Cewek itu memang biangnya ribet. Bikin sesuatu yang sederhana menjadi bercabang dan menjelimet. Tapi bagi seorang Ochi, kaumnya tidaklah sosok yang identik dengan kata itu. Intinya, bagi Ochi, cewek itu bukannya ribet, tapi hanya bingung. Bingung dengan pilihan yang sama-sama bagusnya. Seperti yang ia tekuni sekarang.
Ochi sudah selesai mandi satu jam yang lalu, tapi tidak sedikitpun ada tanda-tanda dia akan berangkat menemui pacarnya yang mungkin sudah menunggu. Mungkin.
Ochi duduk bersila di atas tempat tidur. Dihadapkan dengan dua pilihan baju yang menurutnya akan sama bagusnya jika ia kenakan menemui pacar tercinta.
Mini dress kuning
Kemeja putih plus denim
Mini dress kuning
Kemeja putih plus denim
Mini dress kuning
Kemeja putih plus denim
Atau
"Blazer tosca sama kulot putih aja kali ya, biar keliatan lebih dewasa," tanya jawab Ochi dengan dirinya sendiri.
"Hm, emang kayaknya lebih cocok blazer deh, biar kak Geva liatnya beda. Sip. Sekarang tinggal dandan."
Dan kegiatan gadis sembilas belas tahun itupun di mulai. Wajah yang memang sudah cantik sejak lahir di poles make up minimalis. Rambut lurus warisan genetik sang Mama juga hanya di tata biasa saja demi menyingkat waktu.
Ochi tersenyum puas melihat tampilan tubuhnya di cermin.
Tas tangan berwarna hijau dia ambil dari lemari khusus penyimpanan tas di walk in closet.
Jepit kuku...cek
Tisu basah...cek
Tisu kering...cek
Bedak...cek
Lipstik...cek
Parfum...cek
Dompet, handphone, earphone...cek.
Itu semua adalah barang wajib isi tas Ochi. Hari ini hari Selasa, jadwal dirinya bertemu orang yang spesial di hati.
Setelah semua keperluan beres, Ochi siap berangkat ke rumah sakit. Bertemu orang spesial, Geva Gazale Alam. Calon dokter spesialis bedah. Suami impiannya.
"Ma...Ochi jalan ya!" Teriaknya begitu menapakkan kaki di lantai dasar rumahnya.
Tiara, sang Mama, membuang muka dari televisi yang ia tonton. Menatap anak gadisnya yang tekah rapi.
"Eh, makan dulu, tadi ga sarapan!"
"Nanti deh, Ochi telat nih, Kak Geva nungguin Ochi, kalau lama nanti Kak Geva ga mau lamar-lama Ochi lho, yah!"
Tiara hanya bisa mengelus dada mendengar jawaban diplomatis Ochi. Anak gadisnya itu punya mimpi menikah muda yang tidak mau di tentang. Umur Ochi masih terbilang muda untuk berkeinginan menikah. Sembilan belas tahun sepuluh bulan. Dia saja menikah saat menginjak umur dua lima.
"Geva bakal maklum kok kalau kamu ga datang." Tiara memulai provokasi, "dia itu sibuk, mana nyadar kamu datang atau enggak."
"Ma, ini tuh hari selasa, jadwalnya Ochi bersihin Kak Geva, kalau enggak penampilan Kak Geva bisa berantakan lho kayak dulu, ga cakep lagi dong calon mantu Mama."
Tiara tersenyum miris, mimpi menikah muda tertanam kuat pada diri Ochi. Dan dalam hidupnya, Ochi hanya ingin dinikahi oleh satu-satunya pria yang katanya, ia cintai. Tiara malah tidak yakin yang putrinya rasakan itu cinta atau sekedar suka, atau hanya cinta monyet. Mengingat sifat Ochi yang plin plan.
"Berarti kamu memang yang kelamaan di kamar, bimbang milih seperti biasa, dasar plin-plan." Kali ini Tiara menebak kebenaran yang terjadi.
"Ih, Mama kok gitu sama anak sendiri, dari siapa coba Ochi punya sifat plin plan kayak gini?"
Dari Papamu, batin Tiara.
***
"Pak Mus, mobil Ochi udah beres?"
"Siap, Non. Ban...cek, bensin...cek, mesin...cek. Redih Non. Tinggal pakai."
"Pak Mus, masih kurang lho satu lagi. Pak Mus lupa ini bagian paling penting. Bagian dari diri Ochi yang tertanam kuat bahkan sejak Ochi lahir ke dunia," Ochi memandang dengan wajah kecewa pada Pak Mus, "ayo! Pak Mus ingat-ingat lagi, apa cek list yang belum Pak Mus sebutin!"
"Apa Non? Pak Mus lupa."
"Pak Mus sebenarnya ga lupa, udah Pak Mus kerjain kok sebenarnya. Jadi, Pak ga lupa, cuma ga ingat aja."
Yang dikatai makin bingung dengan ucapan tuannya.