Oji berjalan lilung di antara bangunan tinggi. Di lapar, haus, serta kelelahan. Oji yang malang tidak bisa berlama-lama bersama paman hitam walaupun dia ingin. Beberapa waktu lalu, segerombolan pemuda nakal dengan pakaian yang sobek meraih tangannya memaksa dia untuk turun dari bangku taman.
Oji kini duduk dengan tatapan kosong di samping tong sampah kakak penjual roti.Oji yang sebelumnya berjalan tanpa tentu arah malah kini berada disini, memakan roti berjamur dengan pelan. Walaupun oji tidak bernafsu makan, tapi tubuhnya bereaksi lain. Dahulu Oji akan behagia menemukan setumpuk roti berjamur, tapi kini perasaan itu hampa. Oji tidak bahagia.
Langit kini berwarna jingga, warna yang indah. Jika kemarin Oji akan meloncat-loncat dengan bahagia, bersenandung dengan riang, Tapi... kini tidak. keindahan alam pun tidak bisa mengubah hatinya. Oji tidak bahagia.
Oji yang malang telah kehilangan semangatnya. Dia kini berubah menjadi orang yang berbeda. Senyum manisnya telah sirna. Tawa yang menggema telah lenyap. Alam semesta kehilangan sahabat mereka. Kini Oji tidak lagi menjadi bocah bahagia. Dia hanya seorang anak kecil dengan wajah tanpa ekspresi, dengan tatapan kosong.
Oji tidak tau kemana kini dia harus pergi. Tidak ada tempat bagi dirinya. Dia tidak bisa kembali ke taman, karena disana orang – orang akan mengusirnya. Dia juga tidak ingin kembali ke celah bangunan, tempat dimana Oji menghambiskan hari penuh bahagia bersama ibunya. Tempat yang dahulu dia sebut rumah.
“Kini tidak ada yang namanya rumah jika tidak ada Ibu.”
Dia tidak ingin kembali ke tempat dimana dia akan kesepian. Dia tidak ingin kembali di tempat ibunya pergi meninggalkannya. Dia tidak ingin melihat bayang – bayang masa lalu, yang akan membuat hatinya semakin sakit. Tempat dimana satu – satunya harapannya telah sirna
“Aku tidak mau kembali. Tidak mau!” teriak oji sembari berlari kencang.
Angin berhembus, menerbangkan beberapa daun kering. Daun – daun menari- nari di angkasa, perlahan mendekati Oji. Seakan mengajak Oji bermain, beberapa daun menyentuh kulit oji, daun yang lain melingkupi Oji. Tapi oji tidak perduli, dia tidak ingin bersama sang angin maupun bermain bersama daun. Oji terus melangkah dengan lemah meninggalkan daun – daun di belakangnya.
Hari telah malam. Rumah – rumah di sekitarnya telah di penuhi lampu. Malam ini begitu sunyi, binatang malam tidak terdengar. Beberapa orang telah masuk kerumah mereka masing –masing untuk menghangatkan diri serta menghabiskan malam yang dingin bersama orang yang di cintai. Lampu jalan yang temaram menyinari Oji yang kesepian di tengah kegelapan. Kaki Oji telah lelah berjalan, kakinya terasa kaku.Sekujur tubuhnya terasa sakit, rasa lelah yang teramat hebat menguasainya. Tubuh dan pikiran Oji mengambil alih. Oji meringkuk di salah satu pagar di salah satu rumah yang besar.
Oji mencoba membuka matanya, tapi matanya terasa berat. Oji tidak tau sudah berapa lama dia tertidur disana, dia bahkan tidak mengingat bagaimana dia sampai disini. Rasanya dia mengalami mimpi yang panjang, mimpi yang mengerikan.
Angin dingin berhembus. Perlahan, tapi menusuk ke tulang – tulang. Tidak ada karung goni yang bisa di jadikan selimut, tidak ada kardus bekas yang di jadikan alas tidur. Tidak ada bangunan yang menghalau dingin. Oji kedinginan, rasanya malam ini lebih dingin dari semua malam yang di lalui. Rasanya, tubuhnya di kerumbungi semut – semut dalam jumlah banyak yang mencoba berjalan di atas tubuh kurusnya. Bulu – bulu halus di tubuh oji berdiri. Oji berusaha bernafas dengan berat, hembusan nafasnya berubah menjadi asap kecil. Oji bergetar hebat, dia memeluk tubuhnya dengan kuat, meringkuk di tengah malam yang pekat.