Okaeri

Naila Hafizha
Chapter #12

Zero Loser

Popularitas Hana melejit drastis. Orang-orang mengatakannya, ia sedang 'naik daun'. Bila disebut namanya, hampir tidak ada orang yang tidak mengetahui "Hanami" yang ini. Buke-nya sempat cerita saat jadwal jenguk tempo hari, ia iseng bertanya pada salah satu walisantri. "Bu, anaknya kelas tiga ya? Kenal Hanami?" Yang setiap pertanyaan serupa, disambut dengan, "Oh... Hana yang itu ya! Anak saya ngomongin dia terus. Katanya dia pintar dari kelas 1, selalu kelas B. Terus, anaknya aktif banget." Panjang lagi respon dari ibu-ibu lainnya. Buke hanya membungkuk-bungkuk mengucap terima kasih saja mendengar pujian-pujian untuk anaknya. Hana sendiri jarang bercerita padanya tentang apa yang disanjung-sanjung para walisantri itu.

Ibarat jalan karir, prestasi dan pengalaman Hana terus mendongkrak sepanjang tiga tahun ini. Keberanian yang tumbuh meski dengan paksaan pada mulanya, kini mendobrak benteng-benteng yang tanpa sadar Hana bangun sendiri. Tanpa Arin di sisinya, ternyata membuat Hana jadi lebih mandiri dan mengandalkan dirinya. Ia tidak pernah tahu akan begini jalan hidupnya. Semakin kuat yakinnya pada kalimat Lain syakartum laazidannakum. Ia berusaha melihat hal indah di pondok. Memetik apa saja yang bisa disyukuri. Meski berkali-kali terjatuh dalam kubang mahkamah Syanggit. Gonta-ganti kerudung pelanggaran kemanan--yang awalnya ia bertekad untuk tidak memakainya lagi--tetap saja setiap tahun langganan kerudung hijau-ungu itu. Ada saja masa ia telat bangun subuh, lagi dan lagi. Tapi tetap, ia menggali pengalaman dan pembiasaan.

Hana mulai mengerti kenapa dulu senior yang dilempari kain isi buros itu marah besar--ia baru merasakannya ketika sudah di posisi senior, yang memiliki dua angkatan di bawahnya. Senior mana yang sudi diperlakukan tidak sopan oleh juniornya. Yah, walau kakak itu dulu lebih tidak berdab sih, tapi bukan berarti harus sekali dibalas. Perlakuan kakak itu tidak benar, siapa pun pasti tahu itu. Tapi semua orang pasti setuju, membalas perlakuan yang tidak benar itu salah. Meski senior itu memang pantas diberi pelajaran!

Ia juga menyadari kenapa segala hal perlu di-counting. Tidak semua orang cekatan melakukan sesuatu. Ada yang memang sengaja lambat bergerak. Itulah perlunya konsisten dengan disiplin. Hal lain yang Hana pelajari juga, adalah caranya bersikap. Ia pikir saat kelas satu dulu, teman-teman sekamarnya lah yang sepenuhnya salah. Menjauhi Hana tanpa sebab, menggunjingnya dari belakang. Ternyata ia yang perlu bercermin pada dirinya kala itu. Apa sikapnya yang kurang berkenan bagi mereka. Bisa jadi karena ia banyak menangis, banyak mengeluh, sering tampak judes, atau hanya selalu mengintili kemana pun Arin pergi. Pasti mereka punya sebab yang belum bisa Hana sadari waktu itu. Ia belum bisa melihat ke dalam dirinya dari kacamata yang lebih luas dan netral.

"Sabil. Sadar nggak sih, angkatan kita seperti tidak berkembang. Terbelakang malah," kata Hana suatu siang di depan asrama Sabil. Masa-masa ujian mengharuskan seluruh santri belajar di depan asrama sampai waktu yang ditentukan. Hana mengutarakan keresahan yang ia alami setahun ini. "Sadar, kok," ujar Sabil menanggapi. "Tapi aku bisa apa seorang diri. partner-ku juga tidak membantu apa pun." Sabil masih berusaha fokus dengan buku Nurul Yaqin-nya.

Sabil seorang anak yang mengemban tanggungjawab besar di angkatan mereka. Ia seorang ketua angkatan. Rekannya, Asia, lebih sering beralasan punya jadwal jenguk setiap diajak rapat. Rumahnya memang beberapa langkah saja dari gapura depan. Dekat sekali. Di samping itu, program kerja mereka juga tidak terlaksana. Tidak disosialisasikan. Tidak ada yang paham. Akibatnya, mobilitas mandek. Tim penyukses angkatan juga tidak bergerak karena pimpinannya kurang menegaskan tugas mereka. Yang terdampak buruk adalah kesatuan angkatan. Banyak terpecah karena kurangnya toleransi, kurang kebersamaan. Berdampak juga pada anak-anak yang butuh dorongan belajar lebih. Nilai mereka turun dari tahun sebelumnya. Kemungkinan terburuk bila hal ini dibiarkan adalah, banyaknya anak yang akan tinggal kelas.

