Kiara dan Faris sedang berjalan di sebuah pantai dengan pasir berwarna pink. Cuaca hari ini sangat cerah, namun panasnya tak menyakiti kulit. Mereka tampak bahagia, bermain dan berkejar-kejaran.
Saat merasa lelah, mereka berdua memutuskan untuk duduk di pinggir pantai, membiarkan kaki mereka tersapu oleh ombak yang datang.
"Ris, gak nyangka ya akhirnya kamu bisa sembuh. Sekarang tubuhmu berisi dan alismu tebal lagi seperti dulu." Ucap Kiara gemas, ia memainkan alis Faris.
"Makasih ya Ra, ini semua berkat doa-doa kamu dan keikhlasan kamu. Aku bisa lepas dari semua penyakitku."
"Aku bersyukur sekali, bisa nemenin kamu sampai kamu sembuh seperti sekarang ini."
Kiara menyandarkan kepalanya di bahu Faris yang bidang.
"Terimakasih ya, sudah jadi sahabat dan pasangan terbaik buat aku. Aku minta maaf ya, pernah menyakiti hati kamu dan mungkin menghalangi kebahagiaanmu."
"Faris, ngeliat kamu sehat aja udah cukup bikin aku bahagia. Jangan bahas masa lalu lagi ya, aku udah maafin kamu kok. Aku harap kita bisa terus seperti ini ya, bersama selamanya."
Faris merangkul pundak Kiara, diciumnya kepala Kiara yang masih menyandar di pundaknya.
"Tapi Kiara, sepertinya aku harus pergi sekarang. Maafin aku ya gak bisa bersama kamu untuk selamanya, tapi setidaknya aku sudah menepati janjiku untuk sembuh."
Kiara menatap lekat Faris, lelaki itu tersenyum padanya dan mencium keningnya.
"I love you Kiara."
Kiara tak menjawab, namun air matanya mengalir tanpa sebab, ada perasaan hancur seperti hatinya sedang dihantam oleh sebuah pukulan, sakit sekali! Ia hanya mampu menangis, lidahnya terasa kelu.
"Aku pamit ya, Ra. Jaga diri kamu baik-baik, aku akan selalu mengawasimu dari jauh. Semoga setelah ini kamu bisa bahagia meski tanpa aku ya."
"I love you." Bisiknya di telinga Kiara.
Lagi-lagi Kiara diam tak berkutik, hanya air mata yang mampu melukiskan semua perasaannya. Tangannya ingin mencoba menggapai Faris yang seolah semakin pudar, menyisakan bayangan yang perlahan turut menghilang.
Kiara memeluk dirinya sendiri, memukul-mukul dadanya, hatinya kini semakin terluka.
"Ris, Faris jangan pergi. Faris!"
Kiara tersentak, ia terbangun dan menyadari jika dirinya ada di kamarnya. Gegas ia mengambil ponselnya yang terletak di samping kasurnya, pukul delapan pagi.
"Syukurlah hanya mimpi."
Kiara mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dan juga air matanya, ah rupanya dia menangis karena mimpi yang seperti nyata itu. Ia meremas dadanya yang terasa sakit, benar-benar mimpi itu telah melukai hatinya.
Kiara segera bangun dan menuju kamar mandinya, bersiap untuk pergi ke rumah sakit.
"Mau kemana Kiara?" Tanya Mami yang sedang sarapan saat melihat Kiara menuruni anak tangga.
"Mau ke rumah sakit Mi, jengukin Faris."
Kiara menghampiri sang Ibu dan mencomot sepotong roti yang telah dioles selai kacang.
"Mau Mami anterin?"
"Gak usah Mi, aku bisa bawa mobil sendiri kok."