Yang membekas di lilin bukan lelehannya, kekasih, tapi wajahmu sebelum gelap. -Sujiwo Tejo-
Seperti ibu-ibu yang kedapatan belanja gratis lima menit di supermarket, begitulah perasaan Ochi sekarang. Senangnya bukan kepalang saat Geva mengajaknya ke rooftop rumah sakit. Bahkan sebelum menuju ke sana, Geva lebih dulu membeli minuman ringan untuk mereka di sebuah mesin penjual minuman. Mengindikasikan mereka akan melakukan pembicaraan panjang di kepala Ochi. Indikasi itu membuat bunga, kupu-kupu bahkan capung di perutnya menari-nari kegirangan yang membuat perut Ochi geli. Geva semakin manis saja memperlakukannya. Ochi pasti akan semakin bahagia sampai lima subuh yang akan datang.
"Mau yang mana?" Geva menyodorkannya dua minuman yang berbeda. Artinya Ochi harus memilih, dan memilih adalah kelemahannya. Kenapa sih saat seperti ini Ochi harus menentukan pilihan? Padahal bisa saja lho Geva menyodorkan salah satu saja.
"Yang ini deh." Ochi menjawab tiga puluh detik kemudian setelah berpikir keras.
Geva tersenyum samar. Ia tahu sifat Ochi yang peragu.
Mereka membuka minuman masing-masing dengan hamparan pemandangan kota di hadapan. Senja yang menyatu dengan kesibukan kota, sedikit memanjakan netra akan perpaduan keduanya.
"Ga capek pulang dari kampus terus ke sini?" Tanya Geva memecah kebisuan.
Ochi berpaling pada Geva, melihat dengan jelas rahang tegas nan rupawan di sampingnya. Tidak lupa Ochi nyengir.
"Enggak, kalau UTS kan materinya masih sedikit. Gampang di ingat karena materinya baru, lagian cuma dua makul hari ini."
Geva mengangguk mendengar jawaban gadis di sebelahnya, tanpa menoleh. Sepertinya pemandangan kota dan senja lebih layak di nikmati.
"Sudah ngasih tau orang rumah?" Tanya Geva lagi. Ochi ngedumel dalam hati akan bunyi pertanyaan Geva, bahas kita dong sekali-sekali.
"Belum," jawaban itu membuat Geva melihat pada Ochi, "tapi Mba Pengawal yang di dalam mobil itu pasti sudah ngasih tau orang rumah, entah Mama atau Papa, atau bahkan Opa Hans."
Ochi memandang ke bawah, pada mobil hitam yang terparkir lima meter dari mobilnya. Mobil itu ditumpangi seorang pengawal wanita suruhan sang Papa. Pengawal yang telah menjaga Ochi sejak masa sekolah menengah. Karena tidak ingin terganggu, Ochi meminta pengawal itu selalu mengambil jarak aman lima sampai sepuluh meter dari tempatnya berada. Pokoknya yang jauh, sampai Ochi tidak sadar kalau sedang di awasi.
Khusus masalah ini, Geva baru mengetahuinya. Ia tampak kaget, melihat mobil hitam dan Ochi bergiliran.
"Santai deh Kak, ngga apa-apa kok."
Geva tersenyum, Ochi bisa membaca reaksi yang ia tampakkan.
"Suruhan Om Yundhi?"
"Iya, atas usul Opa."
"Sejak kapan?"
"Ga tau, mungkin sejak Ochi belum lahir," Ochi menjawab asal dengan wajah melankolis yang tiba-tiba, "bahas yang lain ya Kak!"
Geva kembali melihat anak gadis orang di sampingnya, ada raut yang tidak bisa ia artikan di wajah itu.
"Gimana tesisnya?" Ochi mengalihkan pembicaraan. Ini pancingan pertamanya.
"Lancar, mungkin bisa lebih cepat selesai dari jadwal."
Mendengarnya Ochi teriak, berpesta pora dalam hati. Tujuannya menikah dengan Geva makin rapet.
"Hebat dong, sebulan lagi bisa ga?"