Okaeri

Naila Hafizha
Chapter #10

Jurang antara Terpaksa dan Iman

“Da, masih punya jajanan nggak?” Bisik Hana pada Ida. Ia memicingkan matanya, menyorongkan tubuhnya mendekat, khawatir ada yang mendengarnya. Alis Ida terangkat tinggi-tinggi. “sebentar,” Katanya. Ia merogoh-rogoh bilik paling bawah dari lemarinya.

Lemari anak kelas satu ini bak toserba, serbaada dan serbaguna isinya. Bisa beragam bercampur-aduk menjadi satu. Ada pakaian, ada gayung, pun ada makanan. lemari kayu kecil itu seperti brangkas penghasil makanan bagi sebagian orang. Terkhusus, bagi orang yang jarang berbagi makanannya, hanya makan sendirian bersandar di depan lemarinya. Kadang lirik kanan kiri, takut dimintai. Kadang malah meraup makanan sembari menghadap lemari, memunggungi kawan-kawannya. Orang model begini pasti sering dijauhi oleh anak-anak yang mudah iri dengki. Menganggapnya pelit-lah, serakah-lah, apalah.

Berbeda dengan seorang Firda—yang akrab disapa Ida—pemilik lemari sagala aya katanya. Segala macam ada. Seperti toko kelontong. Dari gunting kuku, sampai gunting rumput. Ketika ditanya untuk apa gunting rumput itu, Ida jawab itu yang mengingatkannya dengan rumah. Kami tidak mengerti maksudnya. Biarkan sajalah.

“Hana, sayang sekali, tinggal tersisa gula kemasan ini,” Ida mengeluarkan satu kotak penuh gula kemasan. Bungkus gula itu lucu-lucu sekali, unik berwarna-warni. Dipenuhi gambar bangunan-bangunan luar negeri. Baru saja terpikat hendak memujinya, Hana mengeja logo di atasnya: “Gu-la U-rang?” Ida balas mengangguk. “Iya, produksi lokal Jawa Barat.”

Hana memungut satu kemasan pipih memanjang gula halus dalam kotak. “Sini, bagi satu,” Tanpa menunggu persetujuan kawannya, ia merobek ujung kemasan bahan kertas itu. Mengganyangnya hingga ludes. Ida bengong. Belum pernah ia menemukan manusia melahap sesuatu yang tidak lazim dijadikan camilan. Aura kelaparan Hana terpancar sangat kuat.

Ibu belum mengiriminya paket. Uang saku, dirasa tidak penting dirogoh untuk sekadar jajanan, padahal masih punya. Memaksa berhemat untuk keperluan mendadak di akhir bulan.

Bagai pungguk merindukan bulan, seorang anak tergopoh-gopoh masih dengan handuk melingkari pundaknya, gayung isi alat mandi di genggaman dan aroma sabun bayi semerbak mengacung-acungkan secarik kertas. Mirip waraqatu dakwah namun kali ini berwarna putih. “Hana! Hana! Selamat! Anti…anti…

mudifah6!

Tersengal-sengal anak itu menaiki anak tangga dari kamar mandi.

Kabar itu bagai ratusan voltase mengisi daya jiwa Hana. Sontak ia merebut paksa kertas karcis berisi tulisan-tulisan berbahasa Inggris-Arab dari jumputan anak itu. Memastikan apakah yang tercantum di sana benar-benar namanya.

Matanya meruak, alisnya terangkat, bibirnya terbuka membentuk huruf O. Bahagia bukan main hingga ke ubun-ubun. Betul-betul namanya yang termaktub di karcis jenguk itu! Disana juga tertera place dan guest yang mengabarkan siapa yang datang menjenguk dan dimana posisinya agar mudah ditemui. Tak terbayang orangtua nya bergantian menyupir mobil hingga bermalam di jalan, dari Jakrta sampai Mantingan.

Syukron katsiron, ukhti! Sampai repot lari-lari begini,” Hana memperhatikan sosoknya yang mengawat gayung hijau muda. Dijejali di sana sabun bayi—sumber harum menyeruaknya—sampo, sikat gigi betikut pastanya. Anak itu nyengir turut bahagia. “Aman itu, kawan!” Ia juga salah seorang anggota kamar 02. Panpan, orang-orang biasa memanggilnya. Bukan nama asli, melainkan sebuah julukan karena tubuhnya yang tambun dan kulitnya yang putih, namun belang di bagian wajah dan pergelangan tangan sehingga membuatnya jadi seperti panda. Boru Batak asal Pematangsiantar, Sumatra Utara yang hobi melawak di kamar 02.

Hana buru-buru mengganti kausnya dengan baju resmi. Peraturan di PM bagi yang dijenguk, harus keluar menggunakan baju resmi—yaitu baju sopan berbahan katun atau lainnya—di luar pemakaian kaus yang terkesan lebih santai. Baju resmi biasa dikenakan saat petang menjelang. Karena di malam hari, tidak ada anak yang diizinkan mengenakan kaus lagi.

”Jangan lupa oleh-olehnya, Han!” Seru Ida ketika Hana melambaikan tangan ke arahnya dan hilang di balik tembok kamar.

