Cinta itu ga pake hitung-hitungan. Kalau udah mikir pengorbanan itu namanya kalkukasi---Sujiwo Tejo
Ochi dan Geva duduk berhadapan di sebuah kafe dekat rumah sakit. Mereka memilih mengefisienkan waktu yang ada mendatangi tempat yang dekat dengan tempat aktifitas Geva. Dari pada mencari tempat yang jauh, memakan waktu lebih, terbuang di jalan, ujung-ujungnya waktu yang setipis kertas untuk pertemuan itu habis sia-sia. Lagipula, Ochi sama sekali tidak keberatan harus berjalan kaki sekitar lima meter dari pintu gerbang rumah sakit.
Sebenarnya, Geva tidak enak hati mengajak Ochi, yang notabene anak gaul dan populer di kampusnya, makan di kafe kecil yang hampir tidak terlihat itu. Tapi, mau bagaimana lagi, kesibukannya tidak memungkinkan untuk mereka pergi lebih jauh, dan lagiĀ gadis itu tidak keberatan dan terlihat nyaman-nyaman saja. Sepertinya itu cukup jntuk menepis rasa tidak enak yang Geva rasa.
Bagusnya menu di kafe ini terbilang enak, ruang yang minimalis di dekor menjadi manis. Duduk lama juga akan terasa nyaman. Beberaoa rekan Geva merekomendasikan tempat itu benerapa hari terakhir.
"Kamu nerima endorse lagi?" Geva memulai pembicaraan setelah mereka duduk beberapa saat.
"Kakak liat ya?" Ochi melihat Geva mengangguk, "ulah Cae tu, keenakan dia terima honor jadi manajer, sampai lupa daratan, aku udah bilang sebulan terima dua endorsement aja, eh...pas dia khilaf terima tiga tawaran trus aku maafin, malah ngelunjak nerima empat. Jadi seminggu sekali Ochi post produk endorsement."
Geva mendengar seksama lantunan cerita Ochi, sesekali ia memberi senyuman.
"Ochi udah bilang sama Cae, ini yang terakhir, pokoknya bulan depan dua aja, ga boleh lebih."
"Kenapa memangnya?" Tanya Geva penasaran. Ia tidak heran Ochi banyak menerima tawaran endorsement entah itu produk kecantikan, makanan, baju, sepatu dan sebagainya. Wajah cantik gadis di depannya ini memang tak ia ragukan. Di tambah pengikutnya di akun media sosial yang jumlahnya ratusan ribu, membuat Ochi mendapat predikat selebgram di kampus.
Jangan lupa centang biru yang tiba-tiba muncul di samping namanya.
"Ochi malas observasi melulu produk endorsenya, Ochi pakai produknya tiga hari dulu buat produk kecantikan, kalau cocok baru Ochi review di instagram. Beda sih sama baju, sepatu, atau tas, ga lama-lama banget observasinya, tapi ya itu, kalau bahannya ga enak atau produknya jelek, Ochi bingung ngasih reviewnya."
"Ya bilang aja yang sebenarnya."
"Iya, maunya Ochi gitu, terus yang jualan gulung tikar gimana? Pokoknya serba salah Ochinya, makanya Ochi pesan Cae, kalau nerima tawaran lagi lihat produknya dulu, jangan lihat honor doang, kesel deh sama anak itu."
Geva hanya menatap lucu wajah Ochi yang begitu menghayati ceritanya, ekspresi gadis itupun terbilang total, padahal hanya bercerita.
"Kakak ngetawain Ochi?"
"Enggak."
"Itu kenapa senyum?"
"Lucu aja."
"Apanya yang lucu? Make up Ochi ya?"
Geva menggeleng.
"Kalau manajer profesional yang ngurusin kamu, pasti bakalan susah soalnya artisnya ga butuh uang banget."
"Ochi bukan artis."
Tentu saja gadis di depannya ini tidak kesusahan untuk masalah finansial. Latar belakang keluarga Ochi yang sangat Geva kenal, tidak akan pernah kehabisan kekayaan hingga empat belas turunannya kelak. Menjadi selebgram hanya kegiatan iseng Ochi yang di manajeri sahabatnya sendiri, Cae Sinraya.
"Ngapain coba bahas itu?"
"Ya udah, bahas yang lain, mau bahas apa?"
Kapan Kak Geva mau lamar Ochi? Teriak Ochi dalam hati.
"Tesis kakak gimana?" Tanya Ochi sebagai pancingan.
"Dikit lagi, sekitar tiga bulan mungkin, kalau profesornya baik kayak Dokter Marwan."
"Emang ada profesor ga baik?"
Geva tertawa, "bukan gitu, maksud Kakak ga baik, profesornya suka pelit ngasih ilmu, kita mesti merangkak, lari, ngais-ngais dulu, baru deh di kasih ilmunya, intinya di suruh usaha sendiri dulu lah."
"Bagus dong."
Geva mendesah panjang, "iya bagus, kalau tinggal belajar-belajar doang, baca buku atau jurnal, lah kita ngurus pasien juga, belum jaga sift malam, begadang, praktek."
Ochi meringis, "g boleh ngeluh, makanya biar kuku sama jambangnya kak Geva, Ochi yang urusin, kak Geva selesein tesisnya secepat mungkin, abis itu...."