OBSESI

KUMARA
Chapter #3

PEMBUNUHAN PERTAMA

Sebagai penari erotis, tidak jarang Manda disalah-artikan profesinya. Orang mencap dia dengan banyak stigma negatif, seperti pelacur atau perempuan murahan. Tiap kali dia mengeluh soal pelecehan, paling-paling respons yang dia terima hanya: “itu sudah jadi resiko kerjaan lu. Gak mau digituin? Berhenti lah.” Ada betulnya kata mereka, sudah resiko Manda sebagai penari, dia akan dicibir oleh orang-orang tolol. Padahal bagi Manda, tari adalah seni, bahkan sejak era dulu-dulu kala banyak juga tari erotis dari daerah dan menjadi kebudayaan, walau banyak pula yang pada akhirnya terkikis oleh waktu dan zaman. Dianggap sudah tidak relevan di masa sekarang yang serba religi. Memang Manda senang dipuji, tapi seperti pepatah lama “lihat boleh,pegang jangan”, siapa pun tentu akan risih kalau disentuh tanpa persetujuan. 

Pak Hambalang duduk di singgasananya bagai raja. Matanya terus menelanjangi Manda yang sedang menari solo di hadapannya. Sesekali dia menjilat bibir lalu mengingit-gigit gemas. Sesuai permintaan Pak Hambalang, tema hari ini adalah perawat nakal dan seksi, karenanya Manda memakai kostum perawat. Dadanya tampak menantang sebab pakaiannya memang sangat sempit, tapi gerakannya tidak kaku sama sekali, dia tetap lihai meliuk-liuk memainkan tongkat kayu sebagai properti. 

“Sudah satu jam?” tanya Pak Hambalang ketika Manda berhenti menari.

“Yap," jawab Manda sekenanya sembari mengambil tas yang dia letakkan di sudut ruangan.

“Manda ... Manda sayang ... Tunggu ...” Pak Hambalang berdiri dari kursi empuknya. “Gini, saya kasih sepuluh juta mau? Eh ... Tapi kita tidur ....”

“Jangan kurang ajar, Pak! Saya kan udah bilang saya ini bukan pelacur! Saya hanya menari!” Manda langsung menyela bisikan kotor Pak Hambalang.

Pak Hambalang masih kekeuh pada niatnya, “kalo dua puluh juta gimana? Manda...” tangan keriputnya menyentuh paha atas Manda.

“Jangan sentuh gue, bajingan!” Refleks Manda melayangkan tongkat kayu ke arah Pak Hambalang...

BLETAK!!

Tepat kena kepala belakang Pak Hambalang. Manda tersentak menyaksikan tubuh renta si kakek peot ambruk ke lantai, nafasnya tersengal sambil melambai-lambaikan tangan minta pertolongan. Manda membeku, tidak bergerak. Darahnya terpompa kuat. Pak Hambalang kini terbujur di lantai tak sadarkan diri.

“TOLONG ...!!”

Setelah kesadarannya kembali, Manda berteriak memanggil bantuan. Dia lihat tongkat di tangan, dia panik kalau-kalau tongkat itu akan dijadikan barang bukti, segera dia buka jendela kamar Pak Hambalang. Dia sisir halaman belakang rumahnya, tak ada orang, lalu langsung dia jatuhkan begitu saja tongkat itu, sebelum ada yang keburu datang dan menangkap basah.

“Tuan! Ya ampun!” pekik pembantu Pak Hambalang yang baru masuk. “Den...! Bapak, den! Tolong!” pembantu paruh baya itu mengguncang-guncang tubuh majikannya, berusaha membuatnya sadar.

Seorang pria muda tampan berusia sekitar akhir dua puluhan masuk memenuhi panggilan, tangan kirinya yang kekar dipenuhi tato. “Papa?!” Dia juga tak kalah terkejutnya melihat sang ayah sudah telentang tak sadarkan diri.

Manda masih mematung membisu menyaksikan adegan mirip sinetron di depan mata. Pemuda tampan itu langsung bergerak cepat menggendong tubuh sang ayah dan membawanya keluar dari kamar.

“Sebetulnya apa yang terjadi mbak?!” tanya si pembantu pada Manda.

“Gak tau, dia tiba-tiba sesak nafas terus jatuh," jawab Manda santai.

“Mbak yakin?” Si pembantu menyelidik.

“Dia udah tua, mbak, dia bahkan bisa mati tiba-tiba walau gak ngapa-ngapain.” Jawaban Manda sangat tajam. Berusaha meyakinkan. “Oh ya, saya juga belum dibayar.” Tangannya menengadah. 

“Nanti saya yang akan minta sama Den Surya, sekarang bapak harus dibawa ke rumah sakit dulu.”

*** 

Ketenangan Manda sukses terusik. Pikirannya melulu memikirkan Pak Hambalang, apa jadinya kalau dia mati? Tapi lebih ngeri lagi kalau ternyata dia masih hidup, dia akan membuka kebenaran tentang apa yang terjadi tadi siang, Manda bisa dijebloskan ke penjara.

Lihat selengkapnya