Tamina tampak gelisah. Ia lantas duduk di tepi dipan. Perasaannya tak nyaman. Ia membuka laci kayu di samping tempat tidur dan mengambil obsidian.
“Kau mau ke mana?” tanya suaminya.
Perempuan berambut panjang itu hanya menoleh sekilas, tak menjawab lantas pergi.
Griff, suaminya, mengikuti ke mana istrinya pergi. Sebuah danau bernama Texcoco. Perempuan itu berdiri. Ia memejamkan mata dan mengingat cerita kakeknya tentang peradaban Mehika, kaumnya.
Beberapa orang berjalan tanpa tujuan. Mereka yang masih berusia belasan tahun menggunakan Maxtatl dan yang lebih tua memakai Tilmahtli. Di antaranya turut serta perempuan menggunakan blus dan jubah. Mereka tak memiliki tempat tinggal hingga akhirnya sampai ke lembah Anahuac dan membangun sebuah peradaban. Dengan peralatan seadanya, kaum pria menyusun batu dan membangun piramida serta kuil. Bangsa Mehika memberi nama piramida matahari, piramida bulan dan kuil Quetzalcoatl. Tempat itu bernama Teotihuacan.
Bangsa Mehika sangat makmur, mereka membuat senjata dari batu obsidian, beberapa di antaranya diperdagangkan. Namun, kemakmuran itu tak bertahan lama saat bangsa Toltec menyerbu Teotihuacan. Mereka kemudian mengembara mencari tempat baru.
Dalam pengembaraan itu, kaum Mehika lantas melihat seekor burung elang sedang memangsa ular di sebuah danau bernama Texcoco.
Gambaran itu membuat mereka ingat ramalan yang menyuruh untuk membuat peradaban baru. Mehika lalu menemukan kota Tenochtitlan yang sekarang ia tempati. Tamina membuka mata dan menghela napas panjang, sebelum melempar obsidian ke tengah danau. Batu itu berasal dari peradaban Teotihuacan. Dulu, obsidian sangat berharga dan diperdagangkan di Teotihuacan. Sebagian percaya bahwa batu itu mengandung sihir yang bisa membawa keberuntungan.
Batu yang ia bawa telah diberkati. Benda itu mampu membawanya ke masa lampau dan menguak rahasia yang terjadi di zaman itu. Leluhurnya akan marah jika sampai itu terjadi. Mereka tahu, sumber masalah sebenarnya adalah manusia, yang selalu diperbudak oleh napsu semu sehingga mengorbankan yang lainnya. Jika obsidian jatuh ke tangan yang salah, bencana akan terjadi. Tamina tak menginginkan itu. Di masa lalu, bangsanya rela mengubah obsidian menjadi benda yang berharga, untuk memanipulasi fungsi yang sebenarnya. Mehika menjadikannya alat perang, pisau dan benda tajam lainnya.
“Drux, jaga batu itu,” bisiknya.
*
Segerombolan orang telah datang ketika Tamina sampai di depan rumah.
“Kalian?”
Tamina diseret dan dipaksa duduk.
Griff yang melihat dari jauh, spontan menerobos kerumunan itu. “Hei! Jangan kasar terhadap perempuan!”
Steve tertawa. “Di mana batu itu?”
Tamina bergeming. Jantungnya berdegup kencang. Griff tahu siapa mereka. Ia mendekati istrinya, “Aku tahu yang dimaksud mereka.”