Obituari Sang Mafia

Galih Aditya
Chapter #2

Jito

Aku tinggalkan Zarfan yang masih teler di basecamp. Setelah melewati berbagai kengerian di lokasi kecelakaan, aku memacu kencang motor melewati jalanan yang semuanya tampak retro bagiku. Semua kenangan dan kebingungan yang aku alami saat ini terus berlalu lalang di pikiranku. Apa yang harus aku jalani kedepannya? Terus menjalani hidup sebagai Roni atau bunuh diri agar kehidupan berjalan seperti realitasnya. Namun, ketika aku yang sebenarnya mengambil jalan itu, ia pun akan berakhir mengenaskan dengan timah polisi dan...

Aku mengerem motorku. Berhenti di sisi jalan. Suatu ingatan paling mengiris membuatku tak berdaya. Ini tentang Klaudia dan Ariel. Terutama Ariel, aku meninggalkannya saat usianya belum genap enam tahun. Ia harus menjadi yatim di tengah hidup yang berjalan semakin keras. Bagaimana nasib Klaudia? Apakah aku akan rela jika ia menikah lagi dengan pria lain dan melupakanku begitu saja di dalam kubur. Berbagai pertimbangan membuatku nyaris gila. Aku tak mampu menentukan apa yang harus aku lakukan, selain menangis tersedu dan menjadi perhatian orang-orang yang lewat di trotoar. Menyadari itu, aku seka air mataku segera. Aku lanjutkan perjalanan menuju rumah. Rumahku yang sebenarnya.

Rumah sederhana dengan halaman luas tanpa pagar itu menjadi memori kesekian yang kembali menyentuh kenanganku. Di rumah ini aku tumbuh dan memendam setiap kesunyian. Rumah yang dingin tanpa cinta yang seharusnya aku dapat. Rumah yang kutinggalkan dengan cara yang tidak baik-baik.

"Nyari Zian?" suara seorang wanita menyadarkanku dari lamunan. Itu Ibu. Terlihat tanpa kerutan seperti aku terakhir kali melihatnya. Ia baru pulang kerja.

"Ibu..." aku terbata.

"Kenapa nggak masuk aja?"

Aku hanya tertegun tak tahu harus berkata apa.

"Sebentar saya panggilkan Ziannya!"

Aku tidak berkata apapun lagi selain terus menatap ibu yang berjalan hendak masuk ke rumah. Aku begitu merindukannya. Entah kekecewaan dan pilu seperti apa yang ia rasakan ketika mengetahui anaknya seorang bandar narkoba besar. Entah bagaimana juga perasaannya ketika berkali-kali rumahku digerebek polisi dan BNN untuk menangkapku, meskipun sebenarnya aku tak lagi tinggal di sana.

Ibu, untuk setiap hal yang mengecewakanmu. Untuk setiap dosa yang kuperbuat dan tak sempat terbasuh hingga aku mati, dan untuk segalanya yang pernah menghancurkan hatimu karena ulahku. Aku minta maaf dengan tulus.

"Roni?" diriku dalam wujud remaja bodoh muncul di dekat pintu setelah ibu memanggilnya. Ia tampak terkejut melihat keberadaanku yang tak diduga.

Aku memarkir motor dan berjalan mendekatinya, "Gue boleh masuk?"

Aku melihat ketakutan di wajahnya, ketakutan yang menjijikan bagiku. Kemana nyali itu bersembunyi saat ini? Haruskah aku jerumuskan ia pada Tama dan yang lain agar bernyali besar? Ah tidak!

"Masuk aja, Ron!" Ia tampaknya tak punya pilihan lain.

"Kita ngobrol di kamar lo aja!" aku berjalan mendahului. Mengenang setiap isi rumah dan detail yang sangat aku hafal, termasuk kamarnya. Jelas saja, karena itu sebenarnya kamarku juga.

Ia masih berdiri di pintu saat aku masuk kamar dan duduk di ranjangnya. Ia takut sekaligus bingung mendapati orang yang paling ingin ia bunuh ada di hadapannya. Masuk ke kamarnya.

"Masuk, terus tutup pintunya!"

Meski terlihat gemetar, Ia menurutinya. Lalu ia mengambil duduk di kursi belajar dan bergeser sedikit jauh agar tidak bisa kuterkam.

