Satu hal yang harus kusadari adalah, kini aku merupakan Karoni Rizal Basri. Anak pasangan Aprina Salamah dan Almarhum Suwanto Basri. Telah dua puluh sembilan jam aku dalam tubuh ini dan sama sekali belum kutemui keluarganya. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah Roni. Rumahnya berada dekat dengan area Pasar Kramat Jati. Pasar yang tak pernah padam oleh apapun. Mungkin hanya hari idul fitri dan kiamat yang membuat pasar itu hening. Rumahnya terdiri dari dua lantai, bagian bawah berfungsi sebagai tempat usaha yang disekat menjadi dua bagian. Bengkel dan kios ayam potong. Bengkel dikelola oleh bapaknya, sementara kios ayam potong dikelola oleh ibunya. Sepanjang perjalanan aku terus men-scan setiap ingatan Roni tentang keluarganya. Beberapa fragmen dalam hidupnya berjejer rapi dalam ingatan. Aku harus memahaminya dengan cepat.
Ingatan pertama adalah tentang bapaknya. Ketika itu Roni masih duduk di bangku sekolah dasar. Sepulang sekolah, bapaknya memanggilnya di bengkel. Bapaknya tidak memiliki karyawan. Untuk bengkel kecil seperti itu, menggaji karyawan akan sangat terasa pada pendapatan. Karena itu, sejak kecil Roni telah didik keras untuk bekerja oleh bapaknya.
“Coba kau bantu Bapak ganti oli motor itu, lalu kau setel itu gasnya!” perintahnya .
“Roni ganti baju sama makan siang dulu, ya, Pak!” pinta Roni dengan polos.
“Nanti saja itu! Kau tinggal ganti oli sekaligus setel gasnya, setelah itu baru kau makan. Ini rumahku, bukan kau yang punya peraturan!” bapaknya tampak gusar dan menjadi perhatian orang yang berlalu lalang hingga pedagang sekitar. Mereka tampak iba pada Roni.
Mau tidak mau, Roni pun menuruti perintah bapaknya meskipun perutnya keroncongan bukan main. Bahkan untuk membuka tutup oli mesin saja ia kesusahan. Bagaimana tidak, ia berjalan kaki nyaris satu kilometer di tengah udara terik sepulang sekolah. Belum sempat ia makan dan beristirahat, ia langsung disuruh kerja oleh bapaknya. Dengan tenaga yang tersisa, Roni pun selesaikan pekerjaannya.
Baru saja ia hendak naik ke atas untuk makan, ganti ibunya memanggil. Memerintahkannya untuk mengiris pesanan daging ayam karena ibunya harus meladeni anaknya yang lain, Sinta, adik Roni. Bayi satu tahun itu menangis karena jatuh dari tempat tidurnya. Tempat tidur berupa amben bambu di kios ayam potong yang juga digunakan ibunya untuk istirahat saat tidak ada pesanan.
“Roni ke atas, dulu, ya, Bu!” ujarnya dengan lesu.
Ibunya muncul dengan menggendong Sinta yang menangis tak karuan. Ia melotot kepada Roni, “Kau ini dari tadi ngapain aja? Itu ayam pesanan Bu Rukmini mau diambil bentar lagi!”
“Tadi Roni, kan…”
Belum sempat Roni menyelesaikan kalimatnya, sebuah kunci inggris melayang membentur tangga dan nyaris mengenainya. Itu ulah bapaknya yang membuat ibunya pun terkejut.
“Berani kau nolak perintah ibumu?” bentak bapaknya lagi.
“Tapi Roni lapar, Pak!”
“Laki-laki kau itu, masa sama lapar saja tidak tahan!” bapaknya makin menjadi.
Roni pun hanya tertunduk menahan tangis mendapati perlakuan tersebut. Ia berjalan ke kios ibunya untuk menuruti perintahnya. Sementara itu, sambil menjejalkan dot ke mulut Sinta, Aprina, ibu Roni menatap tajam pada suaminya itu.
“Sudah gila, kau! Gimana kalau dia tadi kena?” hardiknya. Suaminya tidak mempedulikan dan melanjutkan pekerjaannya. Begitu malang nasib Roni pada ingatan ini.
Kemudian selanjutnya adalah pertengkaran orang tuanya setiap malam. Bapaknya keranjingan mabuk-mabukan di kafe remang-remang sekitar tempat tinggalnya sehingga selalu pulang larut. Ketika dalam situasi itu, ibunya selalu menjadi korban kekerasan. Roni hanya bisa pura-pura tidur, kalau tidak, ia akan menjadi korban keberingasan bapaknya itu.
