Masih dengan wajah bekas riasan, tapi sudah berganti kostum, Hana berlarian ke Syanggit--pusat asrama para pengurus organisasi. Yang merangkap jadi kantor mereka. Organisasi pelajar pemilik pamor nomor satu di PM.
Kali pertama Hana berkunjung ke gedung ini. Aura yang menguar terasa mencekam dan mistis--seperti yang dimitoskan.
Sebuah gedung lama yang beberapa gentengnya berlubang. Pernah terhempas angin kencang, jatuh dan pecah. Serupa nasibnya demikian, keramik lantai pun banyak retaknya dan pecah. langit-langitnya yang rendah juga pohon besar di depannya membuat cahaya minim menerabas. Syanggit pun bertambah kesan angkernya.
Tetapi meski tampak tua dan lusuh, penghuninya selalu menjaga Syanggit tetap rapi dan bersih. Lantai selalu putih mengkilap. Terlebih, nama Syanggit dinobatkan menjadi identitas gedung ini dengan filosofis sekali.
Nama Syanggit diambil dari nama sebuah desa yang terdapat pondok istimewa di dalamnya. Istimewa bukan karena ia jauh berbeda dari pondok lain kebanyakan. Namun karena letaknya berada di tengah gurun Sahara, di padang Afrika yang terkenal luas dan panas, namun menghasilkan kekayaan yang tak terhingga.
Kekayaan itu bukan bersumber dari hasil bumi maupun tetumbuhannya, melainkan persembahan tak ternilai bagi dunia. Yaitu para pakar ilmu, ulama dan cendekiawan cerdik, filosof dan mufakkir andal dengan keluasan ilmunya.
Sidi Abdullah, selaku pimpinan pondok Syanggit, sangat dermawan kepada santrinya. Para pelajar tidak perlu membayar sepeser pun. Diajarkan di sana beragam keterampilan hingga teori dan keahlian berperang. Santrinya selalu memperoleh kesejahteraan dari segi ilmu maupun kebutuhan pangan dari kedermawanan Sidi Abdullah dan keluarganya yang pandai mencari usaha untuk pondok dan murid-muridnya. Hal tersebut pun yang menjadikan Syanggit cermin kedermawanan dan keikhlasan.
Hana melongok kesana-kemari. Pengurus Keamanan yang memanggilnya tidak tampak batang hidungnya. Kemana dan bagaimanalah ia harus bertanya. Hana belum pandai berbahasa Arab. Ia tidak tau cara mengucap pertanyaan.
"Limadza?" Seseorang yang dari tadi duduk bak patung di balik meja besar menegur Hana. Hana hanya bergumam dan tidak mengucap apa pun. Ia takut salah bicara.
"Cari siapa?" Akhirnya menggunakan Bahasa Indonesia. Sepertinya kondisi Hana cukup mengenaskan dengan kerudung acak-acakan dan wajah sisa riasan. Sukses menggambarkannya seperti anak baru yang memprihatinkan.
"Itu..." Aduh sial. Hana tidak tau nama Keamanan itu. Lagi, ia tidak membuka mulutnya. Malah menggeleng. Takut sekali di sana. Seorang diri sok berani di depan Syanggit yang azhim. Kemana orang-orang yang biasanya ramai berkerumun di sini? Kenapa sekarang lengang?
"Kau tidak kenal?" Sepertinya kakak ini pandai menebak mimik wajah. Atau cenayang pembaca pikiran.
Hana menggeleng kuat. Iya, dia tidak kenal.
Terdengar helaan napas senior itu. Sepertinya memang banyak sekali pikirannya. "Lalu bagaimana aku bisa bantu carikan." Keluhnya putus asa. Lebih seperti berbicara sendiri.
"Orangnya gimana orangnya? Tinggi? Cantik? Jerawatan?" Hana terus menggeleng. "...Gendut? Eh, berisi. Agak berisi? Galak?" Baru saja Hana ingin mengangguk. Seseorang muncul dari balik tirai. Berdehem. Sang cenayang tadi meringis. Pura-pura sibuk mencatat di balik meja besarnya.