"Lo tadi siang makan apa?" tanyaku.

Ia merasa aneh mendengar pertanyaanku. Akupun merasa aneh berbicara dengannya. Secara teknis, aku berbicara pada diri sendiri.

"Nasi padang!" jawabnya singkat dengan suara yang bergetar.

"Baguslah!"

"Lo mau ambil balik uang yang tadi siang lo kasih, ya? Kalau iya, gue minta dulu sama ibu!" Ia bersuara pelan dan tertekan.

"Lupain!"

Ia langsung terdiam.

"Mungkin lo kaget gue datang ke sini! Tapi gue cuma mau ngomong sesuatu sama lo dan harus lo dengar baik-baik!"

"Iya, Ron!" ujarnya sambil tertunduk.

"Lihat gue!" bentakku.

Dengan ragu, Ia memberanikan diri menatap mataku. Benar-benar mata yang lemah. Aku hanya melihat ketakutan dan kesedihan dari pancarnya.

"Mulai besok dan seterusnya jangan pernah takut lagi sama gue apalagi sama Zarfan. Lo harus jadi anak pemberani. Kejar cita-cita lo, kalau itupun lo punya!" aku sadar, saat usia ini, aku sama sekali tidak memiliki cita-cita.

"Maksud lo?" Ia memberanikan diri bersuara.

"Mulai besok lo ada dalam perlindungan gue! Pulang pergi sekolah lo gue antar jemput. Biar hidup lo aman dan teratur. Tiap sore gue akan latih lo bela diri biar nggak terus-terusan jadi pecundang dan nggak dekat-dekat sama pengedar narkoba!" jelasku panjang lebar. Aku seperti seorang kakak yang over protektif kepada adiknya.

Tentu ia kaget bukan main mendengarnya, aku hampir ingin menceritakan yang sebenarnya seperti apa yang kuceritakan ke Tama. Tapi rasanya dengan kondisi mental sepertinya saat ini, ia tidak akan sanggup mencernanya. Lagipula jika kehidupan saat ini adalah realita baru, biarlah ia bisa menemukan jalan hidup yang lebih baik. Tanpa berurusan dengan dunia hitam. Namun satu hal yang pasti, ia harus menikah dengan Klaudia agar Ariel pun terlahir.

"Tapi kenapa lo tiba-tiba melakukan semua ini, Ron?"

"Gue mau menebus semua kesalahan gue ke lo!"

Kalimat itu membuatnya perlahan sedikit tersenyum. Konyolnya aku tak tahu apa isi hatinya. Isi hatiku sendiri. Aku ingin menerjemahkan hal itu dengan detail. Pada masa ini, jarang sekali aku merasakan suatu kebahagiaan.

"Ron, apa semua ini karena tadi gue bisa dorong lo sampai mental ke tembok? Gue benar-benar nggak nyangka tenaga gue bisa kuat gitu!" kini ia sudah berani bicara dengan lugas padaku.

"Sialan lo!" aku melempar bantal yang berhasil ia tangkis. Kalau saja ia tahu di realitas lain, ia mati oleh Interpol dan harus lari dari makhluk mengerikan sampai ia terpental dan salah masuk ke tubuh lain.

"Zian, makan malam, ajak temanmu sekalian!" suara ibu terdengar dari ruang tengah.

"Mau makan?" tanyanya.

"Boleh, gue rindu masakan ibu!"

"Hah?" Ia bingung karena aku keceplosan. Ini pertama kalinya Roni datang ke rumahnya.

"Eh, nggak. Gue bisa nerawang kalau ibu lo jago masak!" kataku mencari alasan.

"Padahal masakan ibu gue biasa aja!" kilahnya sambil bangkit dari kursinya.

Ah, andai ia tahu lagi, bahwa kelak ia akan merindukan segala hal tentang ibu. Meskipun ibu tidak menunjukkan perhatian lebih, tapi dari lubuk hati yang terdalam, ia akan selalu merindukan ibu. Ingin memeluknya dan merawatnya hingga renta. Begitupun dengan ayah...

Terdengar suara mobil Panther ayah di luar. Ia baru pulang. Pegawai rendahan sepertinya selalu mendapat limpahan pekerjaan dari para atasannya yang membuatnya terus lembur dengan gaji yang tak seberapa.

