Butiran rasa kembali meleleh pada sudut mataku
Melihatmu sendu, lalu ragu-ragu mengeja kata pisah
***
Teruntuk Sean,
Perbedaan diantara kita begitu besar, hingga tidak bisa kulawan
Aku ingin bersamamu, namun semesta memiliki kehendak lain
Kita hanyalah rasa, yang tidak mungkin bersatu
Lewat surat ini, aku ingin mengakhiri segalanya
Kisah yang pernah kita rajut, namun akan berakhir dengan canggung
Kisah kita
Temukan sosok yang jauh lebih baik dariku,
Kau berhak bahagia,
Meski itu tanpaku
ALINKA
Untuk kesekian kalinya, Sean kembali mengeja setiap bait kata yang merupakan satu-satunya hal yang Alinka tinggalkan untuknya.
Nafasnya tersengal, bersama lutut yang bergetar peluh dibalik meja. Berulang kali ia baca dan menelisiknya dalam, masih belum bisa percaya, bahwa surat itu nyata. Ia terus mengulang sepenggal kata diotaknya lalu merangkainya dengan suram, hingga ia tau, Alinka benar-benar pergi, meninggalkannya.
“Tapi kenapa?” masih saja menjadi misteri atas kepergian Alinka yang tiba-tiba.
Satu-satunya kecurigaan Sean adalah ayahnya sendiri,
“Apa yang ayah lakukan?” tanya Sean, saat memasuki ruang kerja ayahnya dengan kasar lalu berdiri tepat dihadapannya.
“Apa?” Arya Winata meringai, belum mengerti arah pembicaaran dari putra semata wayangnnya.