Kita adalah raga yang pernah satu, terpisah oleh jarak, lalu pura-pura tidak saling mengenal
***
"Alin-ka," sapa pria dengan suara berat nan dalam, membuat Alinka beranjak dari tempatnya dan berniat balik menyapa.
"Paman E-di" balas Alinka, sedikit tidak percaya. Mengetahui pihak pemerintah yang akan ditemuinya hari ini adalah paman Edi.
"Kau rupanya,"
"Arka banyak bicara tentangmu"
"Tentu paman,"
"Ar-ka,"
"Apa kabar sekarang?" Tanya Alinka, yang memang belum sempat menemui atau bahkan mengabari Arka jika ia telah kembali ke Indonesia.
"Tidak banyak berubah" singkat paman,
Mengakhiri basa-basi singkat dan sederhana, Edi kini duduk pada sebuah sofa yang berseberangan dimana Alinka berada. Bersiap memulai obrolan serius, yang memang menjadi tujuan dari pertemuan mereka.
"Bukannya tidak mempercayai Sanjaya Contraction,"
"Tapi, karena proyek ini berskala nasional, jadi kami akan mempercayakan proyek pembangunan jalan tol pada dua perusahaan konstruksi sekaligus"
"Tidak masalah paman,"
"Selama perusahaan kami bisa ikut ambil bagian dalam proyek ini" balas Alinka sedikit ragu, karena sedari awal ia memang tidak tau kalau proyek ini adalah bentuk kerja sama dengan perusahaan lain.
Setelah lama berbincang-bincang, Alinka menyegarkan paginya lewat secangkir kopi yang berada diatas meja. Lalu dengan sabar, menunggu rekan bisnis yang katanya akan segera bergabung.
"Selamat sore,"
"Maaf saya terlambat"
"Oh Tuhan," menyaksikan pria dihadapannya bertegas dibalik pintu, seketika Alinka langsung mengenalinya,
"SE-AN"
"Alin-ka" ujar Sean samar, hingga hampir tidak terdengar oleh siapapun. Mata Sean kian berkaca, ia menatap keseluruhan dengan intens. Seolah masih tidak percaya, menyaksikan wanita yang telah ia cari selama 7 tahun terakhir, berada tepat dihadapannya.
Mendapati kehadiran Sean, Alinka seketika kehabisan kata, tenggorokannya serak, berat seolah tersumbat sesuatu. Bersama fikiran yang mulai kacau, nafas yang saling mengejar panik, bersama tangan yang bergetar samar. Seolah mengisyaratkan situasi yang mulai tidak baik-baik saja.
Tujuh tahun hampir tidak merubah pria itu, stelan toxsedo, sepatu yang harus selalu bersih mengkilat, dengan potongan rambut pendek dipangkas rapi adalah gaya formal seorang Sean, kenang Alinka, bersama tatap lekat yang terus menelisik dalam.
"Dia hanya terlihat lebih dewasa saat ini, tubuhnya kekar, wajah yang tegas, bersama gurat halus yang kembali mempertegas rautnya. Matanya yang berwarna keemasan pun masih berpadu dengan lesung pipitnya yang sama"
"Kalian saling mengenal?" samar Edi menghentikan ingatan Alinka yang semakin berkelana jauh
Sean baru saja bersiap mengangkat katup mulutnya, namun segera terpotong akan sikap Alinka yang dingin.