Kita hanyalah rasa yang dipertemukan untuk saling mendewasakan, bukan untuk tumbuh bersama
***
Malam yang gelap menutupi kemuraman awan yang menumpahkan kesedihannya. Sesekali gelegar petir juga ikut mengaung enggan menuntaskan pertunjukannya.
Enggan menyerah pada takdir yang kian menyesakkan, Sean kekeh untuk menemui Alinka bahkan ditengah badai yang kian sudah.
"Alinka"
"Kita harus bicara"
"Kumohon"
"Aku tidak akan kemanapun sebelum kau menemuiku" teriak Sean memecah gemercik hujan ditengah malam yang hening.
Merasa sesak sebab terus terbayang akan sikap Sean, Alinka mengintip keluar, dibalik tirai yang menutup kaca diruang tamu. Disana ia melihat Sean berdiri dengan kokoh, membiarkan guyuran air membasahi tiap lekuk tubuhnya.
"Apa yang akan kau lakukan?" sergah Naina, yang sedari tadi menyaksikan kegelisahan Alinka.
"Shem?" samar Alinka tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Sean
"Dia tidur sekarang, tenang saja"
"Alinka_"
Alinka tidak menjawab, hatinya penuh keraguan. Iapun meninggalkan gorden menembus badai dan kini berdiri tepat dihadapan Sean.
Ditengah badai, Sean berdiri dengan kusut dan hanya tertunduk ragu. Mengetahui seonggok raga berdiri dihadapannya, samar Sean mengangkat lekuk wajah dan mendapati Alinka tepat dihadapannya.
"Ka-u"
"Sebaiknya kau pergi, sebelum Jona kembali"
"Aku_" suara Sean tertahan, tercekat, memikirkan rangkaian kata yang paling tepat.
Petir mengerjap nyaring ditengah hening malam yang terus berdentam sendu menjadi backsong yang mengiringi pertemuan canggung yang lagi-lagi hadir diantara mereka
"Sebaiknya kau melupakanku" samar Alinka, lalu kembali memalingkan wajah berniat meninggalkan Sean.
"Apa cintaku saja tidak cukup?" tiba-tiba saja, kata itu melontar dengan nyaring.