Satu minggu berlalu sejak pemberitahuan waktu seleksi Duta Keputrian. Sore itu semua asrama dijaga ketat oleh Pengurus Keamanan pusat. Tidak ada yang diizinkan meninggalkan asrama untuk alasan apa pun. Sore pada umumnya, santriwati menjelajah kedai-kedai jajan, sekadar jalan-jalan menikmati sore, pergi ke wartel umum, melakukan aktifitas klub, atau bahkan ramai membanjiri Syanggit. Sebuah gedung pusat kepengurusan PM. Biasanya ramai di sana orang melapor sebelum dan sesudah melaksanakan hukuman mereka.
Asrama Hana letaknya di lantai dua. Gedung mereka termasuk gedung tertua di PM, belum pernah di renovasi semenjak dibangun tahun 90-an. Cerita-cerita seram ramai beredar di kalangan mereka. Banyak yang mempercayai sebab-sebab mistis mengapa pakaian mereka yang tengah dijemur sering hilang, darimana asal suara derap langkah di selasar tengah malam atau misteri kucing hitam yang suka muncul-hilang di kamar mandi.
"Babak pertama berupa seleksi tulis yang dilaksanakan di kamar masing-masing. Hasilnya akan dipilih satu orang dengan nilai tertinggi tiap kamar. Semangat semuanya!" Begitulah pesan ketua asrama saat menghampiri empat kamar yang ada di asrama Hana. Maka yang akan menuju babak selanjutnya ada empat orang. Hana harus unggul dari dua empat kawan sekamar lainnya untuk maju ke babak selanjutnya.
Di kamar kosong dua, kamar Hana, Kak Sephia--salah seorang senior kamar membacakan tata cara pelaksanaan. Peserta hanya perlu menyediakan kertas sobekan buku tulis untuk mengisi jawaban. Tulis jawabannya saja tanpa menulis ulang soalnya. Pertanyaan terdiri dari sepuluh soal, dan akan didiktekan isi soalnya. Yang paling banyak menjawab dengan tepat ialah pemenangnya.
Sakit perut menyerang. Kebiasaan Hana kalau menghadapi situasi yang membuat adrenalinnya meningkat. Ayolah jangan sekarang, ia butuh fokus. Anak-anak lain sibuk menyiapkan alat tempur mereka--kertas dan pena. Beberapa di antaranya sudah duduk manis bersila, pasrah dengan berapapun nilai mereka.
"Oke, kita mulai ya." Sephia menyapukan pandangan memastikan semua anak menjaga jarak aman, tidak ada celah untuk saling contek. Hana terkesiap, ia terbilang cukup tenang bila melihat kondisi anak lain yang heboh mengeluh bahwa ia belum belajar sama sekali. Demi persiapan seminggu kemarin, Hana meminjam tiga buku dari senior pengurus asramanya. Satu untuk buku pengetahuan umum, dua buku keputrian dari kelas satu sampai enam, tiga buku pengenalan seputar Pondok Madani. Bisa Hana pastikan ia telah menamatkan ketiga buku tersebut. Semoga saja pertanyaan yang dilontarkan tidak lepas dari apa yang dihafalnya.
Walau agaknya sudah berulang kali membaca, rasa gugup itu belum dapat Hana halau sempurna. Tentunya kekhawatiran itu akan terus menghinggapinya. Usaha terakhirnya adalah merapal doa-doa.
Soal pertama dibacakan. Oke bisa diatasi. Soal selanjutnya. Masih aman. Seiring bertambahnya jumlah soal, semakin cepat degup jantung Hana. Ia sendiri terusik mendengar gaduh jantungnya.
Waktu habis. Pertanyaan terakhir sudah dibacakan empat menit lalu.
"Mari kumpulkan," Sephia memungut lembar jawaban anak-anak kamar 02. Seluruh anak diminta keluar berkumpul di selasar asrama. Tidak ada yang menetap di kamar. Waktunya para senior memeriksa jawaban.
