Hana membolak-balik buku catatan 100 impiannya. Lumayan, 6 tahun dia konsisten hanya diisi target dan coretan merah tanda target telah tercapai. Sampul kuningnya sudah kumal, tetapi justru itu menjadi bukti notebook ini digunakan.
Tulisan tangannya sudah jauh berubah dari saatnya di kelas satu dulu. Hana menyisir coretan merah yang bolong-bolong. Maklum, tak semua yang Hana targetkan tercapai. Seperti target "Kelas dua jadi pemenenang Lomba Bahasa" tidak ia coret. Karena baru tercapai saat kelas 4. Lucunya, ketika ia menyadari hal itu, membuatnya merenung. Iya, ya, jika impianmu belum tercapai sekarang, maka Allah akan memberikannya di waktu yang tepat. Di waktu terbaik. Di saat Dia yakin kau sudah mampu mengembannya. Hana belajar dari sana untuk tidak selalu terburu-buru saat meminta.
Ia lalu beralih muram ketika menemukan tulisan: "Semoga saat kelas 3 angkatannya membaik". Hana jadi teringat kembali bagaimana semuanya berawal. Masa-masanya saat naik daun. Masa di mana banyak hal terjadi melebihi target yang dicanangkannya. Masa-masa kejayaan--yang tak dapat ia pertahankan.
Teringat bahwa dulu Hana hanya ingin berperan sebagai bayangan Sabil. Ketika tiba waktunya harus berdiri di bawah sinar bulan seorang diri, menjadi ketua kelas 4 yang jadi sorotan semua orang, Hana tidak siap. Ia tidak dengan sengaja mendedikasikan dirinya untuk itu. Sehingga menjalankannya jadi beban.
Tahun sebelumnya, ia memberi macam-macam arahan semampunya untuk Sabil. Tetapi ketika ia yang kemudian menggantikan posisi Sabil, siapa yang akan mendorongnya seperti saat ia mendukung Sabil? Memang, tahun itu berjalan normal-normal saja kelihatannya, namun tidak cukup baik untuk mental Hana.
Banyak peran 'pemimpin' diembankan padanya. Di angkatan, di acara besar, juga di komunitas Sohafi Madani. Ia diamanahi tentunya bukan tanpa alasan. Hana memang menyerap dengan baik praktik kepemimpinan yang diajarkan di PM sejak dulu. Hanya saja, beberapa hal tidak kondusif lagi ketika tuntutan mulai dilayangkan padanya.
"Pemimpin itu harus sempurna." "Pemimpin itu harus selalu tersenyum." "Menjadi pemimpin harus keibuan." Dan begini dan begitu. Syarat tak tertulisnya banyak sekali. Parahnya, Hana menelan semua kritikan itu bulat-bulat dan memaksakan 'sosok ideal' itu pada dirinya. Berkali-kali mendapati pola yang sama, membuatnya terbentuk menjadi seorang people pleaser. Ia mengesampingkan dirinya demi teman-temannya, hingga membuatnya kerepotan sendiri.
Ia selalu takut dibenci. Hana berpendapat, kalau ia sampai dibenci, tidak ada yang mau mendengarkannya. Walau guru pembimbing mereka selalu berkoar: "Jangan takut dibenci! Karena kalian menyuarakan kebenaran." Setiap kali menyemangati Hana dan tim penyukses angkatan.
***
Maika menelengkan kepalanya, membuat cerita Hana tertahan.
"Stay where your presence is valued. Don't change yourself just to fit in someone's life."
Hana terperangah melihat adiknya berkomat-kamit mengucapkan kutipan Bahasa Inggris. Ia tahu itu kutipan terkenal yang menyatakan bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Karena value tiap orang berbeda, maka cari yang memiliki value sama dan sefrekuensi. Dengan begitu kamu akan diterima dan dihargai.
Kemudian ia tersenyum. "Betul, kita butuh orang-orang sefrekuensi untuk mempertahankan baterai diri kita tetap penuh. Tetapi bagi kakak, itu hanya berlaku untuk orang-orang terdekat. Karena ada kalanya kita harus mampu beradaptasi dengan lingkungan. Apalagi sebagai pemimpin, sudah menjadi wajar bahwa dialah pelayan anggotanya."
