Olm: Osa si Salamander

Naufal Wichaksana Hardiwinata
Chapter #5

Merealisasikan Harapan

 

Seminggu berlalu. Waktu yang lama kutunggu untuk segera berangkat traveling akhirnya pun tiba. Pagi itu sangat bercahaya, pepohonan dan berbagai macam tumbuhan hijau bersinar layaknya batu zamrud yang menawan. Cahaya yang menyehatkan hinggap di permukaan tubuh para pejuang pagi yang sedang sibuk berolahraga untuk meningkatkan kesehatan. Ada juga para pekerja yang sudah mulai beraktivitas demi seberkah rezeki yang tak mau disia-siakan. Untuk para kaum rebahan, mereka sedang mengeram telur di sarangnya.

Sedangkan aku yang semalaman tidak bisa tidur, sedang sibuk membenahi barang bawaan untuk traveling. Koper hijau besar kuisi dengan berbagai macam kebutuhan hidup. Mulai pakaian, peralatan kebersihan, hingga obat-obatan kutata rapi di dalamnya.

Untuk tas hitam besar khusus traveling, aku isi dengan peralatan elektronik seperti laptop, charger, dan headshet. Hari itu aku menggunakan setelan khas anak traveling. Kaos putih polos dibalut dengan jaket dan celana denim menutup tubuhku yang tidak seberapa tinggi. Sepatu sport abu-abu bercampur merah muda aku selaraskan. Gak lupa topi kupluk abu-abu aku hiasi kepalaku.

Aku akan segera berangkat menuju Provinsi Papua Barat, Indonesa. Bersama Agra, Alma, Aisyah, dan tidak lupa si Petualang Raka juga kuajak untuk mengeksplor Timur Indonesia. Rasa tidak sabar terus menghantui diriku yang sedari tadi mondar-mandir menunggu kedatangan mereka. Padahal, pesawat akan berangkat pada pukul 2 siang. Masih lumayan lama.

Ketika sedang duduk di teras depan rumah sambil menulis daftar harapan yang ingin kuwujudkan, tiba-tiba saja kekacauan menghampiri.

"HALLO MY OSA!!!!suara pekikan kencang si cempreng Alma memecah gendang telinga.

"Asalamualaikum ...," sambung Aisyah mengucap salam dan menghampiriku.

"Walaikumsalam ...," jawabku pada salam Aisyah. Sedangkan Alma tidak kugubris.

Mereka berdua sudah datang ke rumahku untuk menunggu keberangkatan. Alma dengan OOTD serba pink dan ungu membuat tampilannya semakin norak. Kupluk model rasta berwarna lila hinggap di atas kepalanya dengan rambut hitam panjang dan bergelombang. Kaos merah muda dengan kemeja luar berwarna ungu menutupi tubuhnya yang semampai. Tak lupa bawahan celana denim ungu juga sepatu sport merah muda memadukan tampilan badut kota itu. Tampilannya norak, sesuai sifatnya.

Sedangkan Aisyah menggunakan sepatu sport hitam, gamis khusus traveling berwarna hijau tua yang selaras dengan hijabnya—membungkus tubuh Aisyah yang membuatnya anggun. Topi model bucket berwarna hitam menghiasi kepalanya. Ia muslimah sejati.

Masing-masing dari mereka hanya membawa satu tas besar untuk traveling. Lain halnya denganku yang repot bawa ini-itu, soalnya Papa terlalu protective sama kondisiku.

"Nunggu siapa lagi kita, nih?" tanya Alma padaku yang juga tampak bersemangat sambil mengunyah permen karet dalam mulutnya yang selebar gua.

"Sebentar, kita nunggu Agra sama temenku Raka. Soalnya Raka tahu banyak tempat. Masa lo gak tahu siapa aja yang ikut? Aneh, udah dikasih tahu padahal," jawabku sinis sambil meliuk-liukkan mata menyindir Alma.

Aisyah mengangkat tangan kanannya. Ia menoleh ke arah jam tangan hijau yang menghiasi pergelangan tangan gadis buah zaitun itu—sebab, warna kulitnya coklat keemasan bak buah zaitun. "Udah jam 11:30, apa sempat kita ke bandara? Takutnya kita ketinggalan pesawat, Sa." Tanya Aisyah mulai khawatir.

