Odik Teros

Yesno S
Chapter #2

2

 

Kami saling berhadapan. Jauh sebelum tengah malam jatuh, Hasanah sudah tertidur pulas. Jarit masih menyelimutinya. Dia tidak menyepak saya. Geraknya terbatas. Bunyi gemeletuk di antara giginya membikin saya terjaga. Saat terdengar kokok ayam, saya mulai memandangi parasnya. 

Saat itu dia mulai mengigau. Dengkuran halusnya hilang. Setiap kata yang diucapkan terdengar terang. Ceritanya runut. Dia memulai ceritanya dari seekor ulat grayak. 

Ulat grayak. Warnanya hijau. Dia mengira mirip batang tembakau. Penyamar yang bodoh. Mudah dilihat mata telanjang. Bandannya gendut. Lembek. Berbuku-buku. Matanya setitik hitam. Jalannya merayap lambat. Makannya banyak. Daun muda dilalap. Yang tua dikunyah. Perutnya kenyang, panen melayang. Ada pekebun yang berutang. Ada pekebun yang menangis. Ada pekebun yang takut kelaparan. Kelak ulat grayak mati kekenyangan dengan sendirinya. Rakus. Melar. Melembung. Lalu meletus. Benyek. Air busuk meleleh di batang hitam. Mengarang. Hangus. Akhirnya jadi debu. Hilang semua-mua.... 

Cerita itu begitu dekat di telinga saya. Ulat grayak. Tembakau. Pekebun. Sifat rakus. Gagal panen. Utang. Ladang hangus. Dan kesia-siaan.  

Siapa pekebun-pekebun yang dia maksud, saya tak ingin menebaknya. Toh dia tidak menyebut sebuah nama dalam igauannya. Yang jelas bukan saya. Tidak mungkin saya. Jadi saya tak perlu tersinggung. Ingin sekali saya bertanya padanya, apa penting membawa cerita hama itu sampai ke dalam mimpi.  

Saat itu pertama kalinya saya melihat pengigau dari dekat. Saya mulai memikirkan, apa maksud dari cerita itu. Isyarat ulat grayak mulai membayangi pikiran, lalu saya buang jauh-jauh. Saya tidak punya urusan dengan hama rakus itu. Apalagi di tempat tidur.  

Si pengigau kembali menggesek-gesekkan giginya, seperti sedang mengunyah sesuatu di mulut. Saya pandangi lekat-lekat wajahnya. Embusan napasnya halus. Matanya tertutup rapat. Tidak terpengaruh telapak tangan saya yang bergerak-gerak di hadapan wajahnya.  

Dia tidak sedang bersandiwara. Tidurnya bertambah nyenyak. 

Saya tak pernah tahu, apa rasanya tidur diselingi igauan. Dan belum ada yang memberitahu bahwa saya pernah mengigau. Sepertinya, saya bukan pengigau.  

Dia tampaknya pegal. Mungkin mengigau membuatnya letih. Kedua tangannya yang tadi terimpit pipi sekarang direntangkan. Duga saya, baru sekali dia mengganti posisi tidurnya. Dia menggeliat, sebentar. Sekarang dia terlentang, menghadap langit-langit kamar. Kemudian sunyi.  

Suara orang mengaji mulai terdengar. Jelang subuh itu saya merasa lega. Rasa kantuk mulai merambat pelan. Masih ada sedikit waktu untuk merapatkan mata barang sebentar. Baru saja memejamkan mata, dia mulai mengigau kembali. Kali itu dia igaukan hal-hal sepele. Manset lepas. Serit yang patah-patah giginya. Tentang kebaya luntur.  

Andaipun manset, serit dan kebaya itu sebut-sebutan yang mengandung arti, saya tidak sanggup untuk memikirkannya. Isi kepala saya penuh. Igauannya yang kedua ini tidak terlalu mengganggu. Itu bukan apa-apa. Hanya masalah sepele.  

Saya lebih teringat pada igauan pertamanya. Cerita itu masih menempel di dalam kepala saya.   

Ulat grayak. Dia menyebut-nyebut hama rakus itu di atas kasur. Hati saya sempat terpelintir dibuatnya. Bagi saya, ini tema yang pantang dibicarakan. Apalagi di malam pertama.   