"Kalau begitu, ayo kita lakukan sesuatu." Hana dengan otak setengah warasnya, berapi-api menyulut Sabil. "Lakukan apa?" Sabil bertanya putus asa. "Ya aku juga nggak tau. Tapi pokonya semangat dulu!" Hana juga tidak sepenuhnya mengerti apa yang dia lakukan. Badannya bergerak begitu saja atas perintah instingnya. Lakukan sesuatu? Pikiran dari mana itu? Bukannya Hana dulu sangat penakut dan tidak suka kegiatan sosial? Kenapa sekarang ia mengajukan diri membantu angkatannya? Apa sekarang otaknya sudah pindah ke dengkul? Hana tidak sempat memikirkan itu semua. Ia hanya merasa angkatan ini memanggilnya. Hatinya tergerak untuk mengajukan aspirasinya.

***

Sabil mulai meladeni permintaan Hana. Mereka menyusun strategi salah satunya adalah untuk membantu teman-teman yang kemampuan akademik-nya kurang. Mendorong mereka belajar agar mencapai hasil maksimal saat ujian yang sudah tidak lama lagi itu.

Lembaran-lembaran kertas mereka penuhi dengan coret-coret rancangan. Kurang cocok. Diberi silang besar di atasnya. Buat lagi di lembaran yang lain. Kertas-kertas buku tulis mereka sobek lagi. Siang itu waktu belajar mereka terganti dengan penyusunan rencana "Pembangunan Kembali Angkatan Kelas 3". Ada hal lebih penting di depan mata, di samping memikirkan ujian mereka sendiri. Mudah bagi mereka menyusun kembali waktu belajar yang terpakai. Tapi tidak mudah disiplin belajar bagi teman-teman yang notabene menempati kelas bawah. Belajar terasa jadi lebih sulit. Bahkan tidak menyenangkan.

"Kita harus membuat anak-anak kelas atas ikut andil dalam rencana ini." Hana menulis "3B-3C-3D" dan melingkari semuanya. "Betul! Kita buat masing-masing mereka memegang tanggungjawab atas anak-anak yang butuh belajar lebih." Sabil jadi lebih semangat menanggapi. Ia melihat harapan baru bagi angkatan mereka untuk maju menjadi lebih baik.

"Kau pegang daftar absen tiap kelas?" Tanya Hana pada sobatnya, sang ketua angkatan. "Ada!" Sabil beranjak ke kamarnya dan kembali dengan sejilid absen. Mereka mulai menyortir anak kelas B, membalik-balik halaman, memasangkan dengan anak kelas lain yang dirasa cocok dengan anak kelas B itu. Kamila, di tulis di sampingnya tiga orang yang perlu ia pegang. Anak kelas G, H dan I. Hana dan Sabil mengingat dan menimbang-nimbang kepribadian masing-masing anak. Apakah gaya belajarnya bisa menyesuaikan. Apakah tiga anak itu mau mendengarkan Kamila, dan berkeinginan untuk belajar bersamanya. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan.

Berjam-jam mereka meringsut di sudut asrama, di depan kantor asrama yang berbatas rak sepatu kayu. Pengurus asrama Sabil sudah menegur Hana untuk kembali ke asramanya. Sudah mendekati waktu ashar. Hana masih mengerjar sisa anak yang belum terbagi dalam kelompok belajar. Sabil juga berusaha keras membantunya.

"Akhirnya selesai." Hana menyeka peluh. Sabil menghela napas. "Pusing juga. Padahal cuma bagi-bagi kelompok." Kelompok belajar itu terbagi menjadi 30. Tidak semua kelas atas menjadi penanggungjawab utama mengajar teman yang lain. Hanya dipilih orang-orang yang sekiranya bisa membawa dan mengajar. Tehnik merayu kawan untuk semangat belajar juga tidak mudah. 30 orang terpilih itu harus menguasai perannya nanti. Rencananya, mereka akan mengumumkan pembagian kelompok ini saat belajar malam nanti. Semoga saja apa yang telah mereka upayakan mendapat tanggapan positif.

***

Sesuai kesepakatan, Hana dan Sabil mengumpulkan teman-teman satu angkatan di lapangan merah. Perkumpulan pertama mereka setelah berbulan-bulan kehilangan aroma kebersamaan. Hana tidak ikut maju ke depan bersama ketua angkatan. Ia mendorong Asia untuk turut mendampingi Sabil berbicara di depan. Memberi pengumuman. Anak itu harus didorong-dorong dengan segala cara, agar memiliki rasa peduli yang lebih terhadap angkatan mereka.

Lihat selengkapnya