Olm: Osa si Salamander

Naufal Wichaksana Hardiwinata
Chapter #6

Perasaan lebih dari Teman

Mentari pagi masih bertengger di indahnya negeri Timur. Untaiannya menyinari segala macam objek yang ada di bumi, menghangatkannya, kemudian memberi manfaat darinya. Sinar ultraviolet yang hinggap di permukaan kulit kuning langsatku membuat gerah tubuh-mengubah panasnya menjadi vitamin D yang akan bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Dulu sewaktu aku masih kelas 2-3 SD, ketika hari libur Papa selalu ingatkan aku untuk selalu keluar rumah ketika pagi hari tiba. Papa juga selalu mengajakku menjelajah perkebunannya ketika pagi tiba. Mungkin dari situlah awal mula aku menyukai alam-walau terkadang alam sedikit menyebalkan. 

Di pagi yang cerah ini, aku sudah bersiap-siap dengan setelan baju kaos putih dengan hiasan teks sablon berwarna hijau bertuliskan "Me and My Nature" . Gak lupa celana jins biru bercampur abu-abu nge-press dari pinggang hingga pergelangan kaki. Sepatu kets hijau muda dengan lis putih bermerk Nike membungkus kaki. Entah kenapa, OOTD simple seperti ini menjadi setelan favorit aku ketika ingin berpergian. Gak suka yang macam-macam.

Kududukkan bokong teposku di atas kursi santai yang terpajang di samping halaman hotel sambil berjemur di pagi hari. Mataku yang akan menjadi hiasan nantinya kututupi dengan kacamata coklat yang menghalang serangan sinar matahari berbahaya jika terkena mata. Sesekali kuangkat tangan kananku dan menghadapkan wajah oval dan menatap ke arahnya yang bermaksud mengecek waktu. Waktu menunjukkan pukul 8:15 WIT, masih setengah jam lagi untukku dan teman-teman mempersiapkan diri sebelum perjalanan ke pelabuhan berlangsung.

Ketika aku sedang sibuk mendalami isi pikiran sendiri, terdengar suara hentakkan sendal yang menapakki jalanan mewah halaman hotel. Ritme hentakkan konstan, perlahan namun semakin terdengar mendekat ke arahku. Kuarahkan pandanganku ke kiri melihat seseorang yang gak asing lagi olehku, dia Raka. Tampak setelan baju pantai berwarna merah dengan corak bunga-bunga berwarna putih bertebaran terhempas angin. Dua kancing atasnya terbuka, memperlihatkan dada busung eksotis Raka dengan tahi lalat tertempel di sana. Celana pendek putih dengan sendal hotel menghiasi bawahan Pemuda Puncak itu. Rambutnya yang kering ikal namun lemas tampak berterbangan mengikuti alunan angin pagi. 

Ia menatapku silau, tersenyum ke arahku sambil memperlihatkan lesung pipitnya. "Udah dari tadi,Sa?" tanyanya sambil menundukkan pandangan padaku yang sedang duduk di kursi panjang tempat itu. 

"Lumayan, lah," jawabku singkat sembari menebar senyum kecil padanya. Kepalaku menengadah ke arahnya dan menatapnya dengan kacamata hitamku. Sejenak kami berdiam, kemudian sepersekian detik ia melanjut, "Boleh aku duduk?"

Aku hanya mengangguk, menepuk-nepuk tangan kiriku ke arah kursi kayu yang mengilat karena pernis, memberi isyarat padanya untuk duduk. Dengan senag hati dia tempatkan tubuhnya bersebelahan denganku yang hanya dipisah oleh kekosongan 5-6 senti saja. 

"Jadi ... bagaimana kondisi mata kamu?" Seperti biasa, tutur kata anak puncak yang terkenal lembut tanpa campuran bahsa gaul digunakan oleh Raka. Walau tutur katanya lembut, tapi nada suara yang ia keluarkan tegas. Ngebas.

Aku merubah posisi dudukku, menempatkan kedua tangan ke arah sisi kosong di antara kedua pahaku, lalu menjawab, "Hmm ... ok, lah. Masih sama kayak pertama aku didiagnosis. Masih suka sempoyongan kalo malam." 