Mata saya kembali mengencang. Tak lama lagi pagi datang. Kepala saya kembali dipenuhi banyak pertanyaan. Tapi tak ada tempat bertanya. Dia masih pulas. Pikiran saya tak tenang. Seperti ada arak-arakan yang melintas di dalam benak saya. Semakin mendekati Subuh, semakin megah derapnya. Saya tidak berharap mendengarkan igauannya lagi. Ini harus saya sampaikan padanya. Saya tidak mau melek semalaman tanpa bisa berbuat apa-apa.  

Tapi mana bisa saya bilang begitu. Nanti dia gusar. Hari itu, setelah memperistrinya, dan saya baru tahu dia pengigau. 

Saya tak sabar menunggu dia terjaga. Hal paling pertama yang akan saya kerjakan adalah melihatnya bangun tidur. Saya akan tatap matanya. Bertanya. Terus akan saya tatap matanya. Dan minta jawaban, mengapa sebelum menikah tidak memberitahu bahwa dia kerap mengigau saat tidur. 

Tapi setelah saya pikir, itu perlu dipertanyakan. Bisa panjang urusannya. Saya tidak ingin ribut-ribut, apalagi baru menikah. Saya hapus pikiran buruk itu. 

Tapi saya tidak tahu harus berbuat apa, saat menghadapi orang yang dalam keadaan setengah hidup begini. Kalau ini didiamkan, bisa-bisa besok malam igauannya semakin menjadi. 

Benar. Malam berikutnya dia mengigaukan hujan deras mendadak turun di penghujung musim kering. Ini lebih menjengkelkan dari malam pertama. Berarti sudah dua malam dia membuat perasaan saya jadi tidak karuan semalam suntuk. 

Saya tidak senang membahas hujan. Kepada siapa pun. Terutama dia. Berkali-kali saya katakan padanya, lebih baik membicarakan hal lain, dari pada tentang hujan deras. Apalagi hujan deras yang mendadak turun di penghujung musim kering. 

Sebelum menikah, dia sudah mengetahui saya tidak menyukai dua tema perbincangan itu. Lalu mengapa semuanya malah rembes di dalam igauan? 

Malam berikutnya dia masih mengigau. Tentang apa, saya lupa. Jika saya lupa, artinya tema igauannya tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Bukan hal yang mengganggu saya. Bukan tentang ulat grayak. Bukan tentang hujan deras di penghujung musim kering. Kalau bukan dua hal itu, aman. Saya bisa tidur dengan nyenyak.  

Malam-malam berikutnya saya mulai membiasakan diri untuk tidur dengan suara gigi bergemeletuk dan igauan. Seterusnya saya sudah terbiasa tidur di sebelah seorang pengigau tulen. Gemeletuk gigi dan Igauannya seperti suara merdu. Selalu terdengar enak di telinga.   

Satu malam dia tidur tanpa mengigau. Setelah gigi-giginya gemeletuk, dia meneruskan tidurnya. Mulutnya tetap mengatup. Saya menunggu. Tapi dia semakin pulas. Tak ada suara-suara. Tak kunjung muncul ceritanya. Saya seperti kehilangan sesuatu. Ini tidak memuaskan. 

Itu dua bulan pertama setelah kami menikah. Sekarang lain lagi keinginan saya. Justru saya tidak ingin dia mengigau saat tidur. Setidaknya untuk sementara waktu. 

Selama di Jakarta, saya dan Hasanah menginap di tempat Yusuf bekerja sebagai penjaga warung. Sudah lima malam kami menginap. Saya tidak sabar mendapatkan kontrakan yang akan dijadikan warung. Ingin tidur di tempat sendiri. 

Yusuf menjaga warung di kawasan padat penduduk Pademangan. Pembelinya banyak. Warung itu nyaris tidak mempunyai halaman. Mestinya ada, tapi sedikit halaman yang tersisa habis ditelan tumpukan kardus berisi botol air mineral, jajanan anak-anak, bola, celengan plastik, dan jeriken minyak goreng.   

Selama menginap, saya dan Yusuf mendapat tempat di samping warung, berimpitan dengan rak botol bensin literan. Kami berdua mendapatkan jatah menjaga warung setelah jam sepuluh malam sampai Subuh. Sudah lima hari kami makan, istirahat, berbincang, tidur, menghafal daftar harga batang yang dijual, dan menjaga warung di atas kursi plastik. Selama menginap di warung Yusuf, tidur saya tidak memuaskan.   

