Okaeri

Naila Hafizha
Chapter #8

Penerjemah Rindu

Merdeka. Itulah gambaran yang mangkir di benak Hana saat ini. Dari tadi ia senyum-senyum sendiri.

Sayangnya, ia tidak mendapati Arin di kamar. Dimanakah gerangan ia berada? Kamarnya juga kosong. Hanya tampak Ida seorang diri di sana tengah melipat pakaiannya.

”Ida, dimana Arin? Dan kemana semua orang di sini?”

Ida anak Sukabumi, ia pendiam dan kalau berbicara, huruf S yang diucapkan terdengar mendesis dengan cara yang unik. Saat mengucapkannya, seperti diselipkan es batu di antara lidah dan langit-langit mulutnya. Tidak, Ida bukan cadel. Dia pernah mengelak saat ada yang bertanya.

Di PM memang dilarang keras berbahasa daerah, namun aksen Sunda Ida yang mendarah daging sering tercampur membumbui Bahasa Arab sehari-harinya.

Yang diajak bicara tidak mendengarkan. Masih amik dengan kegiatannya. Hana mengulangi, “Ida!”

Ida mengangkat kepalanya. Akhirnya.

Air mukanya datar. Hana menatapnya bingung.

Anti kenapa, sih? Kalian ini kenapa?” Hana mengutarakan kegelisahannya.

Alis Ida bergelombang. “Hana yang kenapa.”

Hana mengernyit. "Maksudnya?"

"Memang teman itu harus selalu Arin-Arin-Arin lagi ya? Sadar, dong dia cuma memanfaatkanmu. Lihat sekarang! Anti ditinggalkannya ke kelas dua." Ujar Ida ketus, lebih terdengar sebagai rentetan sengau pernyataan yang termuntahkan dari mulutnya. Biasanya ia lambat-lambat kalau bicara. Tapi kali ini dia seperti menggerutu sendiri. Tidak tahu apa yang dibicarakannya.

Mata Hana terbuka lebar. Begitu juga mulutnya. Ucapan Ida seperti menyambar jantungnya. Ia tergegap lalu menemukan kembali oksigen mengalir ke tenggorokannya. Dan kembali bertanya, "Apakah aku terkesan begitu?" Pelan sekali suaranya nyaris tak terdengar. "Sangat kentara." Balas Ida lagi. Tidak berhenti tangannya membuat gunungan baju yang sudah terlipat rapi. Karena anak kelas satu belum boleh menggunakan setrika arang, jalan ninjanya adalah menjejalkan kamus berat di atas tumpukan baju. Guna menghilangkan kusut-kusut pakaian pasca dicuci.

Mereka tiap Jum'at pagi hanya bisa asik menonton senior kelas lima di kamarnya, mengipas-ngipasi arang agar baranya tetap panas. Setrika model kuno yang terbuat dari besi berat, bahkan tidak jarang terhias karat. Dengan patung ayam kecil di bagian ujung kepala setrikaan. Arang ditaruh di dalam besi setrika, lalu dikunci. Tapi kalau kuncinya sudah patah, wah, harus ekstra hati-hati. Sebab mudah sekali baranya melompat keluar dan membuat lubang di pakaian. Hana pernah sekali dipinjamkan oleh seniornya. Juga anak lain untuk mencoba menyetrika satu kerudungnya yang paling kusut. Ia terlalu lama menahan setrikanya di satu tempat, dengan kondisi bara yang sangat panas. Alhasil, kerudung putihnya gosong berbentuk tapak setrikaan. Sejak itu Hana tidak lagi mau mencoba menyetrika sebelum jadi kelas lima atau kelas enam.

"Jadi kalian banyak diam karena sebab itu?" Hana masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya.

Sebelum Ida sempat membalas, Kak Salma--wakil ketua yang menjadi rekan Kak Sephia, berdiri di ambang pintu kamar. Kelihatannya sedang tergesa-gesa. "Hana, ikut kakak, yuk. Ida juga. Cepat." Salma berlalu menyisir kamar-kamar sebelah.

Ida yang ikut bingung akhirnya menjelaskan, sore itu seluruh anak kelas satu dikumpulkan di auditorium untuk latihan paduan suara. Seluruhnya, berarti meliputi tiga asrama. Ida tidak ikut pergi karena tadi ia piket jaga asrama. Ia diberi waktu untuk beristirahat.

Salma kembali lagi ke kamar 02. Hana dan Ida sudah siap mengekorinya walau mereka belum sempat bertanya kemana dan untuk apa mereka harus ikut. "Ayo, Da," Ajak Hana.

Lumayan jauh mereka berjalan, hingga tiba di depan sebuah bangunan putih yang bagian depan arsitekturnya mirip Westminster Abbey di London. Atapnya membentuk segitiga dengan tiang-tiang yang menjulang berbentuk segitiga pula di ujungnya. Hana terkesima melihat detail di atas pintu yang lengkung. LAC. Language Advisory Council. Mereka sekarang sedang berada di gedung pusat bahasa!

Makin berbinar mata Hana melihat ruangan penuh lemari-lemari besar yang membentuk lorong-lorong pendek. Lemari yang penuh dengan buku Bahasa Inggris dan Arab. Langit-langitnya tinggi, dengan mezzanine di pucuk nya. Sedang disiarkan di sana, radio berbahasa Inggris dari VOA.

Seseorang menyambut mereka, mengajaknya masuk. Di dalam, sudah menunggu enam anak yang tidak Hana kenal. Berikut senior-senior yang mengantar mereka. Ida yang semenjak tadi bicara ketus pada Hana, kini lupa tujuannya. Ia membuntuti Hana menekuri lemari-lemari buku besar di ruang LAC yang luas. Girang sekali Hana menemukan deretan seri novel Agatha Christie di sana.

"Hana, maaf tadi ana terbawa omongan teman-teman. Ana tahu Hana orang baik, tidak mungkin Hana sesuai dengan apa yang dibicarakan orang-orang," Kata Ida, sembari pura-pura sibuk menelusur buku-buku di rak. Kontan Hana menoleh padanya. Mengabaikan Haunting in Venice yang ingin sekali diintipnya. "Apa yang kau dengar dari mereka?" Tanyanya penasaran. Ia bisa mengerti perasaan Ida, meski di awal tadi ia sempat geram.

Lihat selengkapnya