Okaeri

Naila Hafizha
Chapter #11

Prajurit Hitam Putih

Maika memejamkan matanya. Tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik. Tapi Maika pandai. Ia menyerap berbagai informasi dengan mendengar.

”Kalau saja kosakata ‘insecure’ tidak diciptakan di dunia ini, seseorang tidak akan mudah merusak mentalnya sendiri.

Sangat tidak adil, bukan, kebiasaan menyedihkan yang orang-orang lakukan; membandingkan kelebihan orang lain—dengan kelemahan dirinya. Seumpama ada seorang anak jago matematika, sementara kamu merasa lemah karena bukan ahli matematika. Ya bisa jadi dia cinta matematika, dia suka ngitung-ngitung, sementara kamu, melirik latihan soal aja udah ogah. Nggak bisa disamain, Maika.”

”Orang yang dikasih anugerah fisik yang rupawan, otak yang cerdas—juga mustahil luput dari ujian, Maika. Anugerah itu sendiri pun ujian. Apakah dimanfaatkan untuk jalan yang benar? Orang-orang ini juga tidak jarang mengundang manusia-manusia berpenyakit hati—hasad, iri hati. Mereka harus pandai-pandai menjaga dirinya. Dari ujub atau merasa lebih dari orang lain.” Hana mengeluarkan barang-barang dalam kantung plastik, lalu melipatnya jadi segitiga. Persediaan kalau Maika muntah lagi.

”Tapi kakak seorang yang terpandang. Temen-temenku tahu itu,” sanggah Maika

"Tentu saja. Temanmu tidak akan mengetahui buruk-buruknya kakakmu. Mereka dan kamu, masih sekolah dasar saat itu."

***

Hana mulai mencari apa yang membuatnya nyaman di PM—di samping rutinitas mingguannya, latihan berpidato, latihan kepramukaan dan jogging masal keliling pondok. Mengikuti kegiatan klub jadi salah satu cara Hana menyalurkan hobinya.

Sejak belum sekolah, mengarang cerita adalah cara Hana menghilangkan rasa bosan. Hana memang tidak didaftarkan ke taman kanak-kanak kala itu. Menulis, baginya adalah eksplorasi ide hasil bacaan-bacaan yang ia amati, atau yang buke-nya bacakan sebagai pengantar tidur. Jangan bayangkan tulisan yang sulit. Mengerti apa anak umur empat-lima tahun tentang tulis menulis. Hana hanya menumpahkan apa yang ada di otaknya, tentang kupu-kupu, bunga, dan anak perempuan.

Sudah setahun lebih Hana bergelut dengan kegiatan klubnya semenjak ia boleh memilih klub apa yang ingin diikuti. Journalist Club menjadi yang paling memikat hatinya ketika itu. Memang cabang klub yang termasuk baru, dibandingkan deretan klub olahraga dan beladiri. Tapi Hana menikmati dan bertumbuh lebih baik di sana. Bertukar pikiran dengan kawan sepantar yang memiliki minat di bidang serupa—tulis-menulis, membuat majalah dinding berisi kumpulan karya anggota klub, setoran karya tiap minggu, evaluasi kecil-kecilan dengan pimpinan redaksi, sampai mewawancarai beragam narasumber—siswi maupun guru senior. Tahun ini pun, di tahun ketiga, Hana diamanati menjadi ketua klub. Ia banyak menyerap ilmu dan pengalaman baru dari senior yang sebelumnya menjabat.

Jum'at hari ini tenang seperti Jum'at-Jum'at di penghujung pekan lainnya. Hari libur kelas. Waktu terasa lebih lambat dan santai. Anak-anak menikmati satu harinya yang paling berharga. Masa mudifah atau dijenguk, jadi lebih panjang karena tidak dipotong waktu sekolah. Siangnya bisa tidur panjang sampai ashar. Tanpa ada pelajaran siang. Tanpa dikejar-kejar keamanan.

Pagi itu lepas senam bersama, satu asrama dikumpulkan di teras. Masih dengan seragam olahraga mereka, dan bekas-bekas keringat yang baunya menyengat. Berbeda dengan asrama Hana saat kelas satu dulu—Aligarh, asramanya sekarang berbaur di dalamnya junior-senior kelas 2 sampai kelas 6. Dibagi rata jumlah anak per-kamarnya. Santriwati setelah naik kelas dua, wajib berbicara dengan bahasa resmi Arab atau Inggris, oleh karenya butuh banyak pengalaman mendengar percakapan bahasa asing dari senior-senior yang sudah lama terbiasa. Selain atas tujuan itu, anak baru juga perlu bersosialisasi dengan manca-angkatan. Belajar beradab dengan yang lebih tua. Yang besar, belajar menyayangi dan menghargai yang lebih kecil.

"SOHAFI! Kemarii!!" Teriak seluruh anak di teras asrama. Memekik antusias.