Bangunan yang mengarah ke Barat ini adalah balai kesenangan santriwati PM. Tidak pernah surut orang silih berganti berdatangan di setiap jadwal istirahat pondok. Panasnya udara siang dan hujan lebat saat maghrib sama sekali tidak dianggap penghalang. Sandal-sandal karet dan sepatu pantofel mereka siap mengganyang apa pun tantangan medan. Demi menuai penantian mereka selama menabung rindu pada kerabat. Demi bertatap muka kembali dengan orang-orang yang mereka sayangi. Sebuah balai yang menjadi portal pemisah antara dua dunia. Dunia pondok dengan dunia luar. Portal itu bernama Balai Penerimaan Tamu yang terkenal dengan sebutan Bapenta.

Hana tiba di ambang portal. Hatinya menari-nari akibat senang bukan kepalang. Ia akan melihat dunia luar! Memandang jalan raya, belanja di warung makan luar pondok, bahkan menemui orangtuanya. Sudah tidak sabar membayangkan tangis siang-malamnya di hampir tiap waktu, kini berbayar.

Ia mengajukan karcis kunjungan pada penjaga portal. Syarat-syarat menyebrang ke dunia luar telah ia penuhi. Tas sandal hijau di tangan, torbusy9 di kepala dan tanuroh10 di bawah roknya. Ia siap menyebrang. Beruntungnya, Hana bukan dijenguk di hari Jum’at, karena pasti akan padat sekali lorong yang dilaluinya ini. Tak terbayang bagaimana lorong sempit ini disumpal sejumlah anak jika tidak saling mengalah dalam antrean.

Di ujung lorong yang gelap, Hana bisa menangkap bias cahaya. Beberapa langkah lagi sampai ia tiba di dunia luar! Tanpa kesulitan, matanya menangkap siluet seorang wanita. Berdiri menunggu dengan sabar, mengangkat kepalanya, berharap menemukan sosok yang dinantinya. Tangan kanannya menggenggam lengan lainnya, seorang diri di tengah keramaian.

Mata Hana bersinar, senyumnya merekah, melambai kepada wanita yang juga pasti mengenalnya. Ketika tatapan mereka bertemu, wajah berawan wanita itu berganti sumringah. Kerut-kerut di sisi matanya ikut tersenyum melengkung. Deretan giginya yang besar-besar memarakkan mukanya yang bercahaya. “Ya Rabb, Kakak!” Hana menyalami Buke, mencium takzim punggung tangannya. Hidungnya tertambat menghirup semerbak wewangian khas Ibunya, khas rumahnya. Aroma jasmine, beradu dengan mawar dan harum minyak nilam. Aroma yang sangat Hana rindukan.

”Bapak nunggu di mobil sama Maika,” Jawab Buke ketika Hana bertanya dimana ia. Langit cerah memayungi sore hari Rabu, tidak muncul tanda-tanda hujan akan turun dalam waktu dekat. Anak-anak yang mendapat jadwal jenguk bisa bebas menguasai emperan di pelataran balai atau di halaman rumput, yang kalau sedang musim jenguk, ramai dibanjiri kendaran sebagai tempat parkir.

Wisma dan saung-saung disediakan untuk menampung para tamu yang datang menjenguk dan perlu menginap, sedang yang hanya mampir sehari, biasanya memilih berbaur di Bapenta atau menggelar tikar di pelataran. Seiring berkembangnya zaman pun para orangtua semakin canggih berinisiatif menyiapkan tenda kalau-kalau perlu menginap, tapi kehabisan kamar wisma atau belum kebagian menyewa saung. Lucu kalau kalian lihat kondisi sekitar Bapenta di hari Jum’at. Tenda warna-warni tersemai di tempat-tempat teduh. Rasa malu tidak sebanding dengan ambisi mereka bercengkrama nyaman bersama keluarga. Bagaimana pun kondisi akan mereka terjang.

"Kakak! Bapak bawa juhi!" Seru Bapak begitu melihat Hana dan Buke bergerak mendekat. Dari kecil Hana gemar ngemil juhi, camilan cumi kering yang sudah melalui proses fermentasi. Pertama kali ia mencicip juhi ketika Bapaknya membawakan oleh-oleh dari Thailand dulu.

Hana nyengir, mencium tangan Bapak. Bapak tidak pernah lupa dengan juhi-nya.

Bapak bertengger di kursi mobil yang pintunya di buka. Digelar di bawahnya, tikar lipat bahan kanvas anti air. Kaleng-kaleng rantang dibeberkan di atas tikar, isinya beragam lauk. Empal, tumis cumi, sayur labu siam, dan masih banyak lagi. Semuanya menggoda mata dan perut anak pondok yang hariannya mengonsumsi urap ditambah kerupuk.

"Kakak!" Satu lagi seruan melengking dari adiknya, Maika. Ia tidak menyuguhkan apa-apa selain senyum lebar yang membuat matanya hilang ditelan pipi. Hana menepuk-nepuk kepalanya seperti menghadapi seekor kucing.

