“Aku ingin kau menggunakan Winzeus untuk mengetahui masa lalunya. Supaya kita tahu bagaimana caranya mendapatkan batu itu.”
Fernando bergegas. Ia mengikat Griff di tengah laboratorium. Kemudian memasangkan helm dan menyuntikkan cairan di lengan kanannya. Lantas pria berparas rupawan itu mengetik sesuatu di atas keyboard-nya. Beberapa saat setelahnya, Griff tertidur.
Sebuah uliran DNA tampak di komputer. Fernando memperbesar struktur helix, lalu sedetik kemudian komputer itu menampilkan sebuah tempat.
Steve mendekat. Terlihat seorang pria pencuri roti terjatuh lantas bangkit dan berlari menabrak wanita berambut pirang.
“Bisa kau mundurkan lagi waktunya?”
“Maaf, Bos. Ini pertama kali pria itu bertemu istrinya. Aku tidak bisa mendapatkan informasi tentang batu itu. Kecuali ....”
“Apa?”
“Kecuali kita mengeksplorasi DNA istrinya. Tapi itu tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Karena dia sudah mati. Hanya orang yang masih hidup saja yang bisa berpetualang menggunakan Winzeus.”
“SIAL!” Steve menggebrak meja. Napas Steve memburu penuh amarah. Ia merasa melakukan hal yang sia-sia.
“Ada cara lain, Bos.”
Steve menoleh ke arah Fernando. Ilmuan itu memajukan waktunya sampai Tamina terbunuh. Beberapa saat sebelum perempuan itu mengembuskan napas terakhir, ia berpesan pada Griff. Seperti sebuah video yang diputar kembali, Fernando menghentikan adegan itu, dan memperbesar audionya.
“Hanya keturunanku yang bisa mengambilnya.”
Steve tersenyum lebar, “Kau harus pikirkan bagaimana caranya membawa anak itu ke sini, tanpa paksaan. Aku tidak mau reputasiku menjadi buruk karena bermasalah dengan anak-anak.”
*
Diego tahu ayahnya tak bersalah. Ia harus bisa membuktikannya supaya orang percaya. Dua tahun sudah ibunya tewas. Semua orang percaya Ayah pembunuhnya. Hingga ia memutuskan untuk keluar dari sekolah karena stempel sebagai anak pembunuh yang dilontarkan teman-temannya. Kakek dan Nenek juga mengutuk Ayah atas kematian menantu kesayangannya. Pemuda itu tahu Ayah sangat mencintai ibunya. Tak mungkin Griff melakukan perbuatan sekeji itu.
Meski mereka miskin. Namun, Ayah lelaki yang bertanggung jawab. Apa pun ia lakukan supaya keluarganya tetap bisa makan.
Ayah dipenjara atas tuduhan pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya. Terlebih Diego tak tahu apa penyebab kematian ibunya. Anak itu bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal.
Tak ada jalan lain. Sekarang tergantung Diego. Ia harus mencari tahu apa yang sedang terjadi pada siang hari itu.
Ia mengira Aiden akan paham. Mereka berteman sejak kecil. Walau mereka memang sudah tak seakrab dulu. Tetapi ia tahu Aiden bisa diandalkan.
“Bagaimana? Apa kau mau ikut denganku?” tanya Diego.
Mereka berdiri di belakang bangunan sekolah Diego dulu. Di sebelah sampah besi yang kebanyakan sepeda rongsok dengan cat yang sebagian terkelupas.
Empat teman Aiden yang tampak berwajah tak bersahabat berdiri tak jauh dari sana. Mereka mengamati, lalu mengobrol sendiri, menerka-nerka apa yang sebenarnya dua sahabat itu bicarakan.
“Entahlah.” Aiden mengangkat bahu.
“Entahlah?” Diego mengernyit.
Aiden tak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap. Mungkin dalam benaknya bertanya-tanya. Ia ingin membantu tapi tak tahu caranya. Aiden khawatir dengan Diego. Daritadi kawan-kawannya mengamati mereka. Aiden khawatir temannya itu berada dalam bahaya.
Sahabatnya tahu kehidupan Aiden sangat keras. Sejak kecil, Aiden tinggal di panti asuhan. Ibu pengasuh tak pernah memberitahu keberadaan orang tuanya. Setiap kali ditanya, mereka selalu menjawab bahwa ibunya sudah meninggal dunia. Namun, anak itu tak pernah tahu di mana kuburannya.
