Pertemuan saya dengan seseorang, yang kemudian saya ketahui bernama Olenka, terjadi secara kebetulan ketika pada suatu hari saya naik lift ke tingkat lima belas. Dia juga berada di lift bersama tiga anak jembel, masing-masing berumur lebih kurang enam, lima, dan empat tahun. Dan sepintas lalu, kecuali kekumalan pakaian dan kekotoran tubuhnya, mereka tampak seperti Olenka. Masing-masing mempunyai hidung yang seolah-olah dapat dicopot, mata biru laut, dan wajah lancap.
Ketika anak yang paling besar meloncat ke tombol angka sembilan karena letak tombol terlalu tinggi, Olenka diam. Tidak boleh tidak saya mengira bahwa dia akan turun di tingkat sembilan bersama mereka. Sementara itu, saya menekan tombol angka lima belas dan dia diam. Tentu saja saya tidak mengira bahwa sebetulnya dia juga akan ke tingkat lima belas.
Barulah ketika anak-anak jembel turun di tingkat sembilan dan dia diam, saya bertanya, “Tidak turun di sini?” Dia menggeleng.
Seharusnya saya diam atau berbicara apa saja yang sekiranya tidak menyinggung. Entah mengapa saya bertanya, “Apakah mereka bukan anak sampean?”
Dia menggeleng lagi. Seharusnya saya berhenti atau minta maaf. Tetapi saya menyerangnya dengan pertanyaan lebih lanjut, “Oh, saya kira mereka anak sampean. Lha, kok mirip sampean?”
Barulah saya sadar bahwa omongan saya mungkin menimbulkan perasaan tidak enak. Memang dia tersinggung. Kali ini dia tidak menggeleng, tetapi menyalak ganas, “Mereka bukan anak saya!”
Kemudian dia bercerita siapa mereka. Dari sini saya mengetahui bahwa sasaran kemarahannya bukan saya, tetapi ibu ketiga anak jembel tersebut. Lebih kurang sepuluh hari yang lalu, katanya, ibu mereka minggat tanpa sebab.