Lalu ingatan lain adalah tentang ia dan bapaknya kembali. Saat memancing berdua ketika senja di suatu pelabuhan. Roni sudah menginjak bangku SMP, ia mengamati bapaknya yang memancing sambil meneguk minuman keras. Nyaris sebotol habis, tapi ikan belum juga mereka dapatkan.
“Kayaknya di sini nggak ada ikan, Ron. Kita pindah aja!” saran bapaknya sambil mengangkat kembali kailnya. Roni hanya menurut saja dan bersiap untuk pindah.
“Ron!” bapaknya memanggilnya lagi. Ia lantas melempar kunci motor pada Roni. “Kau saja yang bawa motor, bapak pusing!”
“Tapi aku, kan, baru bisa bawa motor, Pak!”
“Ya terus kenapa? Suatu hari motor ini jadi milik kau! Harus akrab kau dengan dia!”
Roni hanya menatap motor RX-King bapaknya itu. Satu-satunya hal yang paling bapaknya rawat dengan baik melebihi keluarganya. Roni pun naik ke atas motor dan menghidupkan motornya. Saat bapaknya hendak naik di boncengan, ia batuk-batuk. Batuk dengan hebat. Belakangan bapak memang sering batuk-batuk sepanjang malam. Hal yang membuatnya bisa berada di rumah dan melupakan kafe remang-remang itu.
“Bapak nggak apa-apa?” tanya Roni.
Bapaknya tampak menyembunyikan sesuatu di telapak tangannya, itu beberapa bintik darah yang sekilas Roni lihat, “Sudah, nggak apa-apa. Jalan,Ron!” perintah bapaknya. Mereka pun meninggalkan sudut pelabuhan itu, menuju sudut lain yang dirasa bisa menghasilkan ikan.
Lalu melompat setahun saat kematian bapaknya karena kanker paru-paru. Tidak ada kesedihan yang mendalam dari wajah yang ditinggalkan. Ibunya memang sedih, tapi entah karena kehilangan atau lega karena beban batinnya sudah sirna. Sinta yang baru masuk sekolah dasarpun demikian, ia sedih, tapi tidak sampai menangis berlebihan karena sering melihat bapaknya memukuli ibunya. Sementara Roni, ia sadar bahwa setelah ini ia adalah pengganti bapaknya. Ia bertekad tidak akan lagi menyulitkan hidup ibunya.
Selanjutnya adalah tentang anarkisme Roni di sekolah. Pribadi yang terbentuk oleh kekerasan di keluarga membuatnya mencari pelarian pada hal-hal negatif. Merokok, tawuran, miras dan berakhir pada narkoba saat ia membentuk ikatan dengan Zarfan bersama Tama, Regi dan Andre.
Di awal-awal, ibunya sering dipanggil ke sekolah karena Roni yang berkelahi. Roni pun dimarahi habis-habisan, tapi tidak sampai main tangan seperti kebiasaan bapaknya. Namun selanjutnya, setelah pihak sekolah tahu bahwa Roni merupakan komplotan Tama, pihak sekolah mulai membiarkan apapun yang terjadi, asal jangan sampai ada nyawa yang melayang atau sampai koma di rumah sakit. Begitu perjanjian Roni dengan kepala sekolahnya. Sungguh oknum kepsek menjijikan!
Pihak sekolah bukan khawatir terhadap Tama dan geng preman kelas terinya, tapi komplotan lain di atas mereka yang mengontrol semuanya dan berpusat pada Anton Codet. Penjahat legendaris yang tak tersentuh. Padahal, Roni dan Anton Codet sama sekali tidak pernah bertemu. Roni hanya preman rendahan yang berkutat antar sekolah.
Tiga puluh menit di perjalanan membuatku bisa menyimpulkan setiap jengkal hidup Roni. Kini aku tinggal menjalani saja apa yang seharusnya terjadi, sebelum aku menemukan Klaudia dan mendekatkannya pada Zian. Aku tidak ingin hidup tanpa bisa melihat putri cantikku, Ariel.
*
Aku memarkir motor di bengkel Bapak Roni yang kini hanya menjadi gudang. Tempat ini penuh dengan barang-barang dan perkakas peninggalan bapaknya. Sempit, tapi masih ada ruang untuk parkir motor dan jalan menuju tangga rumah. Baru beberapa langkah kakiku berjalan, Ibu Roni turun dengan membawa sebaskom besar ayam potong. Ia tampak kepayahan membawanya. Dengan sigap aku segera berlari kecil untuk menjangkaunya. Membantunya membawa semua.
“Anak nggak tahu diri!” bukan kalimat terima kasih yang meluncur dari bibirnya.
“Mending nggak usah pulang sekalian!” bentaknya lagi.
Astaga, aku yang sebenarnya hanya terpaut beberapa tahun darinya saat ini diomeli seperti anak kecil. Namun aku menerimanya. Lagipula ini tentang Roni.
