Jangan lupa tinggalin jejak yah. Biar authornya gak nyesek sendirian♥
***
Sampai dirumah, Alinka tidak banyak bicara dan hanya segera menyasar kamar tidurnya.
Mengunci pintu dengan rapat, tungkai-tungkainya segera bergetar hingga Tubuhnya seketika merosot lemah, hingga menyentuh keramik yang dingin.
Tanpa sadar, tubuhnya ikut bergetar hebat, ada perasaan takut yang mengganjal disana. Perasaan yang dengan baik, ia sembunyikan dihadapan siapapun.
Mengakhiri kontrak kerja sama menjadi hal yang paling mustahil bagi Alinka saat ini. Perusahaan kian terpuruk, harga saham anjlok dengan cepat dengan berbagai masalah keuangan lain yang mendesak untuk segera terselesaikan, membuatnya sangat membutuhkan tander yang bernilai jutaan dolar, persis seperti yang ditawarkan pihak pemerintah kali ini.
“Tapi bagaimana mungkin?” tetap bersikekeh pada kontrak kerja sama, berarti ia setuju untuk kembali terjalin dengan pria yang telah membuatnya jatuh pada dasar yang paling dalam.
Alinka bergidik ngeri, berada disekitar Sean, hanya akan mengulik luka lama.
Mengingat bagaimana ayahnya meninggal dengan tragis, bagaimana pria yang paling ia percaya menipunya lewat skenario yang paling brutal. Hanya mengingatnya saja, membuat perut Alinka seketika bergejolak, mual.
“Mah,” samar-samar suara bocah kecil menggema dibalik pintu.
“Mamah” tambahnya lagi, bersama gedoran ringan lewat buku-buku jarinya yang mungil.
Mendengar hal itu, cepat-cepat Alinka menghalau kesedihannya. Menghapus jejak luka, pun sendu dari rautnya. Lalu dengan tegar berbalut topeng ceria, membuka slot pintu dan mendapati pria kecil dengan mata berbinar keemasan disana.
“Ada apa sayang?” ramah Alinka menyambut seorang pria kecil dihadapannya,
“Aku ingin tidur bersama mama”
“Hem, tentu sayang” balas Alinka ringan, seraya menuntun putranya menuju ranjang berukuran besar miliknya lalu menyibak selimut dari permukaannya.
“Kemarilah” tambah Alinka, yang kini meregangkan lengannya bersiap memeluk tubuh pria mungil yang ada dihadapannya.
Menyaksikan putranya yang lambat-lambat terlelap, seuntai ingatan ikut hadir. Menjadi pengingat paling setia, kala Alinka berniat untuk menyerah atau menghilang saja sekalian dari dunia yang kerap kali mempermainkan hidupnya begitu tega.
Hari begitu terik, bersama balutan kering penuh energi menggambarkan suasana Hawai, Negara bagian Amerika serikat paling selatan pagi itu.
Bell rumah tiba-tiba berbunyi,
Alinka segera berlari kecil kearah pintu dan mengintip dibalik lubang pengintai. Tampak Jona dan Naina berdiri disana. Entah apa dan bagaimana mereka bisa sampai disini.
Pelan-pelan derit pintu mengalun risih bersama dengan seuntai kata yang segera mendetak dibalik pintu,
“Alin-kaa” ujar Jona seraya memperhatikan dengan lekat wajah adiknya itu.
“A-yo, ayo masuk,”
“Harusnya kalian mengabariku sebelum datang ke-sini” balas Alinka kikuk, tidak tau harus mengatakan apa, atau memilih diksi yang paling sesuai.
“Supaya kau bisa kabur?” goda Naina, mengingat bagaimana Alinka pergi dari rumah 7 tahun yang lalu
“Ayolah kak_”
Mendengar kegaduhan dari ruang tamu, sesosok bocah kecil segera berlari lincah menghampiri Alinka,
“Mah_” ujar pria kecil dibalik punggung Alinka,
“Dia_” Naina berbinar,
“Shem, ayo beri salam”
“Mereka paman Jona dan bibi Naina”