Mungkin karena itu Aiden tumbuh menjadi anak yang dingin, kecuali dengan Diego. Namun, sekarang keramahan itu menguap begitu saja. Pemuda berambut pirang itu seperti tak mengenal Aiden. Meski begitu Diego tahu Aiden berhati baik. Mungkin waktu yang mengubah keduanya.
“Tolonglah, lagi pula hanya kau yang paham tentang teknologi. Kau tahu kemampuanku seperti apa. Kau adalah anak paling mahir di sekolah.”
Diego melihat Aiden melirik teman-temannya. Wajahnya kaku, sama sekali tak ramah. Setelah sekian lama tak bertemu, kematian ibunya membuat mereka kembali berhubungan.
Selama pindah, Diego tak pernah mendengar kabar tentang Aiden. Tentu saja, orang bisa berubah karena apa pun. Lingkungan baru, teman baru. Tanpa dia, mungkin Aiden terpaksa harus bertahan dengan lingkungan anak-anak tukang gencet, itulah mengapa sekarang Aiden seperti tak peduli dengannya.
“Akan kupikirkan.” Aiden pergi, lalu beberapa detik kemudian ia menoleh, “sekarang aku harus pergi.”
Ia melihat Aiden berkumpul bersama teman-temannya.
“Aku harap kau memikirkannya,” katanya.
“Aku sudah bilang tadi.”
*
Ketika Diego membuka pintu depan, neneknya sedang berada di dapur. Lazarus, kucing nenek sedang mengasah kuku-kukunya di atas karpet. Entah ada berapa karpet yang rusak bekas cakaran Lazarus. Walau begitu, nenek tetap sayang terhadapnya.
“Hai, Nek.”
“Habis darimana?”
“Dari luar, mencari udara segar.”
“Kakek mencarimu.”
“Ah, pasti Kakek ingin membahas itu lagi. Di mana dia?”
“Kakek ingin kau menjadi anak yang baik. Tidak seperti ayahmu.”
Diego bosan mendengarnya. Nasihat itu sudah berulang kali didengungkan di telinganya. Pernyataan itu seperti seseorang menuangkan air ke dalam cangkir yang sudah berisi kopi. Kopi itu akan hambar, dan airnya bakal tumpah percuma.
Setiap argumen yang Diego keluarkan, air mata, pembicaraan yang didesiskan dan percakapan yang bertujuan membanding-bandingkan membuat anak itu muak. Ia merasa itu bukan nasihat, melainkan pengadilan tidak resmi. Dia harus menuruti aturan atau menjalankan hukuman yang dibuat kakek neneknya.
Kakek neneknya membenci Ayah sejak dulu. Bagi mereka, Griff anak yang sulit diatur. Menikah dengan Tamina membuat mereka punya harapan baru. Nyatanya, Tamina malah meninggal sia-sia.
Ayah adalah ' bayangan hitam' yang selalu membuat aib dan disalahkan atas setiap kejadian buruk yang menimpa keluarganya. Setidaknya itu yang anak itu tangkap.
Semakin hari, Diego belajar tak gampang percaya pada setiap omongan orang. Ia harus membuktikan sendiri bahwa 'bayangan hitam' itu tak seburuk yang mereka bicarakan.
“Kakek di mana?”
“Di kebun belakang. Mungkin sedang memotong rumput.”
Diego menahan cengiran skeptis. Ia tahu, kakeknya tak pernah membutuhkan bantuan siapa pun. Apalagi soal kebun. Kakek tak pernah mempercayakan tanaman-tanamannya dirawat oleh orang lain, termasuk nenek.
“Aku mau menyusul Kakek.” Anak itu pergi, sengaja menghindari pembicaraan tentang masa depan. Tanpa diperintah, ia tahu apa yang diinginkan, yaitu mencari ayahnya.
Diego mengambil pisang sebelum membuka pintu yang langsung mengarah ke halaman belakang. Di depannya terhampar pekarangan mungil dengan aneka bunga. Rumputnya begitu rapi, sampai-sampai tampak seperti plastik. Pemuda itu berjalan di antara batu setapak lalu masuk ke sebuah bengkel kecil -yang tampak seperti gudang- tempat Kakek menyimpan perlengkapan berkebunnya.
Di dalamnya hanya tergantung satu buah lampu bohlam. Bengkel ini sangat bersih. Kakek menatanya rapi sekali. Tak ada debu, bahkan alat pemotong rumput yang sudah berusia puluhan tahun segel dan plastiknya sengaja tak dilepas supaya masih terlihat baru.
