Dini hari dengan sisa mata yang sembap terlebih harus menahan kantuk menjemput keberangkatannya, Hana mengemas barang-barang apa adanya. Khalid memasak untuk perbekalan mereka sembari menanti fajar di bandara nanti.
"Abang, Maika bakal baik-baik aja kan?" ujar Hana begitu melihat abangnya merangsek masuk membawa kotak perbekalan. Ia sejujurnya tidak sedang bertanya nasib adiknya. Ia hanya perlu keyakinan itu. "isokee.. Maika akan baik kok. Dia kuat." Khalid menepuk-nepuk kepala Hana pelan, sepuluh kali membuatnya jauh lebih tenang.
"Visa, paspor, aman?" tanya Khalid memastikan. Yang ditanya mengacungkan jempol. "Tapi abang yang nggak aman," ucapnya lagi, lirih. Tersenyum kecut sambil memalingkan pandangannya. Mendengar pernyataan se-genuine itu, Hana jadi senyum-senyum. Abangnya--maksudnya suaminya nampak sangat manis dibalik figur maskulinnya dengan rambut gondrong nyaris menyentuh pundak. "Aaa.. Apa? tadi abang bilang sesuatu?" sengaja menghentikan aktifitas menata pakaiannya, mencondongkan tubuhnya.
"Hah, apa?" Khalid berpaling pada Hana. Datar, seolah benar-benar bertanya ada kejadian apa barusan. lagi-lagi wajah polos itu!
Ucapan-ucapan yang membombardir hati itu langka bagi Hana. Meski Khalid hampir setiap hari asal ngomong begitu. Ia pun tidak sadar akan ucapannya karena mulutnya pasti kelepasan bicara apa adanya. Khalid pernah mengaku ia sangat sulit mengutarakan isi hatinya. Meski perasaannya sering meluap dan hatinya meletup-letup, ia sering kaku mengekspresikannya. Bagaimana tidak, Hana selalu nampak cantik dan ia kelewat salah tingkah. Sebab lain adalah, ia sebelumnya tidak pernah menerima perayaan atas dirinya. Jangankan meriah, Hana adalah penyelenggara pesta pertama dan satu-satunya bagi Khalid. Masalalunya tidak semudah itu.
***
"Abang tunggu kabarnya ya, cinta," Selepas pamit, mencium tangan Khalid takzim, Hana bersama kopernya menuju gerbang keberangkatan. Khalid tersenyum mantap memandangi punggung Hana yang perlahan ditelan dinding pembatas. Ia memutuskan kembali setelah melaksanakan shalat.
***
Sebelas jam perjalanan, Hana dijemput ibunya. Tanpa istirahat, perjalanan setengah hari yang sedikit menghasilkan sakit punggung, dan mata kering bekas menangis sepanjang terbang, melesat menuju kendaraan berikutnya. mobil sewaan yang akan membawa mereka ke rumah sakit tujuan. Pusat darurat tempat dimana adiknya, Maika, dilarikan untuk mendapat pertolongan paling tepat.
Butuh tujuh jam perjalanan tanpa istirahat lagi hingga mereka tiba di daerah rumah sakit yang dimaksud. Rasa lelah hendak mengeluh itu sirna sebelum sempat terbersit. Pikiran Hana--tentu juga ibunya penuh dengan dzikir-dzikir dan harapan. Semoga Maika baik-baik saja!
Hujan mematuk-matuk jendela mobil. Tetesan air membatasi jarak pandang. Ditambah keadaan gelap malam itu. Sang sopir yang juga disewa beserta mobilnya sudah lihai memutar kemudi di tengah cuaca apa pun. Hujan yang semakin deras tidak menghambat laju kendaraannya. Sayangnya perjalanan ke Jawa itu tersendat-sendat dengan timbulnya kemacetan sana-sini.
Hana tidak membuka pembicaraan, sama halnya dengan wanita lima puluh tahunan di sebelahnya. Tidak ada yang perlu dibicarakan. Tidak ingin juga. Mereka terbungkus dingin dan kabar-kabar radio berbahasa Sunda, dengan suasana cemas yang mengungkung. Hana memejamkan mata. Sungguh panjang hari ini.
