Okaeri

Naila Hafizha
Chapter #14

Hormat Dibalas Hormat

“Lapor! Nama. Hanai Gara. Jakarta. Siap mengikuti Apel Tahunan pagi hari ini!” Hana kembali mundur satu langkah. Ia menarik napas. Nama apa yang barusan disebutnya. Kesalahan fatal. Di sudut matanya, orang-orang menahan tawa. Wajarlah begitu. Tapi tiga juri itu tidak tertawa, masih kekeuh dengan raut dinginnya. Pasti mereka juga tahu bahwa Hana keseleo menyebut namanya, sebab pada papan kardusnya, terpampang jelas nama lengkap Hana. Ia menghembuskan napas yang tadi ditahannya. Sedikit melemaskan bahu yang tegang. Biarlah. Biar sajalah kalau sekarang kesempatan tidak memihak padanya. Ia sudah berusaha, ia tidak perlu menyesal kalau gagal.

“Ulangi sekali lagi.” Salah seorang juri yang memeluk papan kayu angkat suara. Eh? Hana dapat kesempatan lagi?

“Maaf tadi suara perbaikan saluran air di sana menghalangi pendengaran saya,” kata juri itu, tetap dengan ekspresi wajah datar. Kak Ayu mengangguk manut. Mempersilakan Hana mengambil langkah lagi.

Ini... hampir mustahil! Memang beberapa anak terkadang diminta mengulang kembali laporannya karena ada salah-salah teknis. Tapi Hana tidak menyangka ia dapat kesempatan langka untuk memperbaiki laporan bobrok-nya barusan. Kesempatan yang mungkin akan jadi yang terakhir! Maksimalkan!

"Lapor! Nama. Hanami Niagara. Jakarta. Siap mengikuti Apel Tahunan pagi hari ini!" Lancar. Alhamdulillah! Harapan yang hampir pupus bisa seketika berubah menjadi kebahagiaan dan kelegaan baru. Hana melangkah mundur. Laporannya selesai, dan ia merasa jauh lebih tenang. Lebih banyak anak yang menahan tawa saat namanya dilantangkan. Nama belakang yang bagi mereka tidak lazim, apalagi disebut keras-keras oleh pemiliknya. Itu terdengar lucu sekali. Seperti sebelum-sebelumnya, Hana sudah terbiasa. Ketika itu pun, bahagia sudah merenggut rasa malunya ditertawakan. Ia tidak peduli lagi dengan sekitarnya.

Saat masih sekolah dasar, Hana sering menangis ketika temannya silih berganti bertanya apa benar namanya betul-betul sama dengan air terjun raksasa yang mereka baca di buku RPUL? Meski hanya berniat membawa penasaran dan tanya, bukan dengan maksud mengejek, namun Hana sudah kepalang tersinggung. Ia meyakini setiap orang yang melontarkan pertanyaan tersebut padanya, pasti karena menganggap namanya aneh. Ia jadi sering menangis dan marah-marah dulu. Hana juga tidak tahu kenapa ia dinamai begitu. Bukan kemauannya. Itu ulah orangtuanya!

Tiga banjar itu sudah mengerahkan kemampuan terbaik mereka di seleksi ini. Mereka diminta bergabung dengan seluruh barisan yang sudah menunggu di depan aula. Kerumunan yang sudah tampil dalam seleksi. Kelompok mereka yang terakhir bergabung. Para juri, Kak Ayu Dhiya dan belasan mudaribat lain berunding di balik barisan anak-anak. Yang terpilih nanti akan disebutkan nomor papannya. Nomor urut dalam potongan kertas yang pernah dibagikan saat awal latihan, yang kini tersemat di papan kardus setiap orang. Hana melirik nomor dari kertas yang ditempelnya menggunakan double tip. Nomor 86.

Kumpulan juri bubar dari perundingannya. Mereka telah memutuskan nomor-nomor yang masuk kualifikasi. DItambah dengan penilaian dan pendapat para pelatih. "Ingat nomor kalian baik-baik. Nomor yang kami sebut, silakan balik kanan, keluar barisan dan berkumpul di sisi sebelah kanan kami," Seorang juri--ustadzah paling senior--mengarahkan lengannya ke kanan.