“Maaf, Bu, ada urusan semalam!”
“Urusan apa? Mabok-mabokan? Tawuran?” suara ibu makin meninggi.
“Seharusnya memang itu, ditambah mengkonsumsi narkoba dan harusnya kemarin saya mati, Bu!” isi hatiku yang sangat ingin ku utarakan. Tapi, tentu itu akan membuat Bu Aprina makin marah dan menganggap Roni gila.
“Kamu itu sadar, kita ini orang susah. Ibu banting tulang buat kamu dan Sinta! Siang malam jualan biar kita bisa tetap makan, tapi hidupmu terus saja semau-mau! Kapan kamu berubah? Mau terus-terusan kamu jadi berandalan, biar jadi kayak bapak kamu?” ibunya nyerocos tidak karuan.
Aku memfokuskan pikiranku untuk bisa menemukan memori tentang Bu Aprina. Saat kutemukan, aku melihat ia sebagai wanita yang kuat. Bangun subuh untuk mempersiapkan keperluan Sinta Sekolah, sehabis itu ia melakukan pekerjaan ibu rumah tangga dan membuka kios di rumah sampai sore. Istirahat sebentar, pukul tujuh malam ia bersiap kembali untuk jualan lagi, kali ini di pinggir jalan pasar Kramat Jati sampai pukul tiga pagi. Begitulah kehidupannya berlangsung setiap hari. Karena itu ia selalu terlihat lusuh. Tidak pernah ada jeda dalam hidupnya untuk memanjakan diri. Wajahnya yang tirus membuatnya lebih terlihat tua dari usia sebenarnya yang baru melewati empat puluh tahunan.
“Sekarang kamu makan dulu, setelah itu bawa ini ke kios di pasar!” perintahnya setelah puas mengomeliku.
“Sekarang aja saya bawa, Bu!” kurasa ada baiknya aku membantu. Memang ini kegiatan rutin Roni. Ia masih sempat membantu ibunya walau kadang dalam situasi mabuk. Lagipula, aku sudah makan dengan Zian selepas latihan tadi.
Aku membawa sebaskom penuh ayam potong ke kios di pinggir jalan. Butuh berjalan kaki sekitar 300 meter dan melewati pasar yang ramai. Sesampainya di kios yang hanya berupa meja panjang, Bu Aprina langsung menggelar dagangannya. Pisau potong yang tajam itu ia tancapkan pada talenan dari batang kayu yang tidak diolah atau dibentuk lagi. Murni potongan batang kayu setebal kurang lebih sepuluh sentimeter. Sangat klasik.
“Kamu pulang dan temani adikmu di rumah!” ujarnya setelah dagangan siap.
“Ibu yakin nggak mau saya bantu?”
“Tugas kamu itu sekolah yang benar, biar jadi orang. Bisa mengubah nasib keluarga!”
Aku baru sadar, pada era ini, Roni memang dipersiapkan sebagai generasi sandwich. Bagaimana perasaan Bu Aprina di realitas sebenarnya ketika mengetahui anaknya mati dalam kecelakaan dalam pengaruh narkoba? Pasti hidupnya akan lebih berat dari sebelumnya.
“Setor, Mbakyuk!” seseorang tiba-tiba datang meminta uang pada Bu Aprina. Cih, preman pasar. Sampah masyarakat.
“Baru aja buka, Kus!” protes Bu Aprina pada pria bernama Kusno itu.
“Ya, nanti, kan, dapat gantinya?” Kusno tidak mau mengerti.
“Ya nanti aja. Saya belum dapat uang. Habis buat modal sama keperluan Sinta!” tegas Bu aprina lagi.
Mendengar itu Kusno sedikit naik pitam, “Mbakyuk, dengar, ya! Jualan di area ini ada harga lebih. Kalau nggak ada saya yang jaga keamanan, udah habis ini dibongkar Satpol PP. Jangan mentang-mentang kamu jandanya Suwanto bisa semau-mau, ya!”
“Nggak usah bawa-bawa dia!” Bu Aprina ikut tersulut emosi.
“Heh, Bang!” aku menyela, membuat Kusno kini memperhatikanku.
“Apa lo bocah?” tantangnya.
“Nggak gitu caranya! Ibu saya belum dapat duit!” aku menyolot.
“Jadi lo udah berani sama gue?” kini Kusno mendekat padaku.
“Nggak ada yang takut sama lo!”
“Bocah brengsek!” Kusno bersiap melayangkan pukulannya.
“Udah, Kus!” Bu Aprina menahan dan memberikan uang dua lima belas ribu pada Kusno.
“Roni, nggak usah sok jagoan, pulang sekarang!” perintah Bu Aprina.