Sohafi Madani—Komunitas literasi lanjutan di atas Journalist Club. Tugas mereka membawakan berita juga informasi paling baru, seru dan aktual untuk seluruh pelajar PM yang notabenenya jauh dari akses teknologi. Anggotanya khusus kelas 4, atau setara dengan tingkat pertama SMA. Umur-umur segitu dirasa paling cocok untuk fokus aktif dalam komunitas. Sudah banyak mengenal pondok, sudah cukup senior sebelum sibuk menjadi pengurus asrama di kelas 5.

Tiap Jum'at pagi, anggota Sohafi—dengan pakaian tempur hitam-putihnya—berpencar ke asrama-asrama, membacakan berita atau artikel menarik pekan itu. Hitam untuk kaus yang mereka kenakan, putih untuk banthol atau celana training mereka. Dresscode tempur itu filosofis sekali, diambil dari warna komunitas mereka yang memiliki arti 'hitam' sebagai tinta pena dan 'putih' sebagai kertas yang melandasinya. Mereka meyakini keduanya sebagai perangkat paling sederhana seorang penulis—yang dengannya bisa mewarnai Pondok Madani, bahkan dunia.

Mendengar seruan itu, dua anggota Sohafi mempercepat langkah, berjalan dengan langkah lebar lompat-lompat seperti kijang. Mendekati asrama Hana. Dengan wajah sumringah, menggenggam lembaran kertas. Artikel hari itu.

”Bismillahirahmanirrahim. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!”

”Salam Sohafi!”

”Salam!” Disahuti serempak oleh seisi asrama. Mereka duduk ngemper di teras asrama. Beragam gayanya, mencari tempat bersandar ternyaman. Selonjoran di tangga asrama yang hanya satu undakan itu, di balok kayu penyangga, di kotak sepatu hijau, sampai tidak peduli duduk beralas sandal di atas terali selokan depan asrama--demi mendengar dan memperhatikan informan "Sohafi" dengan kesadaran penuh.

"Ada yang hafal syiar Sohafi?" Tanya salah seorang Sohafi pada para pendengar setia yang menatap mereka dengan antusiasme penuh.

Ana! Ana!

Hana melonjak melambai-lambai tangan, berbarengan dengan beberapa anak lain. Ia dan satu orang lagi ditarik maju ke depan, ikut menggaungkan syiar Sohafi. Moto paten yang sudah Hana hafal sejak kelas satu. Prajurit hitam-putih ini menjadi yang selalu ditunggu-tunggunya setiap Jum'at pagi pasca olahraga dan senam. Satu yang selalu Hana incar, tapi belum pernah berhasil mendapatkannya: Hasta karya Sohafi yang dijadikan hadiah ketika berhasil menjawab pertanyaan dengan tepat. Karya buatan tangan anak-anak anggota Sohafi. Idenya macam-macam--pernah pembatas buku, kalender gantung, bingkai foto dari karton, gantungan kunci--yang terpenting, semua itu berwarna hitam putih. Selalu saja Hana kalah cepat dengan senior-seniornya dulu.

"Be Smart! Be Cool! Be Calm! Be Confident! Be You! Be Good Moslem! Salam Sohafi!"

Dengan tegas dan lantang, keempat orang yang kini berdiri menghadap sepasukan asrama, memperagakan gerakan sesuai pekikan moto-nya. Be Smart, dengan jari telunjuk dan tengah menunjuk pelipis kanan. Be Cool, dengan gaya melipat tangan di dada. Be Calm, tidak bergaya apa pun--seperti pekikannya, calm. Be Confident, dengan gerakan berkacak pinggang. Be You, menunjuk penonton. Dan Good Moslem, mengulurkan tangan dengan ibujari teracung. Ya, semuanya kesukaan Hana. Tidak ada gerakan yang meleset. Ia selalu suka menjadi bagian kecil dari prajurit intelek hitam-putih ini. Mungkin tahun depan ia ingin coba mendaftarkan diri. Meski saingannya pasti akan berat. Secara mereka adalah komunitas literasi paling bergengsi di PM.

"Berhubung tahun ini adalah Tahun Kabisat--tahukah kalian, kalau hadirnya Tahun Kabisat itu akibat kesalahan fatal dalam penanggalan? Jadi, seorang astronom Kaisar Julius Caesar, Sosiogenes menciptakan kalender--"

Seluruh anak larut dalam pembawaan dua anak Sohafi yang sedang 'manggung'. Beraksi membacakan artikel mingguannya. Mereka menguasai peran. Sangat nyaman dipandang dan didengar.

***

Piring dan gelas sudah di genggaman. Hana bersiap menuju dapur umum bersama kawan-kawan untuk sarapan.

"Hana, panggilan untukmu." Kepala asrama menghampirinya. Menyerahkan secarik kertas merah. Kertas panggilan pengurus keamanan.

Lihat selengkapnya