Ini baru tahap pertama, seharusnya pengumuman nomor ini tidak akan jadi terlalu menegangkan. Di tahap seleksi yang entah berapa kali lagi itu akan tersaring lebih banyak orang. Lebih ketat saingannya. Hingga tahap seleksi yang kesekian, akan disimpulkan 31 orang komandan peleton, dengan salahseorangnya yang akan menjadi pemimpin Apel Tahunan--upacara penyambut Pekan Perkenalan.

"101. 74. 125." Kak Ayu Dhiya membaca papan juri di atas podium aula. Mengumandangkan nomor-nomor yang tertera di sana. Satu, dua, tiga anak balik kanan, membubarkan diri karena nomornya disebut. Terpilih. Barisan mulai bolong-bolong. Yang merasa nomornya belum disebut hanya bisa menanti sabar.

Hana mempersiapkan kemungkinan terburuk. Jurus jitunya selama ini ketika menghadapi beragam seleksi. Kemungkinan terburuk tidak terpilih, kemungkinan tidak disebut namanya atau nomornya, kemungkinan tidak mencapai yang ia inginkan. Kemungkinan yang dia bangun agar tidak mudah kecewa, atau bahasa yang populer di kalangan anak-anak: TB--Tekanan Batin. Tenang saja, itu sama sekali berbeda dengan pesimis. Hana tidak merendahkan dirinya. Ia yakin sudah berusaha, ia tahu kapasitas diri, dan ia tahu apa yang ingin dicapainya. Kemungkinan itu Hana persiapkan agar tidak kelewat bangga diri. Agar tidak mudah puas. Kembali lagi, agar tidak kecewa dengan angan yang ia ciptakan sendiri. Jadi, cita-cita boleh besar, harapan dan doa langitkan setinggi mungkin, tapi pikirkan kemungkinan terburuk. Agar siap menerima apa pun nanti takdirnya. Jika sesuai dengan harapan, syukur. Bila belum sesuai, tidak masalah.

Hana mengatur napasnya yang mulai menderu-deru seperti kereta uap. Makin banyak nomor yang disebut, makin tipis kesempatannya ikut terpanggil. Memang berapa orang yang terpilih di tahap pertama ini? Tidak ada yang tahu. "85. 93. 117. 122." Kak Ayu Dhiya terus meluncurkan nomor-nomor. Oke, kuharap angka 86 menjadi salah satu yang tidak sengaja meluncur dari mulut Kak Ayu ini. Tolonglah, sekali ini ia berpihak padaku. Hana mengatupkan rahang. Menatap lurus ke depan, menolak distraksi dari panggilan nomor dan orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Fokus saja dengan 86.

"51, 24, 86, 100."

86! Itu dia! Nomornya disebut! Hana cepat-cepat balik kanan. Setengah berlari menuju gerombolan kecil itu dan langsung menyusul dalam barisan. Wah! Ternyata plong sekali rasanya! Nomornya sudah disebut. Tandanya untuk saat ini, Hana sudah aman. Tinggal fokus untuk menghadapi seleksi mendadak yang akan datang.

Selang beberapa nomor disebut setelah nomor Hana, Kak Ayu Dhiya menghentikan pengumumannya. Ia berlalu meninggalkan podium, menyisakan ratusan anak yang mendesah dan mengeluh kecewa. Sebagian anak lain yang tidak minat baris-berbaris menghela napas lega. Terbebas dari suasana tegang yang terpaksa mereka jalani. Seorang ustadzah mengambil alih podium, menghibur mereka untuk tetap semangat mengikuti latihan, karena yang akan diseleksi selanjutnya adalah pasukan pengibar bendera. Mereka bersorak memekikkan seruan semangat. Tinju mereka kepal dan mereka acungkan ke langit. "Ayo kita tunjukkan yang terbaik! Apel Tahunan di masa kini adalah milik kita bersama! Bukan milik individu. Lapangan hijau ini milik angkatan kita tahun ini! Semangat berikan yang terbaik teman-teman!" Seru salah seorang pentolan angkatan, Zafir. Disusul pekikan yang lainnya. "Horeee!!"