Aku hanya menghela napas melihat Agra dan Raka yang tidak tepat waktu, padahal mereka berdua itu laki-laki. Berulang kali aku mondar-mandir di teras rumah yang perabotannya serba kayu. Kacamata hitam yang tertancap melindungi mata, sesekali kuperbaiki posisinya karena longgar. Mulutku mendecak kesal karena mereka berdua.

Dan akhirnya, Raka pun tiba dengan berlari terengah-engah. Tampak keringat bercucuran di dahi coklat mukanya. Kedua tangannya yang menggenggam tas abu-abu besar terlihat gemetar.

"Ma-maafkan aku datang terlambat, soalnya tadi dari kebun buah papa kamu, Sa," tutur Raka dengan nada gemetar dan tampak kelelahan.

"Ok-ok. Sekarang, mana si Nolep Agra? Jangan bilang dia lagi nemplok di kosen jendelaku, ya," aku menggerutu semakin membuat dongkol suasana.

Tiba-tiba Papa keluar dari rumah yang hari itu akan mengantarku dan teman-teman untuk pergi menuju bandara. "Sa, yuk, kita berangkat," ucapnya sambil memegang kunci mobil.

"Bentar, Pa. Agra belum dateng, entah ke mana dia."

"Hah? Bukannya Agra udah dari tadi di sini, ya?"

"Hah!?" Aku plonga-plongo tidak mengerti apa yang Papa maksud.

Entah aku yang terlalu bodoh atau dia yang tidak bisa ditebak, yang jelas, secara tidak terduga si Agra ikut keluar dari rumah dengan membawa tas biru tua di punggungnya.

"Ayo kita berangkat," katanya datar.

"Eh! Lo dari mana aja? Kok tiba-tiba udah di dalem rumah gue?" tanyaku ambigu padanya.

Sambil berjalan menuju garasi, Papa berkata, "Loh, kan dari pagi memang Agra udah di sini, kamu aja yang gak sadar."

Tidak tahu. Aku hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah laku anak itu. Aneh, kan? Bisa-bisanya dia datang ke rumah tanpa sepengetahuanku. Aku harap, aku tidak salah pergaulan. Berteman dengan makhluk yang tidak jelas apa jenisnya. Semoga dia manusia biasa.

Walaupun masih terkejut terheran-heran, tapi mau tidak mau kami harus segera bergegas ke bandara. Papa yang sudah memanaskan mobil, menghampiri kami yang menunggu di teras depan rumah sambil membunyikan klakson. Aku duduk di depan kursi penumpang bersebelahan dengan Papa, Alma dan Aisyah duduk di kursi tengah mobil, sedangkan Agra dan Raka duduk di belakang berdua. Perjalanan kami tempuh, harapan yang kucita-citakan segera utuh.

~~~~~

Akhirnya kami sampai di bandar penerbangan. Setengah jam sebelum keberangkatan, untungnya kami sudah tiba duluan. Papa memarkirkan mobilnya dan ikut turun bersama untuk menunggu keberangkatan.

Aku dan yang lainnya menunggu di lobi bandara. Rasa semangat menggebu-gebu dalam benak. Udah sangat lama sekali aku tidak pergi keluar kota, terakhir mungkin 10 tahun lalu.

Sembari menunggu, Alma tampak menggeser-geser gawainya sambil nyengar-nyengir tidak jelas, giginya menggertak mengunyah permen karet dalam mulut. Aisyah sedang memegang Al-Qur'an model pocket bersampul coklat, matanya tertuju pada karya sastra Tuhan itu dengan hikmat. Raka sibuk plonga-plongo melihat sekeliling bandara. Wajar saja, dia belum pernah bepergian dengan pesawat, hanya kereta dan kapal yang biasa ia tumpangi untuk menjelajah Indonesia. Untuk Agra, dia tenang bersandar di pilar bandara dengan earpod tertancap pada kuping.

Aku yang berada di dekat Papa sedang memperhatikan dirinya berbicara, menasihati, dan memberi arahan.

"Sa, hari ini papa percayain kamu buat bepergian jauh untuk mewujudkan harapanmu. Papa harap, kamu jangan banyak ngeluh lagi ke depannya. Jangan nyari masalah, jangan bepergian sendiri, dan kalau bisa malam hari jangan ke mana-mana," tutur Papa menasihatiku dengan penuh harap. Wajah cemasnya terlihat dari raut. Aku mengangguk menandakan mengerti.

"Kejadian di mana kamu didiagnosis mengidap glaukoma bukanlah hal buruk. Tapi ketika kamu mantap melangkah keluar rumah dengan harapan yang kamu jadikan cita-cita saat ini, di situlah segalanya bisa terjadi. Baik, juga buruk," sambung Papa lebih dalam menasihati. Aku kembali mengangguk, menatap matanya yang penuh harap padaku.

Sepuluh menit sebelum keberangkatan, kami berkumpul untuk segera menuju gate pesawat. Papa kembali memberi nasihat, kini untuk teman-temanku.

"Alma, Aisyah, om minta tolong kalian temenin Osa selama traveling ini. Kalian teman dekatnya sejak sekolah, jadi om percayain sama kalian berdua, ya," nasihat Papa pada mereka berdua. Keduanya mengangguk sambil tersenyum tulus.

"Buat kalian berdua, Agra dan Raka. Om minta tolong jagain Osa selama perjalanan. Kalian tahu kan, Osa punya masalah pada penglihatannya. Jadi om harap kalian sebagai laki-laki bisa menjaga amanah om ini. Ingat! Osa itu perempuan, jangan buat dia nangis." Papa kembali memberi nasihat pada Agra dan Raka. Mereka berdua mengangguk paham.

"Ok, Om. Pasti!" ucap Raka pasti. Agra hanya diam.

Hari itu, aku melangkah keluar dari zona nyamanku untuk mewujudkan harapan yang kujadikan cita-cita, kuwujudkan dengan cinta, dan membidik semesta. Bersama Alma, Aisyah, Agra, dan Raka, aku wujudkan mimpiku menuju Timur Nusantara. Menuju Papua. 