Senior kelas lima ini adalah pemegang tanggungjawab terbesar di asrama. Ialah pengurus asrama yang terdiri dari ketua beserta wakilnya, sekretaris asrama, bendahara, bagian keamanan dan bahasa asrama, serta bagian kebersihan asrama. Apapun sektor tugas mereka, mengurus anggota asramanya sudah menjadi tugas utama bersama. Semua bertanggungjawab mengatur disiplin, juga menjadi pengganti ibu bagi anak-anak asrama. Mereka harus terbiasa dan terlatih dengan beragam kepribadian santriwati. Menjadi adil bagi mereka juga merupakan hal yang harus diterapkan.
Anak-anak berkerumun di depan kamar. Riuh berdesakan membanjiri selasar. Membicarakan apa saja yang mereka tulis di lembar jawaban. "Tentang bumbu masakan tadi, aku jawab micin hahaha. Aku nggak ngerti memasak tapi mama pernah bilang, kalau makanannya mau sedap harus pakai micin! Jadi pasti benar!" Ujar seseorang bertubuh gempal. Gelak tawa pecah. "Ibukota Vietnam itu Honai kan? Yes betul!" Seorang lain, bertanya sendiri, menjawab sendiri. "Salah, hoi. Yang benar Hanoi. Honai itu rumah adat di Papua yang ditempatin laki-laki. Gitu aja salah." Sergah anak lainnya. "Huuu!" Sorak-sorai makin tidak terkondisi. Ribut masing-masing bersama kumpulannya.
Kak Sephia melangkahkan kaki keluar kamar dengan tumpukan kertas di tangan. Ia adalah komandan dari seluruh pengurus asrama. Seorang ketua asrama. Kecerdasannya tidak diragukan lagi, pemegang tiga kali berturut-turut santriwati teladan, pemenang puluhan kompetisi. Terlebih lagi, sosok rendah hatinya sungguh memperindah parasnya. Tidak ada yang tidak ingin jadi sepertinya. Orang mana pun akan kagum mendengar deretan prestasinya. Role model para santriwati baru.
Kehening menyelungkup hingga langit-langit. Anak-anak terdiam menahan napas.
Keringat dingin membasahi pelipis Hana. Kumohon, ini jalan pertama agar aku bisa menyibukkan diri. Agar aku lupa rumah dan tidak sering menangis. Hana menggigit bibir bagian dalamnya. Menekankan setumpuk buku ke dadanya yang mulai berdebar lagi.
"Nama-nama yang dibacakan, silakan bersiap untuk babak selanjutnya." Kak Sephia mengumumkan. "Safira, Arin, Ame dan Nadia." "Persiapkan diri kalian. Sekian, wassalamu'alaikum."
Hana terkulai lemas. Bahunya roboh. Tidak ada namanya. Tidak di antara nama-nama mereka yang terpilih. Kecewa dan malu bukan main pada dirinya. Ia tertunduk, masih gamang dengan pertanyaan di kepalanya.
"Hanaa! Nggak nyangka ana lolos babak berikutnya!" Seru Arin girang. Hana mengucap selamat padanya dan mengusahakan senyum terbaiknya. Arin terpilih. Ia menjadi perwakilan kamar 02. Padahal sebelumnya, ia menjadi salah satu yang banyak mengeluh kurang persiapan.
Bagaimana bisa? Hana yakin sudah betul menuliskan jawaban. Apa yang salah. Apakah ia kurang teliti menjawab? Apakah kurang panjang deskripsi jawabannya? Apa? Dimana yang kurang? Hana sibuk menerka ulang jawabannya.
Sayangnya penilaian para senior sudah bulat. Tidak mungkin ada kesalahan di sana. Hana bersandar pasrah pada tumpukan kotak sepatu kayu. Kenapa kisahnya harus dimulai dengan nasib menyedihkan ini. Ia sudah banyak membaca. Sudah kalap menghafal. Merasa lancar menjawab soal-soal. Tapi mengapa? Apa yang salah? Duta Keputrian adalah impian pertamanya. Seharusnya ia melakukannya dengan baik.
Anak-anak bubar. Rehat sejenak. Delapan anak ditunjuk untuk bantu-bantu mengangkat kursi dan meja. Persiapan untuk babak selanjutnya.
Babak kedua adalah penentuan terakhir siapa yang akan mewakili asrama. Satu orang wakil yang terpilih akan berkompetisi melawan para senior dari asrama lain di atas panggung esok harinya. Mereka akan dirias sedemikian rupa serta dipakaikan gaun-gaun indah.
