Okaeri

Naila Hafizha
Chapter #7

Bukan Ti Sabet

Sebagai anak kelas satu, Hana belum memiliki banyak kesibukan. Hari-harinya selain bolak-balik kelas pagi dan kelas tambahan di siang hari sampai menjelang ashar, tentunya ia lalui dengan mondar-mandir Syanggit. Hukuman berjemur di lapangan merah sudah ia tuntaskan selama tiga hari. Ia tidak lagi menanggung rasa malu itu. Meski bisa dikatakan ia hampir terbiasa.

Kelas satu memang belum diperbolehkan ikut klub ini-itu. Tujuannya agar mereka terbiasa meraba pondok dulu. Mengenal satu persatu relung pendidikan yang terbalut dalam bentuk apa pun, sebelum disibukkan dengan kegiatan luar sekolah. Tetapi walau begitu, Hana dan kawan-kawannya tidak bisa menganggapnya santai sama sekali. Karena segala pekerjaan diburu waktu, tiap anak harus pintar-pintar menggunakan waktunya. Lengah sedikit, jaros berdentang. Lalai semenit, dikejar keamanan. Lari sana, lari sini. Keringat mengguyur tubuh. Sudah mandi wangi-wangi, berkeringat lagi.

Sama dengan siang itu. Hana berinisiatif mandi sebelum berangkat kelas tambahan. Agar tidak perlu berebut kamar mandi nanti sore, katanya saat Arin protes kalau sekarang terlalu dini untuk mandi sore. Hana cuek saja yang penting dia bersih dan wangi setelah papanasan di kelas selama enam mata pelajaran.

Lagipula, masih sedikit kesadaran anak kelas satu yang piawai mengurus dirinya. Dipaksa mandiri di pondok, kadang membuat mereka kurang memperhatikan kebersihan diri--atau mungkin belum tau caranya merawat diri. Masih merasa itu bukan hal penting bagi anak seusia mereka. Kerudung sudah kuning-kuning tidak diganti. Mukena banyak berbintik akibat jamur. Baju luntur, bau ketiak, dan kutuan itu hal lumrah. Tetapi tidak sama sekali bagi Hana. Ia sudah cukup mengerti menjaga dirinya tetap nyaman dalam kebersihan. Bahkan katanya, yang ia dengar dari senior pengajar darsul masa' , di kelas tambahannya, semerbak aroma anak kelas satu itu khas. Hana waktu itu belum paham apa yang dimaksudnya dengan aroma khas itu?

Tang...tang...tang...

Gawat! jaros Syanggit berdentam bertalu-talu. Lonceng yang satu itu lebih cocok dibilang besi yang dipukul-pukul. Alat pemukulnya pun dari potongan linggis yang dilengkungkan. Jika dibunyikan, sama menegangkannya dengan jaros kubro namun turun satu kelas sedikit. Itu lonceng tanda persiapan. Sebelum jaros kubro memanggil. Sebelum semua yang telat diberhentikan dari larinya, diberdirikan, tidak akan selamat.

Hana yang belum selesai dengan kerudung merepotkannya, asal menyelungkupkan ke kepalanya. Yang penting dia lari dulu. Jangan sampai ia belum bebas dari kerudung belang, sudah ditimpa hukuman lain.

Ia menyambar segala keperluan kelasnya, juga pantofel, sepatu sekolah yang sudah ia siapkan di depan kamar mandi. Belum pakai kaus kaki. Tidak sempat. Kemudian lari sekuat tenaga ke kelasnya. Perasaan bertambah getir ketika melihat jalanan sudah lengang. Tidak ada anak sebayanya yang berlari. Hanya ia seorang!

Jantungnya seperti ingin melompat ke leher. Takut sekali. Kakinya berada di ambang kekuatannya. Tidak mau lagi menurut berlari secepat keinginannya. Kelasnya terlalu jauh dan melelahkan jika dilalui dengan berlari dari awal hingga akhir.

Peluhnya membasahi wajah. Sempat Hana menoleh ke belakang. Di ujung sana telah berdiri seseorang berseragam merah. Mengambil kuda-kuda menggenggam ujung besi yang menyembul dari dalam jaros kubro. Bersiap mendentumkan besi itu maju-mundur menghasilkan suara bergema yang menggelegar.

