“Kamu kenapa lompat kalau nggak bisa berenang? Aku nggak tau masalahmu seberat apa, tapi jangan lakuin itu lagi, tolong.”
Tidak ada jawaban. Namun, tangannya mencengkeram bahuku. Dia langsung mendorongku tiba-tiba. Pelukanku terlepas, aku yang sudah tidak punya sisa tenaga lagi pun terjatuh.
Penglihatanku memudar. Semuanya pun menjadi gelap.
Hal pertama yang kulihat ketika membuka mata ialah langit-langit putih yang tergantung kipas angin. Ada lampu led biasa yang sedang tidak dinyalakan dan beberapa retakan kecil di betonnya. Andai lampu yang menggantung di atas situ, pasti indah. Aku suka melihat lampu gantung.
Aroma obat-obatan begitu menusuk. Ah, aku pingsan, ya, tadi, terus dibawa ke sini.
Aku menoleh ke samping. Ada seorang cowok tengah duduk dengan se-cup kopi di tangannya. Matanya yang lebar terus memandangiku, tetapi sangat sayu. Ah, aku selalu menginginkan mata yang seperti itu, sayangnya tidak kumiliki. Kenapa tatapannya begitu, dia seperti menyia-nyiakan mata indahnya.
“Kamu orang yang kuselamatkan tadi, kan, ya?”
Dia tidak menyahut.
Rambut pendeknya urakan dan seperti tidak terawat sama sekali. Begitu pun poni yang menutupi dahinya. Ada, ya, zaman sekarang orang yang masih tidak memperhatikan penampilan. Tapi, harus kuakui wajahnya tampan. Alisnya tajam menukik dan rahangnya tegas mirip seperti artis-artis Korea kesukaan Mey.
Sementara aku menatapinya, cowok ini tiba-tiba berdiri dan mengulurkan cup yang dia pegangi. Aku yang semula rebahan pun duduk, lalu mengambil minuman itu dari tangannya.
“Makasih,” balasku spontan. Kepalaku masih agak pusing setelah aku duduk.
Aku pikir tadi ini minuman hangat, tapi setelah kupegang ternyata tidak. Mungkin dia lama menungguku sampai-sampai minuman ini tidak hangat lagi? Aku langsung meminumnya dari lubang kecil di tutupnya seteguk. Rasanya manis dan tidak pahit. Bukan kopi rupanya, tapi teh.
Sementara aku sibuk dengan minumanku, si cowok membalikkan badan dan pergi tanpa sepatah kata.
Aku yang menyadarinya pun bergegas turun dari ranjang. “Tunggu! Kamu mau ke mana?”
Aku mengejarnya dengan membawa beberapa pertanyaan di dalam kepalaku.
Aku melihatnya berjalan keluar dari klinik. Aku yang ingin mengikutinya pun tertahan di depan pintu keluar. Aku baru ingat sepatuku kutinggalkan di jembatan.
Aku memandangi jalan di depan. Satu dua mobil dan motor berlalu lalang. Cowok itu sudah berada di seberang jalan dan menuju ke arah kanan. Tidak ada pilihan lain, aku pun keluar tanpa alas kaki. “Yolo ajalah udah daripada aku nyolong sendal orang.”
Sesekali aku terseok-seok karena batu kecil yang terasa sangat menusuk ketika terinjak. Saat aku menyeberang, sebagian bagian aspal jalan juga terasa menyengat ketika menyentuh kulit karena bekas panas matahari.
Aku berhasil mengejarnya dan menangkap tangannya.
“Tunggu. Mau ke mana? Kamu, kok, nggak ngomong apa-apa dari tadi, kenapa?” tanyaku langsung.
Dia berhenti, lalu menoleh dan menatapku. Spontan aku melepaskan tangannya. Aku menunggu sesuatu keluar dari mulutnya, tetapi bibirnya bergerak pun tidak. Dia kembali melanjutkan berjalan sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana.
Aku kebingungan dan berhenti. Apa pertanyaanku nggak jelas, ya? Atau, susah dipahami? Tatapannya tadi apa dia kebingungan atau apa?
Setelah memikirkannya singkat, satu-satunya kesimpulan yang muncul di kepalaku ialah… cowok ini nggak bisa ngomong Indonesia! Kalau begitu, tinggal pakai Inggris saja. Inggris, kan, bahasa universal, semua orang paham pastinya.
Aku kembali mengikutinya. Membuntutinya dari belakang saja.