Liburan panjang Hana habiskan dengan balas dendam tidur seharian. Buke hampir tiap hari geleng-geleng kepala karena kalau bukan tidur kerjaan anaknya, ya main komputer. Ia sampai heran dibuatnya. Anak pulang dari pondok bukannya makin berbakti—membantu ibunya—malah molor seharian. "Di pondok tidurnya sebentar, Buke! Dikit-dikit dibangunkan. Dikit-dikit berlari. Lihat ini otot betisku setebal apa." Begitu jawaban Hana tiap Buke berkomentar tentang dirinya yang terus menapak ranjang.
Hana meringis mengingat libur dua bulannya berlalu di atas kasur. Ia juga senyum-senyum sendiri membayangkan makanan rumah melayani lambungnya. Buke selalu tahu makanan kesukaannya. Sempat juga Hana sekeluarga menghadiri kawinan teman kantor Bapak di Padang Pariaman. Bapak pinjam mobil temannya dan menyupir sendiri ke Bukittinggi, melewati Kelok Ampek Ampek, bukit dengan 44 kelokan dan tikungan curam, namun menyuguhkan panorama indah dengan latar Danau Maninjau.
Masih menjadi misteri bagi Hana, mengapa waktu liburan selalu terasa sangat cepat, sedangkan waktu di pondok seakan bergerak sangat lambat. Ia sudah kembali lagi di asramanya yang baru ditinggali semalam sebelum liburan pondok. Pindah asrama tahunan. Plafon yang sama, yang dilihatnya saat malam terakhir sebelum ke Jakarta. Lemari kayu setinggi hidungnya. Angin malam yang sejuk menghembus dari balik pintu jalusi kayu peninggalan Belanda, membuat daun pintunya mengelepak-ngelepak.
Asramanya di kelas 4 ini bukan asrama elite. Bangunan lama dengan bongkahan lantai keramik yang gompel-gompel. Menganga semen di bawahnya. Meski tampilannya tidak se-apik asrama kawasan elite, asrama yang dijuluki kawasan qoryah14 ini sangat menguntungkan bila siang sedang panas-panasnya. Kawasan yang dinaungi pohon rimbun ini surga bagi mereka-mereka yang haus kesejukan.
Hana sudah jadi kelas 4, tandanya ia menjadi akbarul udwat atau anggota asrama paling senior. Karena di atasnya hanya tinggal kelas 5 langsung. Tidak ada lagi senior yang akan mencampuri urusan mereka selain pengurus asrama. Haula depan lemarinya juga luas. Tidak dibatas-batasi lagi dengan angkatan lain. Haula itu semacam area kekuasaan di kamar. Karena dalam satu kamar terdiri dari beragam angkatan, tentunya berbagi haula menjadi tugas tak tertulis seorang junior. Sudah lewat masa Hana dan teman-temannya mengalah untuk para senior. Kini mereka adalah anggota yang paling berkuasa.
Dari balik lemari yang dijadikan sekat pintu, seonggok kepala melongok ke dalam kamar. Sabil dengan wajah mungil tirusnya, nyengir tanpa dosa. "Hana ayo ke diwan15!" Muka Hana yang berkabut mendadak cerah. Senyum merekah riang. "Lesgow!"
Menaiki tangga dapur, menuju ruangan rahasia di pojokan. Dihirupnya udara diwan Sohafi yang mereka rindukan. Aroma kejar-kejaran deadline, aroma keluh-kesah anggota Sohafi tahun lalu, perdebatan ide ketika menyusun artikel, juga 'rumah' bagi mereka yang bekerja depan laptop semalam suntuk demi kejar tayang. Tahun lalu, saat mereka menjadi kader Sohafi, Hana dan Sabil berasa seperti anak bebek. Mengekor kemana pun seniornya pergi. Kerjanya hanya bisa ikut-ikut. Ikut menyebar ke asrama untuk membacakan artikel, ikut menggantung mading di ma'rod dan ikut-ikut lainnya. Sekarang, mereka yang harus meneruskan ilmu itu pada generasi berikutnya.
