“Hore! hari ini cuaca cerah,” ucap Oji dengan gembira.
Matahari menggantung rendah. Walaupun matahari belum berada pada puncatnya. Oji yang pintar, pandai menafsirkan cuaca.
“Hari ini teman Oji, hujan tidak akan datang. Tapi tidak apa. Oji punya masih punya teman matahari. Ya… walaupun matahari suka membuat Oji panas dan haus, tapi Oji tidak marah.”
Oji melihat ibunya tidur dengan tenang. Masih dengan posisi yang sama tidak bergerak. Wajahnya yang semula bahagia menjadi sedih. Dia terus memperhatikan wajah ibunya yang pucat. Dia menggelengkan kepala dan tersenyum.
“Ibu, ibu, Oji akan cari selimut baru yang indah buat ibu. Biar ibu nggak dingin lagi,” ucap oji dengan penuh antusias.
Ibunya hanya diam tidak menanggapi perkataan Oji. Seolah ibunya menjawab. Oji menggelengkan kepalanya.
“Bukan bu, bukan selimut dari karung goni jelek ini. Selimut benaran.”
“Waktu itu kan Oji lihat paman perut besar lagi tiduran di teras. Nah paman itu pakai selimut dari kain lembut berwarna merah yang ada bunga kuningnya. Bunganya cantik sekali bu, seperti hidup.” Oji tersenyum lebar.
Wajahnya berseri-seri. walaupun dia berusaha tersenyum selebar mungkin, wajah sedihnya masih terlihat jelas. Dia membayangkan ibunya tersenyum padanya serta berterima kasih padanya.
“Tidak perlu terimakasih ibu. Oji anak yang baik dan pintar. Walaupun harus mencari seisi kota. Oji berjanji akan menemukan selimut baru untuk ibu. Ibu tunggu Oji ya.”
Oji mengambil beberapa botol plastik kosong memasukannya kedalam kantong plastik yang terikat tali hitam. Tali itu dia selempangkan di bahu kirinya. Dia berdiri, berjalan pergi. Sesekali melirik ibunya.
Oji berbalik dan berkata,“Ibu tunggu Oji ya jangan kemana-mana.”
***
Oji mengisi botolnya sampai penuh dengan air hujan yang terdapat di salah satu drum besar di dekat gudang terbengkalai. Setelah selesai mengisi dia menutup kembali dengan papan kayu. Oji mengingat ajaran ibunya. Ibu pernah mengajari Oji menjaga air tetap bersih dari kotoran dan serangga kotor.
“Siap deh, bekal perjalanan sudah selesai,saatnya bertualang mencari selimut untuk ibu."
Oji begitu bersemangat, mencari selimut untuk ibunya di setiap tong sampah yang bisa dia temukan. Tong sampah kakak penjual bunga. Tong sampah paman bertubuh jangkung, yang menjual banyak mainan. Tong sampah paman pendek penjual ikan, sampahnya penuh dengan ikan bau, tapi oji tidak merasa jijik.
Oji bahkan di marahin bibi penjual kelontong karena Oji membongkar tempat sampahnya dengan berantakan. Di maki dan di lempari daging busuk mentah oleh paman penjual daging sapi. Dia juga hampir di pukuli oleh berberapa anak lain yang memperebutkan makanan di salah satu tong sampah sebuah warung makan. Tapi Oji tidak menyerah oji tetap bersemangat mencari selimut untuk ibu. Hingga akhirnya dia sampai ke tong sampah bibi penjual kain. Oji begitu senang melihat etelase kain-kain yang di panjang disana.
“Lihat kain-kain cantik itu, warnanya cantik sekali, seperti pelangi di langit. Pasti bibi punya kain bekas yang di buang,” ucap Oji dengan bahagia.
Tapi saat oji menghampiri tong sampah di samping toko, Oji terkejut. Hari ini Oji terlambat. Tong sampah itu telah di bersihkkan. Bahkan beberapa tempat tong sampah lain di kota itu telah bersih. Hari ini adalah jadwal pengangkutan sampah. Oji yang begitu malang hanya terlambat beberapa menit, sebelum mobil tua pengakut sampah menjalankan tugasnya.
Oji menekuk wajahnya. Hari semakin sore tapi Oji belum menemukan selimut baru untuk ibu. Dia tertunduk sedih. Dia membayangkan wajah pucat ibunya, tubuh ibunya yang dingin, serta ekspresi ibunya yang akan amat kecewa.
Botol minum yang dia bawah juga sudah hampir habis. Bahkan sekarang cacing dalam perut kecil Oji terus berbunyi. Saking bersemangatnya Oji lupa untuk memberinya makan.
“Ah… Oji lupa makan, hehehe maaf ya cacing kecil,” ucap oji.