Mereka berempat berkumpul lagi setelah hampir tiga bulan menitipkan Hana di Pondok Madani. Tawa yang sama lagi, yang menghidupi rumah di tengah padat Jakarta. Suara-suara yang sangat bersahabat di telinga, yang biasa mengandung cerita dan guyon di meja makan. Wajah-wajah bercahaya karena berkumpul lengkap kembali walau hanya alpha satu anak selama tiga bulan. Beberapa detik mereka lalui dengan saling membisu, tersenyum satu sama lain penuh arti. Alangkah magisnya suasana ini, sendainya waktu bisa diberhentikan.

"Pak, Bu, aku nanti ikut pulang aja ya, ke rumah," Pinta Hana mengakhiri kegiatan senyum-senyum mereka. Kata Ustadzah Ismah, lambat laun anak baru akan kerasan di pondok. Tapi ini terlalu lambat bagi Hana. Ia tidak sama sekali tidak merasa kerasan meski sudah menggeluti macam-macam kesibukan setiap harinya. Ia malah jadi semakin lembek. Terlebih ketika sobat karibnya, Arin, pergi meninggalkannya. Sepertinya, janji mereka sudah sejak awal Hana langgar. Sebab ia hingga sekarang pun belum punya keberanian layaknya Arin, belum mampu membela dirinya sendiri seperti janji yang ia sepakati. Padahal sudah dua bulan sejak perpisahan mereka. Ia juga belum sempat menghubungi Arin lewat wartel. Ia merasa jadi kawan yang tidak becus.

Hana tidak pernah lupa hukuman pertamanya, kerudung belang perdananya, bagaimana ia diperlakukan semena-mena oleh senior, dan ketika berusaha membela diri--membalasnya--justru ia yang mendapat batunya. Hana ingat betul ketakutannya saat dihina Tira dan Eng, suasananya, bau airnya, dan sumpah serapah yang keluar-masuk telinganya. Ia lelah hidup dikejar waktu, tidak sempat makan ke dapur umum jika harus melakukan hal lain, sabun-sabun di embernya sering hilang, begitu juga serupa nasibnya dengan jemuran baju yang selalu saja hilang satu di antara lima. Belum lagi dalamannya yang raib. Memangnya orang lain sudi ya, mengenakan pakaian dalam bekas orang asing? Tidak habis sampai di situ pikirannya, Hana juga lelah dengan anak-anak yang punya hobi menggunjing tak surut-surut. Tiap pekan ada saja korban yang dijauhi satu kamar. Tiap Hana melawan arus, ia juga ikut dijauhi.

Belum lagi urusan mahkamah. Pengadilan Syanggit. Sedikit-sedikit, dipanggil ke Syanggit. Sedikit-sedikit, kena hukum senior pengurus. Hana jadi takut melakukan apa-apa. Takut wudhu, karena menghindari counting. Alhasil wudhu-nya tergesa-gesa. Takut berangkat ke masjid, karena telat sedikit, kerudung putih jadi taruhannya. Hal-hal baik jadi menakutkan dilakukan bagi Hana. Ia lelah dengan semua ini. Ia merasa dengan pulang ke rumah, ia bisa memulai hidup lebih baik. Ia bisa menjalani hari lebih enjoy, menurutnya.

Hana merekam semua itu dalam buku hariannya. Bapak pernah mengatakan: “Perempuan harus pandai menulis, karena ketika hatinya tidak baik-baik saja, ia bisa menuangkannya dalam tulisan.” Kira-kira begitu kalimatnya. Tidak sama persis, karena panjang lagi nasihat Bapak.

Hana pun mengamini pesan Bapak, ia belum pernah berani mencurahkan isi hatinya kepada orang selain Arin. Ia berpikir orang lain tidak akan mengerti maksud ceritanya. Ia juga beranggapan, kalau salah bicara, orang-orang akan membencinya lagi. Ka Sephia sering mengumumkan bahwa siapa pun boleh bebas bercerita apa pun kapan pun padanya dan kelas 5 lain. Tapi Hana tidak pernah ingin mencobanya. Oleh karena itu, buku catatan hariannya lah yang dijadikan jalur pelarian.

Bapak terdiam sejenak. Sementara Buke sudah mencanang raut yang menyayukan hati, alisnya melorot. Bersiap hendak menginterupsi. Tapi Hana tidak akan mendengar biar dilarang. Ia sudah pikirkan matang-matang bahwa di Jakarta sana ia akan mendapat kehidupan yang lebih baik. Sekolah yang lebih maju teknologinya, mungkin. Pokoknya kalau Bapak-Buke tidak setuju, Hana akan memaksa!

“Ada apa gerangan, nak.” Bapak bertanya lembut sekali.

”Aku sudah lelah, Pak. Aku nggak akan pernah kerasan di sini,” Jawab Hana. Hatinya rontok, melebur jadi air mata yang luruh tak henti-henti.

”Ya sudah, kalau gitu mau kakak, lakukanlah.” Bapak dengan tenang menuruti keinginan putrinya.

Buke melongok, rahangnya kendor. Keputusan gegabah macam apa itu? Bagaimana kalau Hana jadi putus sekolah?

Lihat selengkapnya