Aiden melihat tangannya. Ada sebungkus roti dalam genggaman. Ia lalu memegang kepala, ini bukan rambutnya. Aiden berambut lurus dan berwarna hitam. Sedangkan pria ini berambut ikal dan sedikit pirang.
“Aku di tubuh siapa?” gumamnya.
Ia lalu menyentuh wajah yang dipenuhi rambut tipis.
“Keren! Aku jadi pria dewasa.” Senyum Aiden penuh kebanggaan.
“Pencuri!”
Tiba-tiba seseorang dari jauh berteriak di belakangnya. Aiden menoleh. Ia baru menyadari menjadi pusat perhatian. Semua orang menghentikan aktivitas dan menatapnya.
“Oh, tidak!”
Ia berlari sekencang-kencangnya sambil membawa roti kacang merah itu. Napasnya memburu, keringat mulai bercucuran keluar. Ia seperti membawa beban berat. Terang saja, Aiden bertubuh jangkung harus berlari berada di dalam pria kekar ini. Ia seperti membawa beban puluhan kilo melebihi bobot tubuhnya. Aiden memegangi dadanya. Sesak. Pria ini pasti penyakitan. Sungguh buruk sekali.
Aiden mulai bertanya-tanya, apakah leluhurnya seorang pencuri? Pantas saja ibu panti tidak mau menceritakan masa lalunya.
Aiden terus berlari tanpa memperhatikan sekitar. Ia bahkan tak tahu sedang berada di mana. Anak itu tak asing dengan tempat ini. Samar-samar ia mengingatnya. Sambil berlari Aiden mengetuk-ngetuk kepalanya. Sama sekali ia tak ingat. Hingga akhirnya ia terjatuh ke dalam kubangan air kotor, tergelincir batu kerikil.
“Sial!”
Air itu memercik ke wajahnya. Aiden sempat menoleh ke belakang sambil memastikan jika orang-orang itu tidak mungkin mengejarnya.
“Oh, tidak.”
Susah payah ia bangkit dan terus berlari tanpa memperhatikan pandangannya. Hingga ia saja menabrak seorang wanita.
“Oke! Cukup!” Fernando memerintah.
Seketika tubuh mereka terasa melayang di tengah kabut. Diego membuka mata, tak bisa melihat apa-apa. Mereka terlempar jauh memasukki lorong, melayang dan berguling-guling di dalamnya. Sebuah serangan cahaya menyorot ke matanya. Refleks, anak itu memejamkan mata. Ia pasrah, bahkan tak tahu apa yang terjadi.
Tubuhnya berputar tak tentu arah. Hingga ia merasakan berada di sebuah ruangan gelap. Melayang-layang. Di depannya, berdiri sebuah pintu. Diego berjalan mendekati dan memutar gagangnya. Sebuah cahaya kembali menyorot. Anak itu menutupi wajahnya dengan mengangkat sebelah tangan.
Tiba-tiba cahaya itu perlahan lenyap. Diego membuka mata.
“Di!”
Pandangannya yang semula buram perlahan menjadi jelas. Aiden duduk di sebelahnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Kau sudah bangun?” tanya Fernando yang sedang sibuk dengan komputernya. Ia lalu memutar kursi ke arah Diego.
Spontan Diego duduk. Ia seperti kebingungan berusaha mengatur kepingan-kepingan puzzle di kepalanya. Namun, sekuat apa pun anak itu memahaminya, Diego tetap tak paham.
“Mengapa kau tergesa-gesa mengembalikanku? Aku belum menemukan jawabannya. Aku melihat Ayah.”
“Aku baru saja menabrak seorang wanita cantik.”
Refleks, Diego menatap ke arah Aiden.
“Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba berubah menjadi pencuri. Ah, memalukan. Mungkin keturunanku seorang pencuri.”