Seenak-enaknya hidup menumpang, tetap lebih enak di rumah sendiri. Menginap di rumah orang lain, meskipun masih punya ikatan saudara, saya merasa asing. Mau ke kamar mandi rikuh. Ingin menguap ditahan, khawatir dipersilakan tidur. Tidurnya di mana? Ya, di kursi. Mau ke kamar mandi rikuh. Saya harus melintasi mereka yang sedang beromong-omong di dalam warung. Mau mandi seperti pergi ke kebun. Ini itu harus dibawa sendiri. Selalu ada peralatan yang terlupa. Mau telanjang dada bersarung handuk, tak enak, ada Maryam, istri Yusuf. 

Suara azan Subuh dan Isya selalu menyelamatkan saya. Hati mendadak lega. Saya langsung matikan seluler, bergegas ke masjid. Setelah lunas salat, saya rebahan sebentar, memandang langit-langit masjid. Mencuri kebebasan sebentar tak ada salahnya. Selalu saya ingin tertidur pulas setelah itu. Selalu saya berharap petugas masjid lupa membangunkan saya yang sedang tertidur lelap. Harapan saya terkunci di dalam masjid, sampai bertemu waktu salat berikutnya.   

Namun demikian itu tidak pernah terjadi. Saya selalu memikirkan Hasanah. Hati saya seperti tertinggal di warung Yusuf. 

Hasanah dan Maryam mendapatkan tugas menjaga warung sejak pagi sampai jam sepuluh malam. Mereka punya tempat istimewa, duduk-duduk di atas ambal di dalam warung. Di sana Hasanah dilatih untuk menghafal daftar harga barang yang dijual.  Pagi, siang, malam wajahnya tampak berseri-seri. Duga saya, tidurnya sangat memuaskan. Maka tak heran, dia tampak kerasan selama menginap di sini. 

Setiap ada sempat menghampiri saya di samping warung, dia selalu memuji-muji warung Yusuf. Ini tempat yang bagus, katanya hari pertama menginap. Seperti ini warung kita nanti, karanya beberapa hari lalu.  

Setiap siang, Hasanah ikut saya mencari lokasi yang akan dijadikan warung kelontong.  Dengan meminjam motor milik Yusuf, kami berboncengan keliling Jakarta. Sepanjang jalan, pembonceng di belakang saya terus membahas warung Yusuf dengan sejumlah pujian. Namun wajah berseri-serinya menguap saat kami sampai di jalan buntu itu. Ketika memasuki halaman bangunan itu, ocehannya menjelma kuap.  

Selepas Magrib, saya dan Hasanah kembali ke warung Yusuf, saat itulah Hasanah akan kembali menjaga warung bersama Maryam. Mereka akan mendapatkan jatah tidur setelah jam sepuluh malam. 

Tak sabar rasanya, saya ingin memisahkan Hasanah dari Maryam. 

Sejak kecil mereka berteman baik. Di kampung kami, mereka diibaratkan kakak beradik. Ke mana-mana selalu bersama. Menurut saya, ini berbahaya.  

Mereka gemar membincangkan apa saja. Terutama di setiap malam, mereka selalu tertawa mengenang masa kecil di kampung. Bisa saja Hasanah keceplosan dua tema yang saya pantang itu.  

Selama perjalanan dari kampung ke Jakarta, saya sudah mengingatkan Hasanah untuk tidak membahas dua tema itu pada siapa pun. Termasuk Maryam.  

Saat istirahat di samping warung, Yusuf menganggap saya raja pelamun. Dia menganggap saya rindu kampung padahal kaki menapak di Jakarta. Saya melempar senyum setiap dia salah sangka.  

Yang sebenarnya adalah saya selalu berusaha mencuri dengar apa yang Hasanah dan Maryam bincangkan di dalam warung. Semua obrolan mereka saya perhatikan. Jika suara mereka mendadak hilang, saya berharap bisa meloncat ke dalam warung. Untungnya, celetukan Hasanah yang terdengar masih aman menurut saya. Saya lega untuk sementara waktu.  

Mulai jam sepuluh malam di dalam warung sepi. Suasana tenang. Tak ada suara-suara. Mestinya saya ikut tenang.  Tapi justru membuat saya tegang.  

Lihat selengkapnya