Okaeri

Naila Hafizha
Chapter #6

Tira, Eng dan Salia

"Hana itu cuma mau temenan sama orang-orang cakep."

"Benar, pantas saja kemarin ana sapa, dia nggak senyum sama sekali. Berarti aku kurang cantik ya. Huhu.."

Tiga anak berkumpul duduk-duduk di selasar Aligarh. Satu anak memang dari asrama sini, tapi dua lainnya entah dari mana. Kebiasaan yang anak-anak sekarang gemar lakukan--gibah membicarakan orang lain.

Kabar itu melesat cepat menyebar di kalangan anak-anak Aligarh dan tetangga-tetangganya. Sebagian memang tidak percaya, tapi lebih banyak bagian yang termakan kabar itu.

"Dia emang mukanya jutek gitu ya?"

"Ya memang. Mentang-mentang cakep gitu. Jadi ngerendahin orang." Timpal seorang lainnya.

Tira, Eng dan Salia, ketiganya merapat di ujung asrama. Apa pun itu yang mereka bicarakan, mengalir deras mudah sekali tanpa pernah tersendat. Satunya menggebu-gebu, duanya tertawa lantang. Begitu bergiliran.

Pengurus asrama suka menegur mereka kalau malam, dua anak itu belum kembali ke asramanya. Kuat sekali cekikikan bertiga membual ngalor-ngidul.

Mereka penyebab tidak ada lagi tawa saat Hana memasuki kamarnya. Jarang juga terlontar sapaan. Penghuni kamar jadi sengaja bungkam ketika salah seorang memberi aba-aba bahwa Hana hendak memasuki kamar.

Pagi itu selepas mandi, bersiap ke kelas, Hana mengenakan kerudung pelanggarannya untuk hari kedua. Ia merasa pagi ini terlampau sunyi untuk kamar seluas ini dengan orang seramai itu. Anak lainnya juga sama, menata bukunya, menyiapkan tempat pensil, membentuk kerudung sekolahnya. Tapi tidak ada obrolan remeh seperti hari-hari sebelumnya di antara mereka.

Semua anak hadir di depan lemari kayu masing-masing, sibuk sendiri-sendiri. Kecuali hanya Arin dan dua anak lain yang absen dari kamar. Mungkin di kamar mandi.

Pemandangan yang janggal. Hana mencoba tak menggubris. Pagi-pagi seperti ini wajar saja terjadi satu-dua kali. Saat mereka mungkin sebatas malas bertegur sapa.

Di kelas, Hana tidak duduk sebelah Arin seperti biasanya. Arin pun menghindar ketika Hana bergerak mendekatinya saat istirahat. Hana ciut. Sepertinya dia sudah membuat kesalahan besar. Tapi apa?

Sehabis ashar pun Hana lantas membubarkan diri dari saf, berlari ke Aligarh, berganti kerudung, kembali tergesa mengambil papan tulis depan Syanggit, lalu ambil posisi berdiri tengah lapangan.

Sore itu rombongan burung dan kucing sudah raib. Tidak lagi ramai bersahut-sahut mengalahkan suara ngaji di surau.

Bersisa pikiran Hana yang penuh, karena gagal mengacuhkan tindak-tanduk kawan sekamarnya. Siang lepas pulang sekolah masih sama cueknya rekan-rekan di kamar. Melihat pemandangan pasca kelas tambahan juga masih sama. Kenapa sih orang-orang itu? Apa mereka kehilangan selera berbicara? Hana menceracau dalam hati. Tidak menemukan kata kunci.

Hari ini Hana cuek saja dengan sejumput massa yang penasaran mengintip papan pelanggarannya. Ia tidak merasa serendah kemarin, yang menjadi pengalaman pertamanya. Kak April juga mengangkatnya tepat waktu. Tidak dilupakan terjemur sampai ireng.

Jadwalnya menyapu Syanggit. Tidak dulu membersihkan masjid. Sebenarnya ia khawatir berjumpa dengan senior gila kemarin.

Laporan, laporan, laporan.

Rutin Hana lakukan sebelum dan sesudah menjalankan hukumannya. Seperti yang diminta.

Sore berlalu cepat. Lapangan merah pun sudah dikuasai para pebasket. Klub yang terkenal jago dan berhasil melumpuhkan pondok-pondok cabang di banyak pertandingan.

Keringat membasahi kaus Hana. Ia ingin segera membersihkan diri. Beberapa menit lagi semua orang harus pergi ke masjid menanti salat maghrib. Semoga sempat.

Tanpa kembali lagi ke kamar, Hana terburu ke kamar mandi yang berada di sebelah bangunan asramanya. Jaraknya hanya seratus meter dari Syanggit.

Beruntung sekali, kamar mandi itu lengang. Jauh berbeda dari sore biasanya.

Waktu kamar mandi tersibuk adalah pagi sebelum sekolah dan sore setelah ashar sampai menjelang maghrib. Pasti dilimpahi oleh anak-anak yang gemar mencuci baju--karena yang malas pasti mencucinya sekali seminggu, di hari Jum'at saja. Juga pasti segerombol anak antre panjang di tiap pintu kamar mandi yang hanya ada enam tiap asrama. Bayangkan saja seratus orang menyumpal di sana berebut siapa yang lebih dulu sampai depan pintu. Tapi itulah guna keahlian anak asrama, mereka akan mencari waktu paling tepat demi bisa mandi dengan tenang.

Dan dengan keadaan lelah begini, Hana bersyukur tidak ada siapapun di situ, kecuali lima daun pintu yang tertutup. Menyisakan satu kamar mandi kosong di urutan ketiga.

Baru saja ia mengambil alat mandinya, baru saja ia melepas sandalnya di garis pure limit, di batas sandal harus ditanggalkan. Baru saja ia memasuki bilik kamar mandi,

BYURRR...

Hana terbelalak. Terkejut bukan main. Sesungkup air mengguyurnya. Tidak. Itu bukan air bak mandi. Air itu keruh, hitam pekat. Bau pesing menyengat. Banyak sekali jumlahnya. Pasti lebih dari satu ember. Lumpur, gumpalan-gumpalan hitam juga menyertai. Menempel di kerudung dan kausnya. Juga wajahnya. Sampah-sampah bungkus sabun cuci berjatuhan di lantai. Pintu dibelakangnya bedebam. Seseorang menguncinya dari luar.

Ia mengibaskan tubuhnya, menyeka wajah. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

Lihat selengkapnya