Oditi

Susan Santika
Chapter #1

1. Ojibwa

“Setiap pasang sepatu melewati beberapa tahap pembuatan yang rumit. Selain itu, tidak semua proses bisa diautomasi dengan menggunakan mesin. Tenaga manusianya tetap harus ada. Jadi, pabrik sepatu bukan industri yang padat modal, melainkan padat karya karena jumlah tenaga manusia yang diperlukan sangat banyak. Kualitas yang dihasilkan juga sangat bergantung pada kondisi fisik dan mental pengrajinnya. Intinya dengan segala kerumitan tersebut, saya bisa bilang kalau hanya orang gila yang mau membuka pabrik sepatu,” ucap Pak Kris—pemilik pabrik sepatu dengan empat ribu karyawan—sambil berseloroh.

Ucapan Pak Kris tersebut aku dengar setahun yang lalu, tepatnya saat kami sedang melakukan sesi wawancara. Pak Kris adalah alumni angkatan senior di kampus yang sama denganku. Hasil wawancara ini aku tuangkan ke dalam tulisan untuk mengisi salah satu rubrik di buletin pers mahasiswa.

Belakangan ini ucapan Pak Kris selalu membayangiku, semenjak aku memutuskan menekuni dunia bisnis sepatu. Sulit sekali mengingat kapan terakhir aku bisa tidur dengan lelap. Tetapi tentu saja aku belum masuk kriteria orang gila seperti yang dikatakan Pak Kris. Aku belum punya pabrik sepatu sendiri dan tidak punya karyawan tetap.

Dua orang tetangga di sekitar rumah hanya datang ketika pesanan sepatu sudah siap. Mereka—dua orang ibu yang bekerja sambilan—membantuku mengemas sepatu untuk dikirim ke alamat pelanggan. Sementara itu, seluruh proses pembuatan sepatu aku alih dayakan ke pihak lain, yaitu para pengrajin lokal dari Bogor.

Sekitar seratus panggilan telepon dariku tak ada satu pun yang diangkat oleh Pak Edi, salah satu pengrajin lokal yang sudah hampir dua tahun aku ajak kerja sama. Toko-toko penjual material sepatu selalu merekomendasikan Pak Edi karena keahliannya dalam membuat sepatu sudah terkenal dari mulut ke mulut. Pak Edi—yang biasanya sangat mudah dihubungi—mendadak menghilang seperti seseorang yang sedang diburu polisi.

Aku hanya ingin mencari tahu perkembangan sepatu yang aku pesan. Tinggal tiga hari lagi menuju jadwal pengiriman produk untuk pelanggan yang memesan di kloter pertama. Selang tiga hari setelahnya adalah jadwal pengiriman untuk kloter ketiga dan begitu pun selanjutnya.

Sedikit jalan mulai terbuka. Danan mau menemaniku ke Bogor untuk mencari Pak Edi langsung ke rumahnya. “Pak Edi masih belum bisa dihubungi, Dis?” Danan mungkin penasaran karena sedari tadi aku tak berhenti menggenggam handphone.

“Belum, nomornya kadang aktif kadang engga. Tapi kalau lagi aktif, teleponku engga pernah diangkat. Whatsapp juga sama sekali belum dibalas,” jawabku sambil masih mengecek layar handphone dan terus mencoba menghubungi nomor yang sama.

“Kamu yakin Pak Edi ngasih alamat yang benar?” tanya Danan sembari memasang sabuk pengaman.

“Aku pernah ke sana dua kali, Nan. Ingat ‘kan waktu itu aku sempat minta antar, tapi kamu harus ketemu Ray buat nyiapin koas? Jadi aku sewa driver bolak-balik Bandung-Bogor.”

Lihat selengkapnya