"Eh eh, Ochi kenapa?"
Tiara berseru panik melihat Ochi yang tiba-tiba duduk sambil memegang perutnya. Tadi Ochi baik-baik saja, membantunya menyiapkan makan malam. Pekerjaan Ochi tidak berat, hanya menghidangkan makanan yang sudah matang di meja makan. Bik Cinder dan Mamanya lebih ahli dalam mengolah bahan makanan dan mereka tidak memerlukan bantuan Ochi meski hanya untuk sekedar menggoreng tofu.
Sekarang Ochi malah kelihatan pucat dengan keringat dingin yang muncul di pelipis. Meski samar, Tiara bisa melihat cairan garam yang muncul di pelipis anaknya itu pertanda kurang baik.
"Perih Ma."
"Yang mana yang perih?"
"Perut Ochi."
"Kok perut sih, Ochi tadi siang udah makan?"
"Ma, minta tolong ambilin obat dulu deh."
Ochi tidak siap jika harus bercerita yang sebenarnya, entah pada Tiara atau siapapun. Ia memilih memendam apa yang terjadi hari ini sendiri. Tidak akan ada yang tahu tentang dirinya dan Geva.
Tiara dengan langkah cepat menuju lemari obat yang terletak di ruang keluarga. Tanpa memperhatikan siapaun yang ada di sana, Tiara bergerak sendiri mengambil apa yang di perlukan.
"Ma, kenapa malah ngambil obat?" Tanya Yundhi heran, "ada yang luka?"
"Enggak ada, Ochi sakit perut."
Tentu saja ketiga laki-laki yang duduk di sana memerlihatkan reaksi yang sama. Khawatir. Terutama Geva yang telah tiba tepat sebelum waktu yang Yudhis berikan berakhir.
Yudhis sedikit percaya pada Geva sekarang. Akibat tes tidak masuk akalnya, Geva malah bisa lulus entah dengan kecepatan berapa menuju rumahnya.
Geva berdiri tegak membuat Yudhis, yang duduk di sampingnya menoleh.
"Ochi dimana Tante?" Tanya Geva dengan nada panik.
"Di dapur... eh, ada Geva," seru Tiara, baru menyadari kehadiran pria pujaan putrinya.
Tanpa bertanya lagi Geva berlari ke bagian dapur, meninggalkan Yundhi, Yudhis dan Tiara.
Di dapur, Geva bisa melihat Ochi sedang duduk di sebuah kursi pantry, memegang bagian kiri perutnya dengan satu tangan.
"Chi!"
Ochi yang mendengar suara yang sangat ia kenal tentu saja terkejut, menoleh sebentar kemudian kembali menunduk. Suara yang pemiliknya sedang tidak ingin Ochi temui.
"Lho? Mama mana?" Ochi tidak bisa menyembunyikan nada kagetnya melihat kemunculan Geva. Dia memilih mencari Tiara daripada harus bertanya sesuatu tentang keberadaan Geva di rumahnya.
"Chi, yang mana yang sakit?"
"Ochi ga sakit."
Jelas sekali Ochi menghindari Geva. Tanpa Ochi ungkapkan, sikap Ochi yang menghindari tatapannya sudah bisa menjelaskan hal itu. Geva berusaha tenang meski dirinya di penuhi rasa bersalah yang teramat pekat.
"Nah, sudah ada dokternya, jadi aman kan, Chi?"
"Obatnya mana Ma?"
"Mending di periksa Geva dulu deh."
"Ochi ga kenapa-kenapa, Ma. Kasih Ochi obatnya."
"Chi..." suara Geva memelas, berharap Ochi melunak sedikit agar mau ia periksa.
"Ochi ga apa-apa, Kak. Cuma telat makan, minum obat juga sembuh, paling cuma kembung atau masuk angin, ga usah di besar-besarin," Ochi menatap pada Tiara, "Ma, obatnya."
Telat makan?
Artinya setelah dari rumah sakit Ochi tidak mencari makan siang? Menyadarinya Geva semakin miris, Ochi sakit akibat memergoki percakapannya sehingga melewati makan siang.
Ochi sendiri, dia ingat betul salah satu sifatnya yang Geva sebut dan mungkin tidak Geva sukai adalah, manja. Sebisa mungkin Ochi tidak akan memerlihatkan sikap itu sekarang, dan selamanya. Dia akan berusaha menunjukkan bahwa dia juga wanita dewasa dan mandiri.
Padahal tempo hari saat dirinya di landa nyeri haid, Bik Cinder dan Mamanya akan kerepotan mengurusinya. Sekarang, sulit sekali dirinya bersikap di luar kebiasaan. Ochi tersiksa sendiri. Dalam hati tangisnya sudah menjadi-jadi.
Geva akhirnya menyerah, membiarkan Ochi melakukan apa yang dia inginkan. Tiara memberikan obat yang dia bawa, dan Geva menyodorkan gelas berisi air putih.
"Ini obat mag ka, Ma? Jadi ga bisa makan dulu, harus nunggu sejam, Ochi mau istirahat," tegas Ochi tanpa ingin di bantah.
Ochi melihat Geva yang juga tidak melepas tatapan darinya. Ada rasa ngilu yang menyambar saat Ochi melihat mata itu. Tidak tahan melihatnya lebih lama lagi, Ochi memandang ke arah lain, asal bukan wajah Geva dan tatapannya.
"Kakak makan malam di sini ya, sama Mama Papa. Ochi tinggal istirahat," kata Ochi, hampir tidak melihat Geva saat bicara.
"Kakak antar ke kamar."
"Ga perlu, Kak. Ga usah, Ochi bisa ___"
"Chi!" Geva terpaksa menaikkan sedikit nadanya, jujur dia tidak enak pada Tiara yang hanya melihat mereka dari kejauhan, "ayo."
Ochi berjalan lebih dulu dengan Geva dibelakangnya. Perjalanan singkat yang sangat menyiksa untuk Ochi. Padahal Geva hanya akan sekedar mengantarnya ke kamar, kenapa rasanya Ochi akan melewati jalan yang penuh dengan bara panas.
"Manja banget sih, ke kamar aja pake di antar," celetuk Yudhis saat Ochi dan Geva melewati ruang keluarga. Mendengarnya membuatnya langkah Ochi terhenti.
Ochi mengutuk diri saat baru mengingat ada satu orang lagi yang kerap menyebutnya anak manja, yang tidak lain kakak kandungnya sendiri. Kakanya mungkin tidak jauh berbeda dengan Geva. Tidak suka dengan sikap dan tingkahnya.
"Yudhistira!" Suara Yundhi memeringatkan anaknya.
"Ga usah di dengar," kata Geva, menyentuh pundak Ochi agar melanjutkan langkahnya. Sentuhan Geva yang terasa seperti sengatan sakit untuk Ochi, membuatnya segera melangkah tanpa memedulikan Yudhis lagi.
Geva merasakan itu. Merasa Ochi yang menghindari sentuhannya. Membuat tangan Geva terkepal di udara saat Ochi berjalan buru-buru. Geva kembali maju, berjalan lebih dekat di belakang Ochi.