***

Tak terbilang berapa bentakan mereka terima, disiplin ketat mereka jalani, betapa menumpuknya cucian kotor akibat minimnya waktu luang. Hari-hari latihan baris-berbaris banyak menyita stamina anak-anak kelas 4. Tiap hari bergantian orang tumbang kelelahan. Esoknya pulih kembali, sudah berlari-lari lagi dikejar pluit. Papan nama kardusnya meloncat-loncat di leher mereka seiring kaki menyentak. Jika sedang latihan, papan nama diputar ke belakang. Namanya tertera di punggung. Kecuali saat seleksi, papan kardus itu harus terpampang di depan dada, mempermudah juri mengenali peserta.

Setiap mulai latihan sedikit, kaus Hana sudah gobyos banjir keringat. Padahal ia melihat kawan-kawannya, wajah mereka kering, tidak banjir dan kumal seperti Hana. Punggung kaus mereka juga tidak menciptakan setengah lingkaran basah sampai pinggang seperti miliknya. Entahlah mungkin sudah bawaan lahir.

Nomor urut Hana sudah ganti tiga kali. Setiap usai seleksi, nomor urut baru dibagikan. Nomor urut khusus calon komandan peleton. Mereka total sudah 31 orang sekarang. Total yang cukup untuk menjadi anggota tetap komandan peleton. Seharusnya mereka merasa aman, tapi seperti yang selalu diulang-ulang oleh Kak Ayu Dhiya—dan tambahan empat pelatih danton lain, "Selalu luruskan niat kalian! Salah niat sedikit akan kelihatan dampaknya. Apel Tahunan ini azhim! Agung! Bukan tempatnya orang-orang sombong. Ingat! Kalian masih 'calon komandan peleton' tidak ada yang valid sampai hari H. Kemungkinan mengganti anggota bisa terjadi kapan pun. Jaga niat kalian, niatkan untuk bantu pondok, niatkan lillah!"

Peringatan keras yang membuat mereka tertampar hingga menangis. Apel besar yang akan mereka hadapi bukan sekadar pekan olahraga atau pembukaan pramuka. Melainkan Pekan Perkenalan yang merepresentasikan PM di tahun itu. Kelas 4 yang menjadi tonggaknya. Bagaimana kualitas angkatan mereka akan dinilai di hari itu. Sebuah perjuangan jatuh bangun demi membela harga diri.

Hana melalui tiga seleksi dengan banyak pertarungan dalam dirinya. Menebas rasa cemas dengan latihan yang sepadan. Terus berlatih adalah caranya menaklukan rasa takut. Dengan persiapan yang matang, ia tidak punya alasan untuk ragu dengan dirinya. Hana maju terus, di tahap kedua dan ketiga, ia terbilang selalu prima dalam aksinya. Laporan selalu lancar dan ia tidak terkendala dengan isu suara serak, habis atau sebagainya. Tidak menyangka, ia memiliki rasa percaya diri yang tumbuh seiring dengan bertambah usianya. Ia dahulu hanya Hana yang punya banyak impian, tapi tidak jarang ia lemah menghadapinya. Masih Hana yang sering takut, kalut dan rajin nangis. Tiga tahun yang lalu, ia masih Hana yang mengangkat kepalanya tanpa Arin saja tidak sanggup. Ia yang merasa semestanya akan hancur dan kakinya tidak berpijak kokoh kalau Arin tidak bersamanya. Sekarang, sudah hampir tiga tahun juga ia tidak pernah lagi mendengar kabar sobatnya. Mereka sudah tumbuh masing-masing dengan lingkungan barunya.

Angin malam ini menusuk sekali. Kalau tidak pakai jaket, menggigil. Kalau pakai, kegerahan karena bergerak terus selama latihan. Malam itu pukul delapan, para calon danton dikumpulkan lagi dalam barisan setelah mereka mengisi penuh satu liter botol air mineral. Botol kemasan plastik besar yang mereka isi ulang selama latihan. Sekali latihan mereka harus menghabiskan dua liter--berarti bawa botol penuh dari asrama, latihan, istirahat, habiskan minum, isi ulang, latihan lagi, istirahat, habiskan minum, isi lagi. Ya, total dua liter satu kali latihan. Dalam sehari, mereka latihan tiga kali. Siang, sore dan malam. Hitunglah berapa liter dalam sehari mereka konsumsi. Katanya, itu demi stamina dan suara mereka. Tapi bagi Hana, itu tidak lebih dari penyiksaan bolak-balik kamar mandi. Beser.

