Okaeri

Naila Hafizha
Chapter #1

Pulang

Menjadi yang lambat di tengah-tengah semesta yang cepat, tidak seutuhnya perlu disesali.

Shinkansen memang didesain untuk penumpang yang ingin cepat sampai ke tujuan. Tapi kita bisa memilih perjalanan dengan mobil jika ingin melihat-lihat pemandangan lebih saksama.

Aku sering berpikir--, apakah aku telat bertumbuh di umur 20-an? Nyatanya itu jadi lucu mengingat perihal 'makin dewasa mereka, makin bijaksana pula'. Seperti penulis yang justru makin berumur, makin melegenda.

Aku masih menyangkal, "Seandainya aku mulai lebih cepat, paham lebih dini, lulus awal waktu. Aku juga bisa berhasil seperti mereka."

"Tapi pasalnya, ini garisku. Kalaupun aku kembali pada masa lalu, aku akan tetap memilih jalan yang sekarang kupilih. Aku bersyukur meski tidak tahu sudah di kilometer berapakah aku. Sudah melewati berapa rest area kah aku?"

Kira-kira apa hal seru, mencekam, magis, banjir air mata, meledak tawa, yang akan datang lagi nantinya?

"Adek kalo ngelamun suka ngomong sendiri ya. 'Kan jadi bocor itu isi hatinya," Seorang lelaki berhias ceria di wajah, dengan senyum merekah lebar menyisakan matanya membentuk garis lengkung, berjongkok memiringkan kepalanya ke arah istrinya yang tampak imut sekali di matanya. Yang diajak bicara kaget betul. Malu, memeluk lututnya dan menoleh kepada si lelaki. Memandang penuh ancaman.

"Iih, dari kapan di sini?" Hana mendelik. Jurus keduanya, ia memukul asal lengan lelaki itu. Masih malu. Korbannya tertawa saja. Karena kelakuan itu justru menambah tingkat lucu perempuan di sampingnya.

Hana acap kali tidak sadar dengan kehadiran orang di sekitarnya, mungkin karena terlalu fokus. Tapi Khalid yakin, itu justru karena Hana sering tidak fokus. Ia sering terbenam dengan pikirannya, kadang berdebat dengan hatinya, yah, begitulah sudah lama Khalid maklumi.

"Dari tadi di sini, tau." Khalid menyodorkan sloki dari tanah liat berwarna hijau botol keabuan. Ia yakin, Hana tidak akan menolak. "Sogok terus, istrinya," masih konsisten dengan bibir mengerucutnya, Hana menyambar sloki yang dengan ringannya melambai-lambai di depan wajahnya. "Ini hadiah, bukan sogokan." Khalid mengusap rusuh kepala Hana. Mengangkat server, sebuah cawan untuk menyuguhkan kopi, menuang bagian untuk dirinya sendiri.

Kalau ditanya bahasa cinta atau akrabnya, love language Hana. Diseduhkan kopi oleh Khalid adalah jawaban paling spesifik. Jelas, Hana tidak bisa--tepatnya tidak ingin rugi mengacuhkan maha karya suaminya yang ia dapat secara cuma-cuma itu. Maklum, ini tahun pertama pernikahan mereka setelah tahun sebelumnya menjadi sahabat karib yang sama-sama melalui pahit-payah kehidupan. Cintanya masih hangat, usilnya sudah mengakar.

Sejuk yang dinanti setelah menanggung kurang lebih enam bulan musim panas. Kairo tahun itu tetap tidak bisa diajak kompromi. Panas udaranya konsisten di empat puluh derajat, puncaknya di empat puluh lima. Tidak sedikit yang jatuh pingsan saat imun tubuh sedang rendah-rendahnya, dihajar dengan cuaca yang tidak bersahabat.

Seperti biasa, musim panas ditutup dengan badai pasir yang menelan kota. Langit jadi sangat putih saat itu. Udara membuat pedih mata. Kabar-kabar pun sudah tersebar di seluruh penjuru kota. Hati-hati! Kemungkinan besok akan terjadi badai pasir. Lebih baik tetap di rumah bila tidak ada keperluan mendesak.

Teras rumah sewaan mereka di sore hari adalah yang terbaik. Cahaya keemasan membelai lembut wajah Hana, membuatnya bila dipotret bagaimana pun akan menghasilkan karya yang indah. Dedaunan di sekitarnya juga bernasib sama, membuat hijaunya jadi kekuningan.

Lihat selengkapnya