Aha, ini dia orangnya. yang...agak berisi? dan tampang galak? Buru-buru Hana tepis gambaran senior yang berniat membantunya tadi. Orang yang dicarinya telah berdiri melipat tangan di hadapannya.
"Penurut sekali ya, kamu. Sekali dipanggil sudah datang tanpa repot-repot diumumkan di masjid." Katanya dengan suara beratnya yang bergetar. Entah bermaksud memuji atau apa.
Hana tidak menanggapi, ia sibuk merunduk, berdiri dengan kaki dirapatkan dan tangan bertaut di depan tubuhnya. Dari desas-desus yang pernah Hana dengar, semakin merundukkan kepala, keamanan akan jadi lebih lunak. Hana memilih percaya saja.
"Kamu tau kan, apa kesalahanmu?" Tanyanya selanjutnya. Hana mengangguk. "Telat bangun dan shalat di kamar."
"Baik, sekarang ikut saya." Senior itu berjalan menuju bilik tertutup tirai di ujung Syanggit. Hana takut-takut melepas sandal dan naik ke atas lantai keramik yang putih mengkilap itu. Mengekori Sang Keamanan--yang ia masih belum tau namanya.
Ia menyingkap tirai. Hana dibiarkan masuk duluan.
Bilik kecil yang senyap. Cahaya remang-remang menyelusup dari ventilasi berkawat nyamuk, juga dari atap genteng yang sudah hilang tiga. Ada seorang lagi yang sedang duduk di dalam.
Hana tidak berani menyapu pandang ke sekitarnya. Seakan sembarang mencuri pandang adalah perbuatan dosa. Ia manut saja apa-apa yang diminta darinya.
Keamanan itu merogoh-rogoh sesuatu di dalam sesuatu. Lagi-lagi Hana tidak mau penasaran. Ia diam saja membatu. Di dalam ruangan itu rasanya seperti masuk bilik peramal. Serba gelap dan auranya tidak menyenangkan. Pokoknya begitulah saat ini yang Hana rasakan.
"Nah, ganti kerudungmu."
Kali ini Hana berani menatap wajah Keamanan itu. Kemudian ke arah kain berwarna aneh yang disorongkannya. Kemudian ke wajahnya lagi. Begitu terus berulang kali.
Hana pernah melihat senior-senior menggunakan kain berwarna sama dengan yang diberikan kepadanya sekarang. Tapi ia tak yakin berani mengenakannya. Itu kain yang aneh sekali untuk disebut sebagai kerudung.
Ia menelan ludah. Merinding menjalar seluruh tubuh. Ia tidak menyangka secepat ini akan memakai kerudung pelanggaran. Tidak. Ia tidak menyangka akan pernah mengenakannya. Hal yang paling ia ingin hindari!
Gemetar ia meraih kain tersebut. Kain satin kualitas jelek. Sangat berbeda dari bahan satin untuk gaunnya yang dibuat Kak Fayruz.
"Duduklah." Baru kali ini Hana melihat tatapan Keamanan itu melunak. Mungkin karena melihat dirinya yang kacau menahan tangis.
Ia membentangkan kain yang diambilnya. Warna yang aneh dengan bentuk yang aneh. Kain hijau dijahit melintang dengan kain warna ungu terung. Sangat kontras dan sangat terung. Hana melipatnya jadi segitiga, membuat kain itu berwarna hijau di sisi kanannya, dan ungu di sisi kiri.
Ia kenakan dengan hati-hati kain kerudung itu. Kain yang licin dan sulit dibentuk. Garis sambungan jahitan antar dua kain tepat melintang di atas kepalanya, membelah bagian kanan dengan kirinya.
"Hukuman lain adalah membersihkan pelataran masjid, menyapu Syanggit dan berdiri di lapangan depan masjid setelah ashar. Seberapa rajin kau mengerjakannya, menjadi perhitungan kapan khimar ini dilepas. Jangan lupa laporan sebelum dan sesudah mengerjakannya." Khimar sebutan untuk kerudung dalam Bahasa Arab.