Seorang senior tergopoh-gopoh berlari menghampiri Kak Sephia. Membisikkannya sesuatu. "Ada kekeliruan." Sephia tercekat, menoleh cepat. Memasang raut marah. Ingin rasanya spontan membentak kawannya. Tapi tidak mungkin ia lakukan. Anak-anak yang tengah gotong-royong menata kursi meja juga pasti akan memandang buruk sikapnya yang kurang bijak. Ia mengurungkan niatnya. Namun ia tak dapat berbohong. Kesal luar biasa. Mengajak kawan yang datang melapor tadi untuk berdiskusi di kantor asrama. Letaknya di ujung, hanya dibatasi tumpukan kotak sepatu.
"Ana udah bilang, urutkan ulang lagi meski sudah diberi nilai." Gertak Sephia, tetap dengan nada berbisik yang dipaksakan. "Maaf, Seph, tadi ana pikir ini Hana anak kamar 01. Jadi digabungkan di kamar itu." Belanya. "Kan jelas nama lengkapnya beda!" Nyaris saja Sephia memaki kawannya, tapi lagi-lagi ia berusaha menguasai emosinya. "Maaf, ana belum hapal nama mereka," Ia menunduk dalam-dalam, sadar betul akan kesalahannya. "Okelah, ana yang akan tanggungjawab." Sephia melesat keluar kantor, bahunya naik-turun menahan amarah dan kecewa yang membumbung. Apa yang akan ia sampaikan terkait kesalahan ini?
Sephia menghampiri empat anak yang masih belajar di selasar. Ia memberikan isyarat pada Arin agar mendekat. "Arin, ana minta maaf sekali. Meski sulit, hal ini perlu disampaikan." Arin menunggu kalimat selanjutnya. "Sepertinya belum rezeki-mu mengikuti Duta Keputrian tahun ini." Nada Sephia berubah prihatin. Yang diajak bicara menengadahkan kepalanya. Menatap bingung ketua asramanya itu. "Begini, tadi kami kurang teliti mengklasifikasi lembar jawaban. Maaf sekali lagi, Arin. Posisimu akan digantikan anak kamar 02 yang lain." Terangnya dengan hati-hati.
"Siapa? Yang menggantikanku?" Tanya Arin gusar. Sephia cepat menjawab, "Hana." Arin terperangah. Bagai dipaksa menelan pil pahit. Ia tidak percaya dengan pendengarannya. "Kenapa harus dia?" Desis Arin lirih. Lalu kemudian segera mengangguk. "Baiklah. Aku mengerti." Ia tidak ingin dilihat sedih atau kecewa. Cepat-cepat ia membenahi buku-bukunya, melesat ke dalam kamarnya. Tatapannya bertemu dengan tatapan Hana yang terkejut melihatnya terburu-buru masuk kamar. Ia memalingkan wajah, enggan menatap kawannya. Hana yang dari tadi hanya melamun bersandar depan lemarinya, dibuat bertanya-tanya. Seperti ada yang tidak beres.
Sephia kali ini memanggil Hana. Bertambah lagi bingungnya. Sebenarnya apakah ada korelasi antar raut wajah Arin yang tidak biasanya, dengan panggilan Kak Sephia? Hana bangkit menghampiri senior itu di luar kamar. "Ada apa, ukhti?" Panggilan hormat yang berarti 'kak'. "Sebelumnya, selamat ya, kamu jadi perwakilan kamar 02 yang akan maju ke babak selanjutnya." Sephia mengutarakan maksudnya. Hah? Dadanya berdesir. Seperti satu kali terkena sengatan listrik. Ia terpaku, perlu mencerna apa yang disampaikan Kak Sephia barusan.
"Kamu pasti bingung, tapi nyatanya hal ini harus segera disampaikan. Ada sebuah kesalahan ketika para pengurus mengumpulkan data nilai. Nilaimu terlempar ke kamar 01. Membuat nilai Arin unggul di antara yang lainnya di kamar 02. Sementara nilai anak di 01, ada yang mengunggulimu. Jadi, awalnya nilaimu tidak mumpuni menjadi yang tertinggi. Tapi setelahnya, ana mendapati laporan yang kurang mengenakkan. Seseorang salah mengenali namamu, dan kami berusaha meluruskan kesalahan yang kami perbuat meski hal ini termasuk kesalahan fatal. Kesimpulannya, nanti kamu yang akan menggantikan Arin menjadi perwakilan kamar kosong dua untuk menuju babak selanjutnya. Sampai di sini apakah cukup bisa dipahami?" Sephia runtut menjelaskan fakta yang pahit itu.