"Kita ditantang untuk membikin mading khusus buatan anak kadiroh. Gimana? Diterima nggak?" Sabil mengeluarkan laptop dari tas pelindungnya. Siswi PM dilarang membawa ponsel ataupun laptop, pengecualian untuk Komunitas Sohafi. Mereka difasilitasi laptop hanya untuk kepentingan kerjaan. Selebihnya, peraturan tetap sama. Dilarang menyalahgunakan fasilitas. "Boleh!" Sambut Hana bersemangat.
Malam itu mereka menyusun artikel-artikel yang pernah mereka kumpulkan. Menyortir opini, menjadwalkan wawancara tokoh. "Besok kita ajak Rwenda dan Nkara. Lebih cepat terbit lebih baik. Sebelum datang generasi Sohafi baru dari angkatan kita," kata Sabil, menontoni Hana yang jarinya lincah menari di atas papan ketik. Hana mengangguk mengamini. Ia membuat desain layout untuk mading mereka nanti.
Hingga pukul 11 malam, belum tuntas juga pekerjaan mereka menyiapkan perintilan-perintilan mading. Hana dan Sabil mendengar suara-suara gaduh dari bawah kantor. Ada apa gerangan di luar sana? Sedetik kemudian mereka berdua tersentak. "Wujubu naum16!" Mereka hampir berteriak bersamaan. "Ana baru ingat! Hari ini PM Kampus Putra ada survey lapangan untuk drumband! Gawat. Kita masih terkurung di sini!" Sabil berseru-seru panik. Mengguncang-guncang lengan Hana. Hana cepat menyimpan file-nya dan memasukkan kembali laptop ke tas pelindungnya.
"Ada yang lebih gawat dari terkurung di sini." Hana menatap Sabil lurus-lurus. "Apa itu?" Sabil semakin ciut. "Kita harus kembalikan tas berisi laptop ini ke kamar ustadzah," jawab Hana, mengangkat tas laptop itu. Raut muka Sabil menunjukkan ia ketakutan bukan main.
"Ayo ikuti aku." Hana menyelinap keluar diwan. Menjinjing tas laptopnya. "Nggak bisa kita kembalikan besok saja?" Sabil mengeluh lirih. "Nggak bisa. Kena marah Ustadzah Sohafi lebih bahaya daripada kena omel Pengasuhan." Hana menjawab tanpa menoleh. Mereka sudah mengendap-endap menuruni tangga dapur umum sekarang.
Suara gaduh yang tadi mereka dengar adalah langkah kaki orang-orang yang dikejar keamanan dengan sepedanya. Suara hantaman sandal di atas paving. Juga teriakan keamanan yang bertalu-talu. Suara jeritan anak-anak tidak lupa menambah riuh suasana, karena roknya hampir tergilas roda sepeda hitam gagah itu.
Dari tangga dapur, Hana dan Sabil melihat truk Canter kuning dengan baknya yang dibungkus terpal biru, melintas persis di depan mata mereka. Di belakangnya, terpal itu tersibak sedikit. Oh. Terpal itu sengaja disibak oleh seseorang! Beberapa orang tampak remang-remang mengintip dari balik terpal itu. Mereka... laki-laki! "Itu pasti banin17 dari PM Pusat yang akan survey. Haha lihat, lucu sekali mereka seperti segerombol sapi yang diangkut truk!" Sabil menyikut lengan Hana. Lupa dengan paniknya. Hana terkekeh, terus mengendap turun memimpin Sabil. Langkahnya hati-hati. Malam itu PM gelap sekali. Lampu-lampu jalan lebih banyak yang dimatikan karena aturan wajib tidur lebih cepat hari ini. PM sangat mengantisipasi adanya pertemuan antar santri dan santriwati. Dilarang keras. Pondok mereka pun berjarak 100 kilometer jauhnya. Tidak akan bisa modus berpapasan. Apalagi surat-suratan.
