopet sekaligus preman pasar. Menguasai area parkir di suatu kelurahan sekaligus calo dan pengedar narkoba kelas coro. Roni dan Zarfan mendapat perlindungan dari mereka sehingga tidak ada yang berani menyentuh keduanya di sekolah ini.
Aku dan Zarfan berjalan ke arah parkiran sembari aku bernostalgia akan setiap kenangan di sekolah. Walau semuanya berjalan buruk. Sampai aku melewati ruang UKS. Tempat aku seharusnya berada hari itu setelah dipukuli Zarfan membabi buta. Aku dalam wujud Zian atau Jito keluar dari UKS dan berpapasan dengan kami. Sangat menjijikan melihat ia begitu ketakutan dan hanya tertunduk mencoba mencari arah lain agar tidak berhadapan dengan kami.
"Woy!" panggilku.
Zian malah berlalu menjauh sambil meracau tak karuan, "Ampun Ron, gue nggak punya apa-apa lagi, maafin dorongan gue yang tadi!"
Aku benci dengan tingkah pengecut itu meskipun itu adalah diriku sendiri. Diriku yang sebenarnya. Aku mengejar Zian dan meraih pundaknya. Ia terpejam ketakutan, seolah menantikan bogem mentah kembali meluncur ke wajah lebamnya. Melihatnya, perasaanku sungguh tak karuan. Andai ia tahu bahwa di masa depan, ia adalah orang paling ditakuti para penjahat se-Indonesia, bahkan salah satu buronan paling dicari di beberapa negara.
Aku mengembalikan uang terakhir yang dirampas Zarfan ketika jam istirahat tadi padanya. Hal yang membuat Zarfan langsung menghampiri dan protes kepadaku. Tapi aku tidak pedulikan ocehan Zarfan. Bahkan aku memberikan lebih sepuluh ribu rupiah hasil palakan Zarfan agar ia bisa pulang dan makan siang enak. Aku tahu betul, bahwa tidak akan ada seorangpun yang akan ia temui di rumah. Ayahnya yang merupakan pegawai negeri rendahan belum pulang kerja, begitupun ibunya yang bekerja sebagai penjahit di sebuah butik dengan gaji pas pasan baru pulang menjelang petang. Kadang ia harus menahan lapar sampai malam karena uang jatah makan siangnya dirampas oleh Roni.
Ia tampak bingung dengan apa yang terjadi. Tanpa berkata apapun, ia langsung pergi meninggalkanku dan Zarfan. Jelas dalam realitas yang sebenarnya, hal ini tidak mungkin terjadi.
"Lo udah gila ya, harga barang itu seratus tiga puluh lima ribu! Duit kita yang pas-pasan hasil malak malah lo kasih ke si culun itu. Gimana kita nyari duit buat nutup?" ujar Zarfan.