"Bokap gue pulang, tuh!" ia memberitahu..

"Zian!"

"Ya? Eh, lo manggil gue Zian? Bukan Jito?" keterkejutannya untuk kesekian kalinya.

"Lo bilang apa tadi sama ibu lo soal lo bonyok gitu?"

"Ah, ini, tadi jatuh pas main bola!"

Ya, jelas. Harusnya aku tak perlu lagi tanyakan alasannya. Itu adalah alasan yang sering kukatakan kepada orang tuaku saat Roni dan Zarfan menghajarku dahulu.

*

Suasana ini, aroma ikan goreng dan tumisan yang ibu buat dengan cepat selepas kerja. Bersamaan dengan suara berita petang dari TV tabung di ruang tengah. Menu sederhana ini pasti lebih enak daripada beef steak atau kuah kepiting yang selalu rutin kunikmati bersama bersama Klaudia saat akhir pekan sebelum aku dirilis sebagai buronan. Meskipun ibu masaknya dengan tergesa agar aku tidak terlalu lama menahan lapar. Sementara aku malah berkomentar kalau masakan ibuku biasa saja.

"Maaf seadanya, ya, siapa nama kamu? Baru kali ini ya ke sini?" tanya ibu sambil menyiapkan air minum untukku dan untukku.

"Saya Roni, Bu! Iya, baru pertama kali ke sini!" ujarku dengan perasaan sendu. Begini rasanya tidak dikenali ibu sendiri.

"Ya udah, Zian sama Roni makan duluan aja, ibu nunggu ayahnya Zian dulu, masih mandi!"

"Oke, Bu!" Zian mengambil nasi di piringnya.

Dengan cepat aku menepuk tangannya, "Tunggu dulu ayah!"

Zian pun ciut dan menurut. Melihatnya ibu tertawa.

"Kamu sopan dan baik banget!" ujarnya dengan tawa yang tersisa.

"Lebih enak, kan, makan bareng-bareng, ya, Bu!" ujarku.

"Ini pertama kalinya lho ada teman Zian datang ke rumah! Kalian akrab di sekolah?" tanya ibu padaku.

"Lumayan, Bu!" ujarku yang membuat Zian langsung melirik.

"Kenapa jarang ke rumah? Zian itu kasihan kalau di rumah. Sendirian. Maklum anak tunggal!"

"Capek Bu, soalnya saya main bola!" ungkapku. Tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku atau Roni sibuk memakai narkoba dan mabuk-mabukan sepulang sekolah.

"Oh, satu tim sama Zian? Kok, Zian serin banget kalau main bola babak belur?" tanya ibu lagi yang membuat kini pandanganku dan Zian bertemu.

"Hmm, ini, Bu, Zian itu kalau main bola suka asal menghadang bola. Kadang lawan mau nendang, dia nahan tendangan pakai mukanya!" alasan terbaik yang paling masuk akal. Zian hanya meringis menyebalkan.

"Kamu ini Yan, itu bahaya lho!" tegas ibu pada Zian.

"Iya, Bu, soalnya daripada gawang tim Zian kebobolan!"

"Bonyok lagi? Main bola lagi?" sergah ayah yang baru datang dari kamar. Masih tercium aroma sabun mandi dari badannya yang segar.

Ayah, aku pun begitu merindukannya. Setiap tamparan di masa kelamku adalah nasehat terbaik agar aku tidak terus berada pada jalan yang salah. Sayangnya aku tidak mengerti akan semua itu. Saat dewasa, aku malah merindukan setiap bentakan dan pukulannya. Lantas ayah akan diam-diam mengusap kepalaku saat tidur dan berkata, maafkan ayah, Nak! Ayah hanya ingin kamu menyadari, sesuatu yang salah akan membawamu pada kesalahan lain yang lebih besar.

"Kalau jadi pemain belakang itu harus seperti Alessandro Nesta! Tepat membaca pergerakan dan rebut bola dengan bersih. Bukan grasak grusuk mengorbankan diri!" lanjut ayah menceritakan tentang bek tangguh asal Italia tersebut.

"Kalau bonyok terus mending nggak usah main bola lagi, Yan!" timpal ibu.

Lihat selengkapnya