Oditi

Susan Santika
Chapter #2

2. Pertimbangan

Rumah Pak Edi terlihat sepi. Mungkin karena ini hari Minggu jadi tidak ada aktivitas produksi. Pagar rumah Pak Edi berwarna cokelat dengan kondisi cat yang sudah mengelupas. Tidak ada bel di rumah itu, jadi aku mengetuk-ngetuk gembok yang mengunci pagar rumahnya supaya pemilik rumah bisa menyadari kedatangan aku dan Danan.

Sekitar dua puluh menit berlalu. Tak ada satu pun yang keluar rumah untuk menemui kami yang masih berdiri di balik pagar. “Aku beli minum dulu ya, Dis.” Danan sepertinya mulai kehausan. Kopi dalam kemasan botol yang kami bawa dari Bandung sudah habis sebelum kami tiba di sini. “Aku ikut! Sekalian mau nanyain Pak Edi, mereka mungkin tau Pak Edi kemana.”

Warung itu memiliki sebuah kulkas kecil dengan kaca transparan. Ada berbagai macam minuman dalam kemasan botol yang terpajang di sana. Botol berisi air mineral dingin lebih menarik perhatianku dan Danan. “Pak Edi yang tinggal di rumah itu kira-kira lagi kemana ya, Bu? Tadi kami ke sana tapi sepi,” tanyaku kepada Ibu penjaga warung dengan jempol tangan kanan yang menunjuk ke arah rumah Pak Edi. Dalam budaya Sunda, menunjukkan sesuatu dengan cara tersebut adalah cara yang sopan, terutama kepada orang yang lebih tua.

Selembar uang pecahan dua puluh ribu juga aku berikan pada Ibu warung untuk membayar air mineral yang kami beli. “Pak Edi udah pindah dari lama, Neng,” jawab Ibu warung. “Pindah?” tanyaku memastikan lebih lanjut. “Iya, udah pindah dari sebulan yang lalu gitu, ya. Lumayan udah lama pindahnya,” jawab Ibu warung sambil memberikan uang kembalian dari pembayaran air mineral tadi.

“Terima kasih informasinya, Bu. Barang kali Ibu punya nomornya Pak Edi yang bisa kami hubungi?” tanyaku yang masih terkejut dengan ucapan Ibu warung. “Engga ada, Neng. Perginya juga engga pamit.” Perasaanku semakin gelisah. Danan mengajakku kembali ke mobil.

“Gimana ini, Nan? Pak Edi kabur…aku ternyata ditipu,” aku mulai sesenggukan. Sekujur tubuhku terasa berat. Keningku terasa berdenyut mungkin karena seisi kepalaku juga terkejut dengan kabar ini. “Kamu tenangin diri dulu, ya. Aku lagi mikirin jalan keluarnya. Jangan panik, ya. Pasti ada jalan keluarnya.” Danan mengelus-elus punggungku dengan lembut. Dia selalu menenangkanku dengan cara tersebut. Entah apa yang terjadi jika Danan tidak mengantarku hari ini.

“Berapa uang yang sudah kamu bayarkan ke Pak Edi untuk Ojibwa?” Danan mulai menanyakan lebih lanjut sambil menunggu pesanan nasi Padang kami. “Lima belas juta, untuk DPnya,” jawabku dengan tatapan kosong. Aroma bumbu-bumbu nasi Padang tak sedikit pun menggugah selera makanku.

Lihat selengkapnya