Angin malam sebenarnya berhembus kencang, tapi kini wajahnya berkeringat hebat. Tangannya menari-nari di atas peta bandung di depannya. Coretan-coretan yang ia buat kini membuat pola. Sebuah pola yang tidak disadari sebelumnya.
Hana sedari tadi memerhatikan apa yang dilakukannya dengan seksama. Kendati demikian, ia masih tidak paham semua coretan itu untuk apa.
"Jadi, sebenarnya apa yang sedang kau lakukan, Detektif?" Ujar Hana.
Reon masih mencorat-coret peta itu. Walau mendengar pertanyaan Hana, ia memilih tetap fokus mengerjakan apa yang sedang ia lakukan. Tinta itu kini mencoret hampir seluruh area kota bandung melalui Taman Pahlawan, melewati Cigadung, hingga sampai ke Dago dan melanjutkan nya menuju Cimahi. Rute yang lain pun ia buat. Namun semuanya sama, dari arah Cibiru menuju Cimahi.
Ia lanjut mencoret rute-rute itu dan menggabungkannya dengan gari-garis kecil. "Benar! Begini rutenya, Hana!" Seru sang Detektif. Ia tersenyum senang, sebuah senyuman yang baru Hana lihat untuk pertama kalinya.
"Benarkah? Tapi, aku sebenarnya tidak paham kau sedang apa." Jawab Hana.
Reon kini menunjuk pada peta kota bandung di depannya. "Penyebaran narkoba yang dilakukan oleh organisasi Serumpun melalui rute-rute tertentu. Ini lah rute mereka, rute yang sangat rumit! Wajar saja mereka selalu bisa lolos dari razia yang ada." Jelas Reon. Matanya kini terlihat berapi-api. Semangat nya selalu meningkat bila mengurusi sesuatu yang berkaitan dengan organisasi Serumpun.
"Lalu itulah mengapa kita tidak pernah mendapat bukti keberadaan mereka, karena mereka mengaturnya dengan sangat rapih?" Ucap Hana.
Reon mengangguk. "Tepat sekali. Kau memang pintar, Hana." Timpal nya. Ia mengeluarkan lembaran foto dari tas disampingnya. "Aku sudah mengambil beberapa foto dari tiap lokasi yang ku tandai di peta. Ada yang mengawasiku selama ini."
Hana lantas melihat foto itu satu-persatu. Tidak ada yang aneh sebelum ia menyadari selalu ada sosok yang sama di setiap foto itu. Seorang lelaki berjubah hitam. Wajahnya tidak terlihat jelas karena selalu tertutup oleh Hoodie yang ada di balik jubahnya. Satu hal yang jelas ada lah, sosok itu memegang senjata api di tangan kanannya.
Hana kini menatap pria di depannya dengan khawatir. "Kalau diawasi seperti ini, mungkin suatu saat mereka bisa mencelakaimu, 'kan?" Hana menunduk. Ia tidak mau Reon melihat wajah khawatir nya saat ini.
"Tenang saja. Aku tidak yakin mereka berani menyakitiku." Balas Reon.
Kriing …
Suara dering telepon mengejutkan mereka berdua. Telepon di ruangan Reon berbunyi cukup kencang. Tentu saja itu membuatnya heran karena jarang sekali telepon itu berbunyi. Reon lantas mengangkat nya.