Beberapa jam setelahnya, tidak ada lagi hujan. Kering di daerah itu. Semburat cahaya matahari mulai tampak kemerahan di ujung timur. Awan-awan tipis menyebar menggarami langit, ikut kemerahan bagai kapas menyerap warna langit sekelilingnya. Sungguh memesona setiap mata yang memandang. Sebentar lagi matahari berbentuk bulat sempurna berwarna oranye seperti kuning telur asin itu siap mencuat menjadi tontonan seluruh makhluk yang sadar akan kemunculannya.
Petak-petak sawah hijau sejauh mata memandang menghiasi kanan kiri jalan. Dulu Hana tidak begitu suka dengan sawah, sebab itu pertanda ia sudah dekat dengan pondoknya. Tempat ia dilatih setiap hari. Tempat segala hal mengenai hidupnya diatur. Termasuk cara berpakaian dan bersolek. Dulu sekali ia merasakan beban itu. Namun segala hal berubah semenjak ia telah menemukan 'mengapa' nya selama ini. Segalanya berganti syukur setelah semuanya terjawab. Ah, manusia ini memang tidak sabaran dalam menilai.
Sudah semenjak mereka melalui setengah perjalanan, suara di radio beralih menggunakan bahasa setempat. Hana sudah tidak mengerti apa yang dibicarakan. Yah, sedari awal juga ia tidak mendengarkan, sih.
"Hanami," Akhirnya sebuah obrolan. Sayangnya suara ibu masih terdengar serak. Mungkin akibat kurang minum semenjak mereka berangkat. Mungkin pula akibat terlalu banyak terisak. Hana menoleh, menyodorkan botol air mineral. "Bapak sudah tiba di tempat adikmu kemarin. Ia langsung menjadwalkan penerbangan ke Jawa," Ibu terkekeh. "Mendadak dia bisa diandalkan. Yaa.. ibu harap tidak butuh menunggu situasi genting seperti ini dulu." ia menghela napas, masih dengan senyum, memandangi hidangan alam di depan sana. Hana menatap ibunya getir. Teringat Khalid di rumah, buru-buru ia mengabari panjang lebar apa yang sudah ia lalui di kabin pesawat, hingga kabar saat ia beringsut pasrah di dalam mobil seperti saat ini.
"Tujuan kita sudah di depan mata." Hana kali pertama mendengar suara bapak yang tengah mengemudi di kursi depan, supir itu. Terkesan menenangkan dan bersahaja. Hana dan ibu melongok ke arah yang dimaksud. Gedung abu muda gagah terpampang belasan meter di depan mereka. jendelanya yang mengarah ke timur terlihat mengkilat-kilat terpantul sinar mentari pagi. Sang sopir mempercepat laju mobil.
***
Perawat mengarahkan koridor mana yang perlu dituju untuk menemui Maika. Napas Hana tidak beraturan lagi. Ia harus menghadapi kenyataan. Jantungnya berdegup kencang sekali. Ia berdebar lagi, sakit perut. Berharap cemas. Semakin dekat menuju ruangan adiknya dirawat, semakin menderu cepat ritme jantungnya, makin pucat wajahnya. Mereka berdua bergegas, tidak memedulikan salam hormat perawat-perawat di setiap pintu yang mereka lewati.
Setelah berdebat dengan perawat yang menjaga ruang perawatan intensif atau ICU, Hana menuruti segala protokol untuk menjaga ruang perawatan tetap steril. Ia juga meninggalkan barang-barangnya di luar ruang rawat, melengos begitu saja melewati perawat yang berjaga, tersengal memasuki ruangan. Seorang perawat yang tengah berdiri di sebelah Maika sontak menoleh ke asal suara. Bapak yang duduk menunggui Maika di sebelahnya bangkit menyambut anak dan istrinya. Mereka semua memancarkan air muka kelelahan, kurang tidur. Tapi bersyukur bisa berkumpul bersama. Sang perawat membungkuk pamit, meninggalkan ruangan. Menyisakan keempat anggota keluarga itu.
Astaga. Hana menangis lagi. Melihat kondisi adiknya di ranjang pasien. Ibu meraung-raung pelan di dekat kepala Maika, mengelus rambutnya. Berlinangan air mata.