Botol satu liter sudah penuh kembali di samping kaki mereka. Kak Ayu berdiri dengan gagah menghadap barisan. Empat orang lainnya—Kak Nada—yang imut perawakannya tapi menggelegar suaranya ketika memberi contoh laporan, Kak Lia yang selalu dipercaya menjadi komandan peleton dalam acara apa pun, Kak Ulin dengan lesung pipi dan gingsulnya di kedua gigi taring yang membuatnya jadi seperti drakula saat tersenyum, dan Kak Isna yang cantiknya MasyaAllah tinggi semampai yang entah kenapa memilih jadi mantan komandan peleton bukan pasukan jamilah20 yang bertugas menerima bendera dari pimpinan. Kemarin Kamila bilang, "Kak Isna itu dulu komandan upacara tahu! Masa kamu nggak ingat." Hana meringis, sama sekali lupa tentang dua tahun lalu, tentang siapa saja yang menjadi petugas saat itu.

Kamila juga terpilih menjadi 31 besar. Hal lain lagi yang jauh dari perkiraan Hana. Ia mana mungkin menyangka kawan sebangkunya yang biasa berkomat-kamit dengan suara cempreng, kini berdiri di sampingnya, sama-sama menjadi anggota calon komandan peleton. Suaranya bulat dan berat saat laporan. Luar biasa sekali. Ternyata Kamila memiliki suara terpendam.

"Kalian boleh duduk sekarang." Kak Ayu memberi arahan. Semua anak serentak duduk di paving, meluruskan kaki.

"Sekarang mengakulah. Siapa yang seminggu ini makan gorengan?" Senior itu menatap nanar masing-masing wajah dengan penuh selidik. Hana bergeming. Ia menghentikan konsumsi gorengan akhir-akhir ini. Yang pasti ia tidak melakukan pelanggaran.

“Yang makan kerupuk matbah? Sambal? Ayam goreng?”

Satu-satu anak mengaku dan mengangkat tangan. “Yang merasa melanggar aturan makan selama masa latihan—berdiri di tempat.”

“Betul kalian yang masih duduk sudah menjaga konsumsi makanan kalian?” Kak Ayu memicingkan mata. Melirik ke kiri dan kanan.

”Yang makan mie. Kuah santan… Tempe goreng tadi siang?”

Hana terperanjat. Ia tidak tahan kalau harus puasa lauk kesukaannya tadi siang. Tempe goreng asin dan sayur bayam.

Hana menoleh ke sekelilingnya. Semua orang berdiri. Tidak menyisakan seorang pun duduk di atas paving. Ia sedikit meringis lalu tersentak.

”Apa bedanya tempe goreng dalam lauk dan gorengan yang tadi saya sebut?! Kalian ini. Mau membodoh-bodohi saya ya? Atau kalian yang pura-pura bodoh?” Cerocos Kak Ayu Dhiya. Semenit sebelumnya mereka lega karena ini waktunya istirahat. Ternyata waktu istirahat belum juga tiba.

”Kenapa? Mentang-mentang kami tidak bersama kalian, jadi kalian kira kami tidak tahu? Salah besar! Kalian kira bisa selamat sampai hari upacara? Kalau sehari sebelum upacara kalian terpaksa diganti karena suara habis? Kalau saat waktunya kalian maju laporan tapi tidak mampu bersuara? Kalian mau bilang apa hah?!”

Kak Ayu berteriak-teriak sampai air liurnya menyembur kemana-mana.

Seluruh anggota menunduk tak dapat membantah. Mereka tahu mereka salah. Ini sepenuhnya salah mereka, tidak bisa melawan hawa nafsunya. Hasrat ingin nyemil gorengan, keinginan makan lauk enak seperti kawan-kawan mereka yang lain. Sementara peraturan selama latihan komandan peleton adalah; dilarang keras konsumsi gorengan dan makanan berminyak apa pun bentuknya, makanan bersantan, minuman es, jajan-jajan yang tidak perlu. Bahkan cara paling aman yang dikatakan para pelatih yaitu, makan nasi hanya dengan lauk abon dan kecap.