Mereka berhasil menapaki lantai dasar tanpa ketahuan. Tinggal berjalan lurus saja, mereka akan tiba di kamar ustadzah untuk mengembalikan laptop. Hana menoleh ke kanan dan kiri. Sejauh ini masih aman. Mereka mempercepat langkah. Sandal mereka tanggalkan agar tidak menimbulkan suara berdesis-desis. Agar mempermudah ruang gerak mereka juga. Hana menenteng tas laptop dengan tangan kanan, mengait sandal di tangan kiri. Menaikkan roknya hingga ke atas perut, mencegahnya keserimpet. Mereka jadi menyerupai maling sekarang. Menerobos lengangnya malam.
Tinggal sepuluh meter mereka sampai ke tujuan. Tidak ada teriakan dan ribut-ribut orang berlari di radius terdekat mereka. Seharusnya aman. Mereka hanya perlu menaruh laptop di depan sana, dan langsung berpencar ke asrama masing-masing.
Tiba-tiba, tanpa sengaja ujung mata Hana menangkap bayangan remang-remang di bawah sinar lampu. Berjarak sekitar 50 meter sebelah Utara dari posisi jalan mereka. Sekelebat bayangan hitam di atas sesuatu. Tidak terlihat, tertutup bangku marmer dan pepohonan taman. Hana tidak yakin itu siapa. Tetapi saat berusaha menerka siapa sosok itu, bayangan itu malah balik mengarahkan pandangan ke arahnya. Hana belum seratus persen yakin bayangan itu melihatnya. Tapi ia segera menarik Sabil, meloncat masuk kamar mandi terdekat. Sabil yang kebingungan tambah panik dibuatnya.
"Apa? Apa? Ada siapa?" Sabil melotot. Masih kaget dengan tindakan spontan Hana. "Ssst!" Hana menaruh telunjuknya di depan bibir. Ia tidak yakin itu siapa. Keamanan atau bukan, mereka akan keluar dari kamar mandi setelah yakin keadaan aman. dag dig dug. Jantung dua anak itu berdetak serabutan. Hana masih menghibur diri, sosok itu pasti tidak melihatnya. Jalanan itu terlalu gelap untuk menyadari ada dua orang berjalan di situ. Napas menderu-deru berselingan di antara mereka. Hidungnya kembang-kempis. Mengatur napas.
Aman. Tidak ada suara pedal sepeda yang didayung, apalagi suara ban menggerus paving. Mereka pasti sudah aman. Hana mengisyaratkan Sabil untuk membuntutinya keluar dari kamar mandi. Hana mengintip-intip. Tidak ada tanda-tanda mereka akan dipergok. Pintu di dorongnya. Pintu gaya kolonial yang bila dibuka, akan kembali menutup dengan berdecit-decit. Baru saja Hana mendorong rakus daun pintu, tepat saat itu bayangan sejauh 50 meter itu memburu cepat, mendekat bak letusan meriam. Hana terbelalak dan mendorong Sabil kembali masuk ke area kamar mandi. "Masuk! Masuk lagi Sabil! Bahaya!" Sabil tersandung-sandung ember, membalik haluan.
Terlambat! Teriakan sosok itu meledak di tengah kesunyian. "Man fil hamam?! Ukhruji! Siapa di kamar mandi? keluar!" Tanpa ampun teriakan itu menampar gendang telinga dua anak yang meringkuk di balik tembok kamar mandi. Mereka terbirit memasuki bilik kamar mandi. Berusaha menyembunyikan diri. "Keluar sekarang!" Teriakan itu persis di mulut kamar mandi. Hanya berbatas pintu reyot, dapat dilihat kilatan dari lampu sepeda. "Keluar sebelum saya yang menghampiri kalian! Maka tidak akan ada keringanan!" Teriakan keamanan itu lebih mirip ancaman hantu yang berbicara dengan seringai lebar menakutkan seperti Joker. Begitulah kedengarannya. Bulu kuduk anak-anak itu berdiri. Merinding sekujur tubuh. Tidak ada jalan keluar selain menyerahkan diri. Mereka tertangkap basah.
