"Jika kau merasa nelangsa akan kondisimu, mungkin kau egois. Karena banyak orang yang kecewa akan perilakumu yang kau sendiri tidak mengetahuinya"
~~~~~
Rasanya aneh, hanya orang model sepertiku saja yang tidak punya ambisi untuk melakukan apa pun, tidak punya tujuan hidup, bahkan tak mau berurusan sama yang namanya cinta. Hidupku damai-damai saja. Alam, adalah panorama yang tidak akan berkhianat menemaniku, jadi tidak mungkin kan aku berselisih paham dengannya? Tapi jika aku dilarang untuk bisa melihat alam lagi, baru itu masalahnya.
Aku menengadah ke langit luas, hari mulai senja. Gradasi warna kuning, oranye, dan rona merah, melukis lanskap langit. Bagaimana bisa aku keluar dari kebun buah milik Papa dan kembali ke gubuk tempat kami berkumpul, dengan kondisi rabun jauhku yang semakin parah ini? Bahkan kacamata miopi hitam yang dari siang tadi kugunakan seolah tak berfungsi lagi sekarang.
Langitnya semakin keruh, berbeda dari biasanya. Awan kali ini sangat gelap, ada kilatan cahaya di dalamnya. Aku rasa gumpalan awan gelap itu adalah awan kumulonimbus. Aku tahu itu sewaktu di SMA dulu—di jurusan IPS. Sepertinya hujan akan menyerbuku.
Tik-tik-tik ...
Aku beralih pandang menghadap tangan kananku yang seperti merasa ada tetesan air yang jatuh. Buah-buahan yang kupetik dan kumasukkan ke dalam keranjang rotan tampak basah oleh rintikkan itu. Aku terkepung.
Derap langkahku percepat, menyusuri jejeran pohon apel yang rindang dan tersusun rapi laksana tembok tegak perkasa. Rambutku yang hanya sebahu ikut bergoyang sesuai ritme hentakkan kaki. Jantungku berdebar kencang seperti ingin meletus. Napas tidak beraturan, pikir tak karuan ....
"PA ... PAPA ...!!" aku menjerit dengan irama gemetar mencari di mana Papa. Embusan angin kencang menerpa gelombang suaraku yang tidak seberapa. Suaraku tak terdengar oleh siapa-siapa.
Semakin kelimpungan, aku tancapkan tenaga otot kaki sekencang-kencangnya menebas jalanan berumput lebat kebun itu. Aku berlari tak tentu arah. Buah-buahan seperti apel, stroberi, jeruk, dan lainnya tampak berjatuhan dari keranjang anyaman rotan yang kutenteng.
Hujan semakin deras, bulir-bulir air yang jatuh ke tanah tampaknya semakin banyak. Wajah ovalku tampak dipenuhi olehnya sehingga membuat napas tersengal. Lariku tidak kendor sama sekali, malah semakin kencang. Hingga seonggok akar atau apalah itu yang menyembul dari tanah menerjang pergelangan kaki.
Buk!!!
Aku terjatuh menggelepar ke tanah. Daguku mendarat lebih dulu ke permukaan becek lahan kebun itu. Keranjang yang kusandang di lengan, terjatuh dan membuyarkan tumpukkan buah ke lahan perkebunan. Berserak.
Syok, lemas, dan pingsan karenanya.
~~~~~
Sial! Aku tidak bisa melihat apa pun sekarang. Di mana aku? Apa yang terjadi setelah insiden itu?
Kepalaku masih terasa oyong dan meremang gelap. Kupegang titik perih lainnya dengan tangan yang meraba mengarah dagu. Benda lembut apa ini yang melekat di sana? Mungkin ini perban dan kapas yang menempel membungkus luka.
Aku mengerang kesakitan, dari batang hidungku tampak kerutan. Dengan susah payah aku mencoba membuka mata, namun masih tidak kelihatan apa pun, mungkin karena aku tidak memakai kacamata. Rabun. Tapi aku melihat bayangan seseorang di kiriku. Apakah itu Papa?
"Osa, kamu sudah siuman?" Benar saja, orang itu adalah Papa yang bersuara berat. Tubuhnya yang gahar membuat suara keras terdengar ketika ia menggeser benda.
Papa mengenakan kacamata ke pandanganku, tampaklah rambut cepak dan kumis tipisnya yang basah karena air hujan. Alisnya mengernyit khawatir memandangku. Aku manggut-manggut berisyarat mengiyakan pertanyaannya. Kemudian kurubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar bantal di kepala kasur. Ini di kamar.
"Kamu sekarang di kamar. Tadi papa nemuin kamu pingsan di kebun apel. Lalu papa gendong kamu ke gubuk. Papa telepon pegawai buat membawakan mobil untuk kita pulang. Soalnya hujan sangat lebat tadi." Papa menjelaskan kronologi kejadian padaku sambil mengaduk teh hangat yang di dalamnya berisi perasan jeruk lemon, punggung tangan kirinya yang dihinggapi tahi lalat, menghampiriku sambil memberi gelas. “Tenang aja, yang gantiin pakaian kamu ibu pemetik buah. Bukan papa, kok.”
Aku menyeruput pelan teh tersebut, menenangkan pikiran, dan mulai berkata, "A-aneh banget tadi, Pa. Padahal biasanya walau di tempat gelap, pandangan Osa gak separah tadi. Tadi itu udah rabun banget, gak kelihatan apa-apa."
"Hmm ... papa juga gak tahu soal begituan. Kalau cara nanam bonsai, papa tahu, hahaha ...” Dia tertawa, memperlihatkan gigi seri bawahnya yang mulai berkarang. “Besok lah, kita ke rumah sakit kota," tandasnya menjawab omonganku sambil bergurau. Ia duduk di kursi komputer milikku yang berwarna ungu dengan sandarkan busa lembut di dalamnya.
Aku menghela napas, memang beberapa hari ini penglihatanku terasa semakin parah. Apalagi saat malam hari, mau dari dekat atau dari jauh, pandanganku tetap saja rabun, buram seperti perasaanku yang menerawang pahitnya masa depan.