~~~~~

Waktu yang telah kami tempuh dalam perjalanan dari Jakarta menuju Kota Sorong, Papua Barat selama kurang lebih 4 jam. Dan akhirnya sebentar lagi kami tiba di ujung Timur Indonesia.  Masa sudah menunjukkan pukul 18:00. Langit mulai tampak gelap untuk melihat Negeri Cendrawasih itu. Aku tidak tidur karena tidak sabar, sedangkan Alma, Aisyah, dan Raka tertidur lelap dalam cabine. Untuk Agra, ia asyik membaca buku tebal mengenai Papua. Anak itu tampak fokus di belakangku dengan tatapannya yang tajam memandang tumpukan tulisan itu.

Aku duduk bersebelahan dengan orang asing, tidak tahu dia siapa. Raka dan Agra duduk berdampingan berdua di cabine belakangku, sedangkan Alma dan Aisyah berdua duduk di cabine tengah sebelah kanan.

"UDAH NYAMPE!!!" jeritku bahagia memecah keheningan dalam pesawat.

Tampak penumpang lain terkejut dengan jeritanku, tidak terkecuali Alma, Aisyah, Raka, bahkan Agra terlihat terkejut dan menjatuhkan bukunya.

"SSSTTTT ...!!!" bisik penumpang di sebelahku yang merasa terganggu.

"Hehehe ..., sorry," 

"Bising banget lo, Sa," protes Alma terbangun.

Aisyah menggeleng saja, sukmanya belum menyatu dengan raga.

"Belum nyampe, masih mau landing, woy!" tegur Agra jengkel. Sebetulnya, pesawat masih berada di atas angsana, menginjakkan daratan saja belum.

Pesawat pun menukik beberapa derejat ke arah tanah untuk mendaratkan tubuhnya di Bumi Timur. Raka yang baru terbangun, terkejut dengan keadaan saat itu. Wajahnya pucat gemetar tidak karuan, bibirnya komat-kamit panik.

"Loh ... loh ..., kok begini pesawatnya, Sa?" tanyanya heboh kepadaku yang sedang berdiri di lorong cabine saat sedang pendaratan.

"Pesawat lagi mendarat, norak lo!" Belum sempat aku menjawab, Agra sudah menjawab kepanikan Raka dengan ketus. Tidak biasanya Agra bersikap seperti itu.

Lihat selengkapnya