Hana memandang seniornya ragu. Dia senang itu sudah pasti. Namun haruskah ia menggantikan posisi kawannya. Hana tidak yakin akan hal itu. "Hmm... kalau dibiarkan tetap begini saja bagaimana?" Ujar Hana menimbang. "Tidak bisa. Kesalahan ini harus diluruskan. Itu hakmu." Tolak Sephia.
Apakah Arin akan baik-baik saja? Melihat reaksinya yang senang betul saat terpilih tadi, pasti akan kecewa mendengar kabar ini. Hana lama terdiam. Terbetik kecemasan di dalam hatinya. Ia pasti merasa tidak enak hati.
"Arin sudah mengerti." Lanjut Sephia seakan membaca isi pikiran Hana. "Kami minta maaf padanya juga." Hana teringat kejadian beberapa menit lalu. Saat mereka tak sengaja bersitatap, Arin melengos begitu saja memalingkan wajahnya ketus. Tapi juga tersirat kesedihan di sana. Oh, inilah alasan mengapa Arin melakukannya. Dalam hatinya, ia meratap. Andai Arin tidak satu kamar dengannya, hal semacam ini tidak akan terasa lebih sulit. Ia tidak perlu berkompetisi mengalahkannya. Dan ia tak perlu kecewa saat kawannya itu unggul. Hana masih saja membatin meski ia telah mengiyakan pemberitahuan Kak Sephia. Lolos menjadi perwakilan adalah tujuannya, tapi bukan berarti dengan cara melukai perasaan kawannya! Hana berkali-kali lipat tidak tenang dibandingkan saat namanya tidak disebutkan. Tidak mungkin ia bisa tenang di atas kekecewaan Arin.
Sedikit lagi waktu tersisa menuju babak kedua, yang juga menjadi babak final penentuan wakil Duta Keputrian masing-masing asrama. Empat anak itu membolak-balik lembaran buku sekenanya. Mengulang kembali bacaan mereka, melengkapi rangkuman tulisan yang kurang. Hana yang terus resah pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Terlepas dari rasa bersalahnya, rasa tidak enak hati, ia tetap perlu memperjuangkan apa yang sudah dipercayakan padanya. Ia tidak boleh kalah dengan perasaan tidak pasti dalam dirinya. Yakin saja dulu untuk menghadapi apa yang sedang terjadi saat ini di depannya. Urusan selanjutnya biarlah untuk nanti.
"Semuanya, berkumpul di sebelah sana. Kita akan mendukung empat kawan yang akan mewakili asrama kita!" Sephia mengangkat tangannya mengarahkan anak-anak untuk keluar kamar dan duduk di selasar sebagai penonton sekaligus pendukung. Santriwati berhamburan keluar kamar dan memenuhi tempat ternyaman mereka. Selasar yang tidak luas dibanjiri seratus anak antusias yang ingin menonton jagoan kamar mereka.
Keempat finalis itu menempati kursi yang telah disediakan. Hana terbelalak mengetahui juri yang akan menguji mereka. Ustadzah Jihan. Guru yang terkenal tegas dan selektif. Perfeksionis dan kritis. Suasana tegang mengungkung area kompetisi. Ustadzah Jihan duduk tenang, membaca-baca map berisi lembaran kertas. Mungkin berisi peraturan dan lembaran pertanyaan. Berbeda sekali dengan para finalis yang sibuk mengalihkan pikiran mereka entah kemana saja, sejauh yang mereka bisa. Menggerak-gerakkan kakinya gelisah. Melirik apa saja yang ditangkap penglihatannya.
Hana sibuk memutar-mutar penanya dengan jari telunjuk dan tengah. Hal yang biasa ia lakukan untuk mengusir rasa gugup. Setidaknya membuat ia lebih santai.
"Sudah siap?" Ustadzah Jihan mengangkat pandangannya dari kertas-kertas. Tidak ada yang bisa memastikan diri mereka cukup siap menghadapi sang juri. Mereka mengangguk patah-patah. "Baik, saya anggap semua sudah siap." Ia menyeringai.