Kakek jongkok di sebelahnya, membersihkan alat pemotong rumput itu. Mengusapnya beberapa kali seperti benda kesayangan.
“Mau dijual ya, Kek?”
“Hanya dibersihkan,” jawab Kakek tanpa memandang ke arah Diego.
Anak itu hanya mengangguk-angguk tanda paham sambil mengupas pisang.
“Jangan buang sembarangan. Lantainya habis Kakek bersihkan.”
“Baiklah.” Diego keluar dari bengkel itu, tak mau berdebat dengan Kakek. Setahu dia, bengkel adalah tempat yang memang sudah kotor. Jadi kulit pisang saja seharusnya tak menjadi masalah.
“Mau ke mana?”
“Keluar. Aku tak mau mengotori bengkel Kakek.”
“Jangan suka main dengan berandalan itu.”
“Hmm? Aiden maksudnya?”
“Tenang, Kek. Aku tidak ikut geng mereka.”
“Aku tahu, kau tidak akan seperti ayahmu. Kalau hanya Aiden, Kakek tak masalah. Asal tidak bersama kawan-kawannya.”
'Justru aku ingin seperti Ayah,' batin Diego.
“Oh ya, kapan kamu mau kembali ke sekolah?”
“Kita sudah pernah membicarakan ini, Kek. Aku tidak menyukainya.”
“Sesuatu yang tidak kau sukai itu justru baik untukmu.”
“Kek, sekolah itu seperti mesin treadmill. Sejauh apa pun berlari, kita tak akan bisa melangkah maju. Kecuali ....”
“Apa?”
“Kalau kita benar-benar mencintai ilmu pengetahuan, tidak hanya sekadar mengejar nilai.”
“Sok pintar!”
Diego memutuskan pergi dari sana. Di ruang tengah, ia disambut nenek yang sedang menonton TV.
“Kakek bilang apa?”
“Kakek khawatir aku ikut-ikutan geng anak nakal itu.”
“Wajar dia khawatir, hanya kamu yang kami miliki satu-satunya.”
Ah, ia malas mendengarnya. Perhatian kakek dan nenek mengekangnya, bukan membiarkan dia menjadi diri sendiri.
Anak itu melangkah pergi masuk ke kamar, melemparkan diri ke meja belajar yang katanya peninggalan Ayah, lalu menyalakan komputer. Melakukan pencarian daring. Situs pembelian Winzeus segera meluncurkan Wineffable, sistem teknologi yang mampu menemukan sesuatu yang hilang. Rasa penasarannya kian menggebu. Ia ingin mencari informasi mengenai itu. Sayang, kemampuan meretasnya tak selihai Aiden. Diego berharap padanya. Jika Aiden tak mau, maka dia harus memutar otak bagaimana caranya mencari tahu kejadian siang itu.
Diego merobohkan tumpukan kaleng yang berada di atas meja. Ia kesal. Ordo Assassins dan Gold Medals adalah perusahaan korporasi yang bergerak di bidang teknologi dan farmasi. Mereka mengendalikan semua hanya dengan satu jentikkan jari. Sayang, hanya orang-orang tertentu yang bisa membelinya. Atau mungkin itu hanya sebuah konspirasi dari sebuah korporasi konglomerat multinasional? Dengan kehebohan iklan yang dibuat, dua komunitas itu berhasil menciptakan daya magnet untuk menarik investor. Tak ayal, Andromeda menjadi kota yang maju walau pun sangat kapitalis.
Diego mulai menelusuri peramban. Mencari tahu siapa saja perusahaan yang menjadi investor dua teknologi itu. Sayang, dua komunitas itu tak menyebutkan siapa penemunya. Mungkin mereka sudah membayar hak milik. Ia tak menemukan satu pun perusahaan dalam negeri yang menjadi investor. Semua perusahaan asing. Setiap perusahaan yang menginvestasikan dananya wajib bersedia menempatkan dua orang teknisi dari komunitas internal untuk mencegah peretasan.
“Sulit!” gumamnya.
Sudah dua tahun pencariannya sia-sia. Beberapa saat kemudian terdengar ketukan di pintu kamarnya. Diego segera mematikan browser.
“Masuk.”
Gagang pintu didorong naik turun tapi tak juga terbuka. “Oh, maaf aku kunci.”
“Oh, maaf.” Diego bangkit lalu membuka pintu. Neneknya berada di sana.
“Kau tak apa-apa?”