Olm: Osa si Salamander

Naufal Wichaksana Hardiwinata
Chapter #3

Olm

Seminggu setelah kejadian dramatis itu berlalu, aku mulai berubah. Mulai dari sifat, perilaku, bahkan keceriaanku hilang. Pohon beringin belakang rumah yang biasanya hampir setiap bangun tidur aku lamunin, kini tidak pernah lagi kupandang setiap pagi. Seolah aku benci warna. Padahal hatiku yang tidak siap untuk tak melihat warna suatu hari nanti. Warna gelap yang kutakutkan akan menjadi warna yang selalu mengisi hariku nantinya. Aku masih tidak menyangka.

Pagi itu aku masih di dalam kamar. Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut putih tebal selaras dengan warna sprei kasur. Mataku masih bengkak. Kadang air mata mengalir dari kelopak sembari melamun masa depan nanti. Karena sudah pasti, kebutaan akan terjadi. Itu sebabnya aku tidak suka dengan ramalan masa depan. Bagiku takdir itu misterius, sulit untuk ditebak, agar orang tidak berburuk sangka pada takdir dan tinggi hati padanya.

Tok-tok-tok

Aku mendengar suara ketukkan pintu kamar yang sedikit meredam karena posisiku yang sedang dalam dekapan selimut. Kemudian suara seseorang menyertainya. "Nak, bangun. Udah siang, nih." Udah jelas itu Papa. Dia mengacaukan keheningan.

Dengan malas dan sedikit kesal, aku bangkit dari tempat tidur dan mendekat ke pintu kamar yang permukaannya tertempel huruf balok kayu berbentuk namaku di sana. Jalanku masih sempoyongan, lalu kubuka pintunya perlahan.

"SURPRISE! " Eh, bukan hanya Papa yang ada di balik pintu, ternyata mereka datang. Aku melihat siapa yang ada dihadapanku. Ternyata mereka adalah Alma, Aisyah, dan Agra. Mereka adalah teman SMA-ku yang sudah beberapa bulan tidak bertemu semenjak lulus sekolah. Alma dan Aisyah anak kota, rumahnya jauh dari puncak. Sedangkan Agra, dia anak puncak, sama denganku. Namun dia anak rumahan, jadi jarang ketemu.

"Loh? Kok kalian ada di sini?" tanyaku ambigu dengan muka bantal serta pajamas ungu yang kusut. Rambutku yang hanya sebahu tampak berantakan bagai sapu ijuk yang gimbal.

"Nah, heran kan lo. Kita ... gituloh," seru Alma mencairkan suasana pagi yang sendu. Menurutku dari dulu dia memang heboh orangnya. Sampai sekarang tetap saja sama. Dengan giginya yang dipagar serta senyumnya hingga kelihatan gusi, pasti semua orang bakal tahu sifat orang ini. Rambutnya masih tergurai ikal sepinggul serta kulitnya yang putih membuat aku kadang iri sama orang model begini.

"Osa, sayangku. Ini kami bawain kue vegetarian sama ada juga pizza daging asap kesukaan elo. Habisnya kami bingung mau beliin lo apa. Lo kan pemakan segala. Hihihi," sambung Aisyah sembari menyodorkan banyak makanan ke aku. Kalau tadi aku iri dengan kecantikan Alma, sekarang aku iri oleh Aisyah yang dari dulu sifatnya baik sekali. Dia humble, juga setia kawan. Kerudung hitamnya yang menutupi badan sudah jelas menggambarkannya sebagai wanita muslimah yang baik. Ditambah bros putihnya yang mengkilap menancap anggun di dada kirinya semakin membuat Aisyah lebih rupawan.

"Gue gak bawa banyak. Nih, kompas, biar lo ngerti jalan pulang," sergah Agra datar saja sambil memberikan sebuah kompas berwarna perak padaku. Agra memang berbeda dari yang lain orangnya. Dia pemegang win strike juara kelas tiga kali berturut-turut di sekolah. Tapi dia anak IPA dulunya. Tidak sekelas denganku. Agra memang tampilanya nolep. Terbukti dengan model rambut Bowl Cut dengan OED (Outfit Every Day) sederhananya yang hampir setiap hari digunakan—Sweater. Matanya tajam, kalau sudah melirik pasti aku salah tingkah. Dia ngeselin. Kadang juga sok logis orangnya.

Mereka pun aku persilakan masuk ke dalam kamar. Ya, namanya anak cewe pasti nongkrongnya di kamar. Eh, si Agra malah ikut.

Aku ambil beberapa buah piring dan berbagai jus buah yang kubawa dari dapur. Aisyah dan Alma ikut membantu membawa gelas. Sedangkan Agra malah gantiin posisiku duduk di kosen jendela kamar sambil meratapi pohon beringin belakang rumah.

"Gue udah denger dari bokap lo soal kondisi mata lo. Kalem aja sih, Sa. Jangan dibawa ke pikiran. Setahu gue, lo kan ceria orangnya. Kita gila bareng juga. Please, jangan depresi dulu." Alma membuka pembicaraan sambil menuangkan jus apel dalam gelasnya. Alisnya yang hitam pekat—karena digambar dengan pensil alis—tampak melengkung jelas.

Aisyah yang sedang memotong kue vegetarian yang berwarna hijau juga ikut menyemangatiku dengan berkata, "Bener banget itu, Sa. Lo gak boleh berpikir gitu. Iman lo yang harusnya dikuatin buat menghadapi ini semua. Ini tantangan, bukan siksaan." Kata-kata yang dilontarkan Aisyah mengena dalam sanubariku.

Aku yang mendengar motivasi dari mereka hanya termenung menatap kosong ke depan—menatap ke arah mereka yang juga duduk di lantai kamar bersama. Mulai sadar. Tapi pikiranku kembali teralihkan dengan kata-kata dokter semalam. Suatu saat nanti, mataku hanya sekedar hiasan.

"Tapi ... suatu saat nanti gue gak bakal bisa lihat kalian lagi. Gue juga gak bisa ngelihat dunia lagi," gumamku pelan sembari mengaduk jus beri dalam gelas menggunakan telunjuk kanan.

"Melihat itu jangan cuma dari mata. Manusia punya hati, punya perasaan, juga punya kepekaan. Gue yakin lo bisa survive di kondisi baru lo nantinya." Lagi-lagi Aisyah membuyarkan pikiran jelekku.

"Iya bener tuh kata Aisyah," sambung Alma menyetujui pembicaraan Aisyah.

Pembicaraan menyerempet ke mana-mana. Pembahasan mengenai penglihatanku perlahan teralihkan dengan hebohnya obrolan kami—emak-emak rempong—yang membahas soal kakak kelas sewaktu sekolah yang jadi idaman saat itu. Kami bertiga tersenyum, tertawa, bahkan sama-sama gila. Sedangkan Agra memilih untuk keluar kamarku dan berteduh di bawah rimbunnya pohon beringin yang dikelilingi oleh rerumputan hijau. Tangannya seperti mengukir sesuatu di batang pohon gahar itu. Entah ngapain dia, mungkin jadi Isaac Newton sang pencetus Teori Gravitasi.

"Eh, itu si Agra ngapain di pohon?" tanya Aisyah padaku sembari menunjuk ke arah Agra yang masih duduk bersandar pada batang pohon.

Lihat selengkapnya