Baiklah, tidak apa mereka tertangkap, asal laptop yang mereka bawa diamankan dulu. Bisa gawat kalau mereka ketahuan ngumpet di kamar mandi bersama seonggok 'barang rawan'. Hana menaruh tas laptop di pinggir bak mandi salah satu bilik. Kemanan itu tidak mungkin menyadari keberadaan barang itu. Nanti atau kapan lagi lah, mereka pikirkan nasib laptop itu. Ia pasrah dengan lunglai mengajak Sabil menyerahkan diri. Mendorong pintu. Berdiri menunduk seperti tersangka yang bersedia menyerahkan tangannya untuk diborgol. Silau dari sinar senter membutakan mereka. Keamanan itu menyoroti wajah mereka satu-satu. Hana mengernyit, menyipitkan mata. Kesilauan. Dari balik cahaya itu, Hana bisa menangkap siapa sosok bayangan berselimut gelap malam itu. Ayu Dhiya lagi!
Ke-apes-an mereka tidak berhenti sampai di situ. "Mana tas yang kalian bawa tadi?" Selidik Sang Keamanan. Reflek Sabil menepuk jidat. Langsung Hana tegur dengan isyarat. Gemas dengan kawannya. Duh! Pura-pura tidak tahu, Sabil! Lagi, keamanan itu menatap penuh selidik. Menaikkan sebelah alisnya. Tidak peduli dengan dua orang yang gemetaran seperti kebelet pipis di depannya. "Bawa kemari." Hana tetap diam. "Cepat. Bawa kemari!" Hana tetap kukuh diam. Sabil mulai goyah. Ia ragu-ragu ingin mengambil langkah. Antara takut dibentak Kak Ayu Dhiya atau diomel Hana. "Kamu! Ambil tas itu. Cepat!" Sabil tidak bisa ragu-ragu lagi. Keamanan itu menunjuknya dengan beringas. Sabil melewati deretan bilik kamar mandi. Tas laptop yang teronggok di bibir bak kamar mandi itu diraihnya. Menoleh ke Hana sekilas, lalu menyerahkannya kepada keamanan itu ketika diminta.
Sabil beranggapan, dengan ia menuruti Ayu Dhiya, keringanan akan diberikan dan mereka akan bebas. Namun, tentunya tidak semudah perkiraan itu! Sang Keamanan justru marah besar mendapati tas berisi laptop di tangannya. Ia melotot hebat. Seolah matanya akan melompat keluar. Kalau saja PM tidak melarang kekerasan fisik, mungkin tamparan sudah mendarat keras pada Hana dan Sabil. Ayu Dhiya menggeram. Menceramahi mereka. Panjang kali lebar. Dari membahas pelanggaran, sampai mengungkit wibawa kader Sohafi. Hana dan Sabil hanya balas mengangguk, mengangguk lagi.
Si Ayu Dhiya ini pernah menjadi seperti mereka--Sohafi Madani--yang hampir selalu bekerja larut malam berkejaran dengan tenggat waktu. Kenapa, sih mereka harus selalu ditangkap? Itu saja yang berputar-putar di benak Hana sepanjang diceramahi. Tapi apa mau dibilang? Tugas keamanan memang menegakkan disiplin.
"Semestinya kalian menjadi qudwah solihah, panutan yang baik. Kalian akbarul udwat. Kalian sudah kelas empat. Semua orang melihat kalian. Apa tidak malu?" Ya kalo ditanya, pasti malu, lah. Kak Ayu Dhiya bicara tak henti-henti. Ada saja bahan ceramahnya. Hana sudah menggerak-gerakan kaki. Tidak nyaman berdiri lama-lama. Kram.