“Nilai-nilai kamu nggak ada yang turun kan?” tanya Galih pada anak gadisnya yang duduk di sebrangnya.
“Enggak, Pa.”
Galih menganggukan kepalanya, “Bagus, jangan sampai Papa dengar nilai kamu turun.”
“Kapan kamu ikut olimpiade lagi?” tambah Galih dengan mata yang tetap mengarah pada ponsel di tangannya.
Calysta menghela napas perlahan dan memejamkan matanya sejenak, “Belum tau. Belum ada informasi dari Pak Lukman.”
Pak Lukman merupakan guru yang bertanggung jawab serta mengelola olimpiade di sekolahnya. Jadi jika ada olimpiade, beliau yang menginformasikan dan membimbing siswa yang akan mewakili sekolah dalam olimpiade tersebut.
“Papa bakal keluar kota selama dua minggu. Kamu jangan berbuat macam-macam, jangan keluyuran nggak jelas. Belajar yang benar, jangan sampai nilai kamu menurun.”
“Iya,” kata Calysta dengan diiringi anggukan kepalanya. “Kalau gitu, Caca pamit ke kamar ya.”
Caca adalah nama panggilannya di lingkungan keluarga dan orang-orang terdekat. Dan juga Caca adalah nama yang diberikan oleh mendiang Mamanya sebagai nama kesayangan.
Calysta menghela napas berat sambil menaruh tas sekolahnya. Dia berjalan menuju meja kecil di samping tempat tidurnya, kemudian tangannya terulur untuk mengambil figura foto yang selalu dia peluk. Foto dirinya saat berusia lima belas tahun dan juga di sisi kanan kirinya terdapat Papa Mamanya.
“Ma, kenapa Papa jadi semakin menjadi sekarang?’ rilihnya dengan jarinya yang mengusap foto mendiang Mamanya.
“Kenapa Papa jadi lebih mementingkan pekerjaannya?” Kini tatapan matanya beralih ke foto sang Papa.
“Kenapa Papa jadi semakin menekan aku untuk terus belajar dan ikut semua olimpiade?”
“Kenapa Papa jadi suka larang aku untuk keluar rumah sekedar main sebentar di rumah Kinar atau Alena?”
“Pa, aku juga mau kayak yang lainnya. Mereka bebas main sama temannya tanpa memikirkan belajar.” Setetes air mata Calysta meluncur bebas di pipinya. “Aku juga mau Papa kayak dulu. Papa yang selalu ada waktu buat aku, Papa yang bebasin aku ketika mau main sama Kinar dan Alena, Papa yang nggak pernah menuntut aku dapat nilai tinggi.”
Kini kian banyak air mata yang menetes dari kedua matanya. Perlahan Calysta berjalan menuju balkon kamarnya dengan figura foto itu yang masih berada di tangannya. Dia berdiri di pagar pembatas balkon dengan tatapan memandang lurus ke depan.
“Iya, baik.” Calysta melihat kearah bawah tepatnya ke depan garasi yang sudah terparkir mobil sang Papa. Terlihat Papanya baru saja memutuskan sambungan telpon dan berjalan memasuki mobil bersamaan dengan Pak Joni yang masuk ke bagian pengendara mobil. Perlahan mobil itu keluar meninggalkan pekarangan rumah, disana hanya tersisa asisten rumah tangga di rumah nya, Bi Ina yang tengah menutup pintu gerbang.