1
Saya menabur garam di kerimbunan putri malu saat terdengar suara dari arah belakang. “Mengapa kita ke rumah hantu ini lagi?” Pertanyaan yang sama terulang lagi, tepat ketika saya membungkus tangan dengan plastik hitam bekas kantung garam. Saya cekik batang semak berduri itu lalu mencabutnya dalam satu tarikan.
Saya meratib. Sediakan tempat yang lengang. Bantu terang bagi yang hidup. Beri tempat bagi kaki yang bertapak. Jauhkan gelap dari yang merayap. Biarkan malam menemui pagi, dan bertemu hari seterusnya.1
Numpang lewat. Nama saya Safar. Di belakang saya ada Hasanah. Dia istri saya. Kami dari desa Pekandangan, Sumenep. Sekarang kami mau berumah di sini. Wal ashr – demi masa.
*
Kemarin saya berujar, hampir untuk diri sendiri, “bangunan ini bakal warung kita yang banyak pelanggan.”
Hasanah di hadapan saya masih diam seribu bahasa.
Saya ulangi ujaran itu hingga dua kali. Saya yakin, dia mendengar dan mengerti apa maksudnya.
Masih kemarin. Saya katakan padanya, ingin sekali memiliki bangunan dengan pekarangan luas seperti ini. Setidaknya menyewa untuk membuka warung kelontong.
Dia membuang pandangan ke sembarang arah.
Saya ulangi sekali lagi dengan kalimat lain, dia melengos.
Saya tunjuk ke segala arah. Sepertinya dia tak bernafsu melihat apa saja yang saya sebut. Dua batang pohon jambu air. Yang muda di dekat pagar. Yang tua di sebelahnya dikerubuti benalu. Halaman luas. Dua bangku panjang dari kayu. Saya katakan: "Semua ini melebihi dari apa yang kita harapkan.”
Dia melotot, namun belum juga menyanggah saya. Mungkin dia tidak menyukai saat saya menyebut kita. Tiba-tiba dia menunjuk ke arah pagar.
Oh, itu.
Di dekat pagar ada putri malu yang tingginya melebihi pagar. Saya berjanji padanya akan menyingkirkan semua gulma di halaman ini, termasuk menebang semak paling semampai itu, paling lambat satu hari setelah membayar uang kontrakan. Si biang itu masalah sepele.
“Sebagai gantinya, kita tanam pandan wangi di sana. Warung kita bakal wangi,” pancing saya.
Percuma, dia tidak bisa dipancing dengan cara begini.
“Roma ompong”, katanya singkat.
Sekarang dia mulai bersuara. Ternyata dia mempersoalkan rumah yang tidak berpintu pagar.
pagar rumah tak berpintu.
Kami memang sedang mencari rumah tinggal yang akan dijadikan warung kelontong. Puluhan rumah sudah kami jajaki. Sampai hari kelima berkeliling Jakarta, kami belum mendapatkan satu pun yang cocok. Kadang dia cocok, saya tidak. Begitu pun sebaliknya. Pilihan kami belum berjodoh. Sejak kemarin saya sudah memperlihatkan ketertarikan pada bangunan ini. Dia memperlihatkan sikap sebal, kadang acuh tak acuh.
Baru kali itu dia memberikan alasan mengapa tidak menyukai bangunan ini.
Menurut saya, pintu pagar adalah pembatas. Saya tak ingin membatasi tamu yang datang. Seratus persen saya anggap semua yang datang adalah raja. Mereka boleh keluar masuk kapan pun tanpa halangan. Tak perlu meminta izin. Mau sekadar duduk-duduk di bawah pohon jambu, silakan. Tapi dia berpikir lain.
Menurutnya, bangunan tak berpenghuni tanpa pintu pagar disukai para berandal. Pencuri, tukang jambret, pencopet, pemabuk, garong senang bersekongkol, dan bersembunyi di bangunan kosong. Apalagi halaman yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan penuh semak.
Saya mendelik mendengar perkataannya. Suasana jadi tidak menentu. Kami terjebak dalam diam. Tapi itu tidak lama. Segera saya sulam dengan senyuman.