Segala upaya telah mereka lakukan. Menolak dengan berbagai alasan bila temannya mengajak ke kantin, mencuci ayam balado menu spesial tiap hari Senin—supaya minyak-minyak luruh dari daging ayam—agar mereka tetap bisa menyantap lauk enak itu meski dengan rasa hambar. Hingga yang paling menguji mental mereka adalah ketika seseorang hendak mentraktir mie ayam. Wah mereka pasti dilanda dilema hebat antara menolak dengan halus, atau menerima dan diam-diam menyeruput mie. Karena semua orang tau, mie ayam PM adalah harta karun. Antrean sampai panjang-panjang, tapi stok sangat terbatas. Langka sekali.

Kak Ayu Dhiya menghela napas. Tersirat raut kekecewaan di wajahnya. Suasana jadi mencekem justru ketika kehening melanda. Hanya terdengar detakan jantung masing-masing dan suara jangkrik di balik semak-semak. Angin berhembus-hembus. Kulit mereka yang mengkilat bekas keringat jadi terasa dingin.

”Kalian tahu.

Di tahun-tahun sebelumnya sudah banyak bukti. Perkataan saya bukan main-main. Banyak yang sombong, lupa diri, tidak mendengar nasihat dan menaati peraturan. Alhasil apa? Tumbang di hari upacara. Saat berlari kijang kakinya keseleo. Saat meneriaki laporan, suaranya tidak keluar. Semua itu benar-benar terjadi. Dan saya melihat semuanya dengan mata kepala saya sendiri.”

Hana meremas-remas ujung kausnya. Berusaha tidak menitikkan air mata.

”Pegang omongan saya. Kalau kalian masih saja berlaku sesuka kalian—“ Kak Ayu menarik napas. “Semesta juga berhak memperlakukan kalian sesukanya.”

Hujaman tombak bak menikam dada mereka. Anak-anak berjanji ini kali terakhir mereka lalai dengan aturan makan itu. Tak ubahnya mereka abai dan menganggap aturan itu sepele, namun sekarang mereka mengerti. Aturan makan itu terlihat simpel sekali, namun memegang peran vital dalam latihan mereka. Dengan adanya aturan itu, mereka jadi terbiasa berdisiplin.

Hukuman squat jump berjamaah mereka jalani. Kemudian kembali dipersilakan duduk. “Luruskan kaki kalian biar nggak kram.”

Para mudaribat berjejer duduk di tangga samping aula. Lokasi mereka latihan memang tidak pernah jauh-jauh dari sekitar qoah kecuali memang saat latihan baris-berbaris. Latihan teriak-teriak laporan dan beradu suara tidak bisa mereka lakukan di sembarang tempat, karena pasti akan mengganggu siswa lain.

“Sekarang, kalian kunyah ini.” Kak Isna dibantu yang lainnya membagi-bagikan sebongkah sesuatu berwarna coklat kekuningan. Malam yang gelap hanya diterangi lampu teras samping aula dan cahaya bulan membuat bongkahan itu makin sulit diterka. “Itu jahe.” Pungkas Kak Ulin sebelum seseorang mengacung dan melontarkan pertanyaan tentang bongkahan kecil itu.

Semua anak melontarkan ketidak-setujuan mereka. Menggeleng-geleng dan mengeluh. Bagaimana mereka bisa mengunyah ‘rempah’ ini mentah-mentah? Belum pernah seumur hidup Hana melakukannya.

Tiga puluh anak langsung terkejut begitu menonton Kamila melempar masuk jahe-nya dengan eteng ke dalam mulut dan langsung mengunyahnya seperti tanpa beban. Hana yang paling kaget di sana. “Hei. Bagaimana kau melakuannya?!” Masih dengan gerakan mengunyah, Kamila menjawab, “Aku sudah biasa. Kalian juga bisa. Jangan dirasakan dengan lidah. Kunyah saja cepat.”

Anak lain mulai menatap jahe masing-masing. Menenggak ludah kemudian memejamkan mata sambil memasukkan jahe ke mulut.

Hana pun begitu. Malah ia sempat menatap ngeri jahe mungil—yang baginya tidak mungil sama sekali. Kemudian berdoa semoga dia baik-baik saja. Lalu, hap. Hana mengunyah jahenya. Uh, tiap kunyahan membuatnya bergidik.

”Kumpulkan sampahnya. Jangan dilepeh sembarangan,” ujar Kak Ulin mengingatkan. “Baik!” Anak-anak bergantian membuang sampahnya.

Lihat selengkapnya