Hana melirik jeri. Ayo sedikit lagi sampai. Hana mohon walaupun lonceng itu berdentang, jangan ada pengurus yang berjaga di sekitar kelasnya. Ia sudah lelah sekali. Usahanya mandi lebih cepat agar tetap segar gagal total.

Ia melintasi tikungan, barulah tampak gedung kelasnya yang tua namun tetap gagah berdiri. Di sisi jalan yang lain, Bagian Pengajaran, si penjaga disiplin selama kegiatan belajar-mengajar tegap dengan tangan bertaut di belakang punggungnya. Berseragam merah. Hana berkomat-kamit dalam hati, jangan sampai Bagian Pengajaran itu sadar dengan kehadirannya.

jaros kubro berdentang. Tepat saat itu, Hana melempar tubuhnya ke dalam kelas. Bukan kelasnya. Kelasnya ada di ruangan ujung kanan kalau ia menghadap gedung. Ia tadi asal melompat ke kelas di ujung kiri. Kelas terdekat yang bisa ia jangkau dalam waktu beberapa detik sebelum jaros. Demi menghindari kecurigaan penjaga disiplin yang menghadang jalanan tadi.

Semua anak dalam kelas melongok ke arah Hana. Alis mereka bergelombang. Kebingungan. Hana hanya mendelik dan menaruh telunjuknya di depan bibir sebagai jawaban. Ssst...

Beruntung, semua kelas di gedung ini dihuni oleh anak kelas satu. Walau tidak kenal mereka sepenuhnya, setidaknya Hana tau itu kelas satu E. Ada Salia di sana. Eh, Salia? Hana mengabaikannya. Menyelamatkan diri adalah yang terpenting sekarang.

Sementara, berjarak dua kelas dari situ, Nung, yang menjabat ketua kelas satu B menutuk-nutuk kayu mejanya. Ia menggigit bibir. Dimana Hana? Ia sudah toleh-toleh ke yang lainnya, pada yang duduk paling belakang. Mereka juga tidak tahu keberadaan Hana. Mengangkat bahu. Menunjukkan wajah cemas.

Menunggu beberapa hitungan, sampai suasana terasa lebih aman bagi Hana untuk melintasi dua kelas lain menuju kelas aslinya.

Hana celingak-celinguk di balik kaca nako jendela. Memeriksa keadaan di luar. Ya Tuhan! Tatapannya bertemu pandang dengan Bagian Pengajaran bermuka garang. Hana betul-betul terkejut. Ia bungkus paniknya sedemikian rupa agar terlihat biasa saja. Kemudian menarik tubuhnya duduk. Beruntung lagi, banyak anak yang absen kelas siang hari itu. Entah izin sakit atau ada tugas piket. Jadi masih ada bangku panjang luang di sana.

"Qumna fil makan." Semua berdiri di tempat.

Hana tanpa sadar menepuk jidat. Bagian Pengajaran itu malah masuk kelas E untuk memeriksa kelengkapan atribut pelajar. Hana mengatur napas. Menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan. Kau harus tenang Hana. Meski tidak bisa dibayangkan bagaimana keringat sudah membanjiri seragamnya. Anggap saja ia bagian dari kelas. Ini pemeriksaan biasa. Atributnya lengkap. Kaus kakinya sudah sempat ia kenakan.

Bagian Pengajaran, yang akrab disebut ta'lim itu menyisir baris demi baris deretan meja. Hingga saat ia menuju tempat Hana, Hana menahan napas. Takut sekali debaran jantungnya terdengar. Ta'lim itu menatap tajam Hana. Apakah ia akan ketahuan? Apakah ta'lim ini mengenalinya? Oh Tuhan...

"Siapa di sini?" Tanyanya pada Hana.

Hana merasakan napasnya kembali mengalir. Ia menelan ludah. "Sedang tugas jaga asrama." Jawab Hana sekenanya. Ta'lim itu maklum. "Tayib. Ijlisna." Baik. Duduklah.

Ketika punggung Sang ta'lim menghilang di telan tembok, seisi kelas menghela napas berat. Tadi hening sekali. Suara jantung orang pun bisa terdengar.

Lihat selengkapnya