Hana mengutuk diri usai mengucap kalimat sok bijak depan adiknya. Ringan sekali mengucap begitu, padahal dulu dirinya terperangkap dalam stagnasi. Jumud. Tidak mampu menemukan solusi untuk dirinya. Terus bertanya hal yang sama berulang-ulang.
"Ya. Kakak ada benarnya."
***
Matanya menangkap tulisan terakhir di buku itu. Target yang ia tulis tahun lalu, saat berada di kelas 5. Ia ingin meminta maaf tidak bisa menepati janjinya untuk menjadi pengurus bahasa, kepada Arin. Sebab ia sekarang malah menjadi pengurus Gerakan Pramuka. Belum ada lagi tambahan tulisan setelah tahun itu.
Hana lupa cara bermimpi ketika ia kehilangan seorang role model. Penantiannya selama ini memang sudah terbayar. Persis seperti yang pernah diceritakan Kak Sephia dulu. Bagaimana nikmatnya jadi kelas lima, apalagi kelas enam.
Tapi nikmat itu rupanya meminta bayaran. Hana kewalahan memposisikan dirinya ketika menghadapi masalah. Dahulu, ia sering bercermin pada seniornya, pada guru-guru yang ia teladani untuk membantunya memilih jalan terbaik ketika menghadapi masalah. Mereka yang Hana percaya, satu-persatu lulus dan meninggalkan PM. Alhasil, ia berdiri seperti dalam sampan yang terombang-ambing. Banyak ragu, sering salah—dan tidak lagi memiliki motivasi untuk bermimpi.
Ia mulai jenuh mengurus angkatan, karena berpikir sebaik apa pun rencana yang Hana dan tim rumuskan, selalu berakhir dengan tuntutan dan kebencian.
Suatu hari, Hana yang seharusnya menjadi penegak disiplin angkatan, tidak menegaskan kawan-kawannya ketika tengah membuat bakar-bakaran di atas setrikaan arang. Mereka melakukannya di dalam kamar, layaknya memanggang sate. Kawannya justru dengan santai mengajak Hana bergabung, dengan dalih tidak akan ketahuan guru. Namun sayangnya, mereka tidak ingat ada seorang anak pengidap asma di kamar itu. Ketika mendadak kambuh, mau tidak mau, dipanggilah seorang guru yang kebetulan lewat depan asrama.
Anak-anak itu belum sempat merapikan jejak bakar-bakaran mereka. Hingga selanjutnya ditindak serius, kemudian berakhir diskors. Bagaimana dengan Hana? Anak itu selamat dari skors. Sang guru menganggap Hana orang penting angkatan. Tidak mungkin ia bergabung melakukan sesuatu yang macam-macam.
Ya, walau terbebas dari hukuman berat, Hana jadi dirundung perasaan bersalah. Satu, karena tidak tegas melarang perbuatan kawan-kawannya. Dua, karena sebenarnya ia ikut bergabung. Tiga, karena empat orang kawannya diskors dan ia tidak.
Sebab itulah ia banyak mengurung diri di kamarnya. Ia telah mencoreng nama baik pengurus angkatan. Sangat mengecewakan. Walau teman-teman satu timnya tidak pernah menggubris masalah itu, tapi mustahil mereka tidak mengetahuinya. Hana tahu mereka hanya berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Tatapan orang-orang yang berpapasan dengannya juga sangat mengintimidasi. Atau malah menganggapnya tidak ada. Sapaan dan senyuman yang kerap Hana lontarkan pada mereka tidak berlaku lagi.
Di tengah kondisinya yang dilanda keterpurukan, bagai bulan kesiangan—wajah Hana pucat pasi dan tubuhnya lesu. Ketika kembali ke kamarnya, ia mendapati secarik kertas terselip di pintu lemari. Karcis mudifah. Buke datang menjenguk!
Pertama kali semburat cerah terbit dari wajah Hana setelah saban hari ditekuk. Buru-buru Hana menyambar segala keperluan untuk melalui Balai Jenguk. Ibunya selalu tahu kapan anaknya membutuhkan hadirnya.