Pelaksanaan babak ini diawali dengan pemungutan amplop berisi lima pertanyaan secara acak. Pertanyaan individual. Dilanjut dengan babak rebutan, diakhiri dengan sesi praktek.
Semakin larut keempat finalis itu tenggelam dalam persaingan sengit, semakin riuh sorak-sorai penonton. Tiap dari mereka meneriaki jagoan kamarnya. Empat finalis ini duduk membelakangi pendukungnya. Mereka hanya akan fokus pada jalannya perlombaan.
Satu soal berhasil diraup dengan jawaban tepat, sepuluh kali anak-anak bersorak meneriaki namanya dan memukul benda apa saja untuk dijadikan gendang. Ada yang memegang gayung, menabuh ember dengan hanger, hingga meminjam galon kosong milik kelas lima untuk dijadikan gong.
"GO! CHAYO! CHAYO!"
Bising sekali terdengar pula dari asrama sebelah, teriakan-teriakan membara yang sama. Sore itu PM terbakar dengan kobaran semangat para santriwatinya. Langit yang menjingga jadi saksi seruan yang tidak berujung. Turut mengamini ribuan doa yang mengelepak hingga awan-awan. Sebuah pemandangan haru di tengah suasana kompetitif yang menguar.
Empat soal individu berhasil ditebas Hana. Sayangnya, satu pertanyaan melumpuhkan pertahanannya. Kurang tepat, namun mendekati jawaban. Nilainya kurang sempurna. Tidak apa, pangkas habis pertanyaan selanjutnya di babak rebutan nanti.
Satu dua penonton tumbang, kehabisan suara. Tertawa menerima botol air dari sekutunya. Bersorai lagi. Tidak ada kapoknya.
Soal individual terakhir dilemparkan pada Nadia, anak kamar 04. Ia bisa menjawab kelimanya sempurna. Saingan terberat Hana. Mau tidak mau Hana harus mengunggulinya di soal rebutan setelah ini. Jeda sejenak. Para jagoan kamar disodorkan minum oleh pengiring-pengiringnya.
Babak rebutan segera dimulai. Para peserta mengambil kuda-kuda untuk jadi yang tercepat mengacungkan tangan. Peluh membanjir membuat basah kaus-kaus mereka. Persaingan sengit akan mereka hadapi.
"Bersiap, ya. Pertanyaan pertama, Siapakah pelukis karyaVitruvian Man?"
Tiga orang mengangkat tangan. "Yak, Safira. Silakan jawab." Ustadzah Jihan menunjuk yang tercepat. "Leonardo DaVinci."
"Tepat! Seratus." Seru juri memberi nilai.
Tepuk tangan menggema sepanjang asrama lantai dua. Pendukung makin menggila.
Perolehan nilai keempat anak silih-berganti saling mengungguli. Mengalah bukanlah pilihan bagi mereka saat keadaan begini. Mereka cekatan mengangkat tangan lebih dulu, baru kemudian memproses pertanyaan yang perlu dijawab. Asalkan menjadi yang tercepat dahulu. Tepat menjawab adalah pertimbangan kedua.
"Terakhir." Juri menatap tajam anak-anak di depannya.
"Jelaskan maksud dari perumpamaan: Jangan seperti kera makan manggis!"
Hana menumpas serangan terakhirnya. Ia harus menjadi yang tercepat. "Silakan Hana." Yang dipersilakan segera meluncurkan aksinya. Berbicara lancar sebuah filosofi yang acap kali disampaikan oleh teladannya, Ustadzah Jihan--yang kini menempati posisi menjadi jurinya.
"Bagus. Seratus."
Teriakan-teriakan pecah lagi. Riuh tepuk tangan dan benda-benda yang dijadikan genderang dipukul habis-habisan. Pujian-pujian dilayangkan. Sekarang genap sudah sepuluh pertanyaan babak rebutan dipertontonkan. Penentuan terakhir; babak praktek.
Napas empat anak masih memburu lepas senam otak, memproses pertanyaan agar cepat dan tepat dijawab. Lima menit rehat untuk menstabilkan kondisi mereka. Ustadzah Jihan meminta Sephia untuk menyiapkan apa-apa yang diperlukan saat praktek akhir.