Hati mereka teriris. Bagaimana tidak, seorang gadis muda yang mereka kenal baik terbaring lemah di hadapan mereka, dengan bibir putih, pucat sempurna. Lain dengan kulit wajahnya yang merah di seluruh sisi. Bengkak. Bekas cakaran dan tamparan. Maika pasti memukuli wajahnya. Kedua matanya lebam. Dahinya tak luput dari bercak merah dan luka yang mengering. Lengan Maika ruam dan memar membiru di beberapa titik, seperti bekas hantaman benda tumpul. Selang medis yang terhubung pada ventilator, tertancap di hidungnya untuk menjaga laju pernapasannya. Juga dipasangkan selang makan dan infus sebagai jalan untuk menyalurkan nutrisi dan obat-obatan. Hana menggigit bibir, ngilu sekali melihat kondisi adiknya.
Selain dari puluhan pertanyaan yang menggerayang dan limpahan sesal itu, sejuta syukur mereka panjatkan. Dada Maika naik turun teratur, ia masih bernapas! Ia masih punya kesempatan!
Mata gadis muda yang terbaring tak sadarkan diri dua hari dua malam itu berkedut. Maika perlahan siuman. Berusaha membuka matanya, penasaran dengan cahaya yang menyilaukan, namun gagal. Ibu yang menyadari itu terperangah, cepat-cepat meraih tangan anaknya dan menciuminya. Jari Maika bergerak pelan.
"Maikaaa!" Hana merangsek berlutut di bibir pembatas ranjang. Kali ini air mata bahagia. "Terima kasih, Tuhan!"
Bapak berkali-kali sujud syukur di bawah ranjang Maika. Kali pertama juga Hana melihat bapak meneteskan air mata, meski buru-buru ditepisnya, dibalas dengan senyum lebar merekah.
"Nak, kami di sini," Ibu membelai lembut kepala Maika, menciumi ubun-ubunnya.
"Mau p-i-p-i-s." Desah Maika pelan, masih dengan mata terpejam. Hana menyeringai senang membenamkan wajahnya di lengan adiknya. Adik satu-satunya itu siuman!
"Kamu dipakaikan kateter, Maika. Lakukan saja seperti biasa," ujar ibu. Maika muntah. Hitam. Untungnya Hana sigap menyodorkan kantung muntah.
"Ibu, aku nggak mau mati. Tapi aku juga nggak tahan hidup," keluh Maika lirih, ingatannya cepat sekali pulih. Ibu tergugu sebentar lalu membalas, "Maika sayang, jutaan orang memiliki alasan untuk tetap hidup. Seperti halnya ibu, bapak dan kakak yang memilih untuk terus hidup demi Maika,"
"Aku tidak yakin." sanggah gadis itu.
Kalimat yang langsung menikam di hati pendengarnya. Meski menyakitkan, mereka hanya diam. Semua orang di ruangan itu menunduk penuh sesal. Tidak dapat membantah.
Ibu bergerak perlahan mundur dari jangkauan Maika. Ia harusnya sadar bahwa ia pantas mendapat pernyataan itu. Tapi mengapa ia merasa perih? Dadanya sesak dan bergegas menuju luar ruangan. Ia perlu menenangkan diri. Bapak segera menyusulnya. Wajahnya benar-benar tidak mengenakkan.
Hana mendengus, berusaha menguasai keadaan. Ia paham betul hal itu akan terjadi. Orangtuanya memang sulit diandalkan.
"Maika,"
"Maafkan kakak." Hana menarik kursi lipat di dekatnya, mengambil posisi ternyaman di sebelah Maika. "Hihi, maafkan kakak tidak bisa menjadi pengganti ibu dan bapak mu. Aku adalah Kakak yang payah." Hana tersenyum jerih, memegangi tangan adiknya.
"Justru ini semua gara-gara kakak!" Maika berusaha menepis genggaman Hana pada jari-jarinya, namun ia jengah. Ia belum memiliki kekuatan untuk itu. Hana tersentak dibuatnya, namun lebih erat merengkuh jemari adiknya. "Kenapa, Mai? atas dasar apa kebencian itu?" pertanyaan-pertanyaan masih menghantui Hana.