"Kamu gak usah takut hal seperti itu."

"Bener kata lo. Gue juga udah terbiasa."

"Pokoknya aku janji, Sa. Kamu bakal kujaga seperti apa pun keadaannya. Karena aku temen kamu dari kecil, aku yang lebih tahu isi hatimu. Aku bakal jadi teman baikmu." Aku mengangguk paham, kemudian membuang pandangan ke depan-kembali menatap kosong.

Pagi itu, disaksikan oleh angsana sepoi, oleh mentari yang menyinari, dan pepohonan hijau yang menumbuhi daunya, Raka mengucap janji. Janji untuk selalu melindungiku bagaimana pun keadaannya. Janji akan menjadi teman baikku. Hanya itu.

Kami kembali berdiam diri, mendalami sanubari, dan mulai sibuk oleh pikiran hati. 

Dalam diam nan senyap itu, kembali terdengar hiruk-pikuk suara gesekkan rumput yang menghiasi pekarangan hotel. Kemudian suara gesekkan rumput berubah menjadi suara hentakkan sepatu ke tanah. Sontak aku menolehkan kepala memandang belakang, melihat pria soft boy dengan OED (Outfite Every Day) yang itu-itu aja-yang dengan santainya melewati kami.

Pandangannya lurus ke depan, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke kantung baju model hoodie-nya yang berwarna hitam bertuliskan "Thinker". Celana model chino bersesuaian dengan warna sepatu yang ia kenakan, abu-abu.

"Eh, lo mau ke mana?" tegurku sambil tetap menolehkan kepalaku ke arahnya. Beberapa detik dia gak menjawab, malah melanjutkan perjalanan dengan santainya. 

"Woy! Jawab!" terusku dengan nada ngegas padanya yang seolah mengacangin pertanyaanku. Padahal dia belum ngomong, tapi udah bikin kesel aja.

"Kalo lo masih diem di situ, gak bakal kita nyampe ke tujuan," jawabnya sambil berjalan menuju halaman depan hotel.

Sejenak aku bingung, kemudian Raka menimpal, "Udah jam 08:30, kayaknya kita harus segera ke pelabuhan." Aku terkejut, beranjak dari tempat duduk, dan meningggalkan Raka di sana. 

Seolah mati dikejar waktu, aku berlari menuju kamar untuk membenahi barang bawaanku di sana. Wajah panik tegambar dengan air wajah yang mulai tumbuh di sekitar dahi. Namun di tengah perjalanan, aku bertemu dengan Alma dan Aisyah yang sudah menenteng tas dan koperku di pintu hotel.

"Udah gue bawain nih perkakas lo." sergah Alma sambil menahan tanganku yang sibuk berlari. Aku terhenti, melihat Alma dan Aisyah yang juga sudah bersiap-siap.

"Gue udah check out kamar kita dan kamar Agra. Sekarang kita tinggal tunggu taksi aja buat ke pelabuhan," sambung Aisyah sembari menggendong tas bawaannya yang di gantung di kedua pundaknya di dada.

Aku mengambil alih tas dan koperku dari tangan Alma-lalu bersama mereka, kami pergi meninggalkan hotel dan langsung menuju halaman depan tempat itu.

Sesampainya di halaman depan hotel yang menghadap langsung dengan jalan raya, Alma terlihat sibuk menentukan titik jemput dari taksi online yang ia pesan melalui HP-nya. 

"Dapet! Swiss-Belhotel Sorong," seru Alma yang sudah menemukan titik jemput bagai menemukan uang gopek di tengah jalan. Bajunya yang selalu nyentrik dengan warna cerah membuat banyak orang yang lewat melirik padanya. Alma berdiri di pinggir jalan dengan lenggok tubuh bak model internasional. Dari dulu kalau ditanya cita-cita oleh guru sewaktu SMA, Alma pasti menjawab "Ingin menjadi model, Buk", atau terjun di dunia entertainment. Walaupun aku kurang suka sama gayanya yang nyentrik bagai badut jalanan, tapi dia seolah gak peduli dengan penilaian aku. Pasti selalu konsisten dengan keinginannya itu-sekalipun banyak orang mencercah gayanya. 

Di sampingku duduk wanita muslimah yang rupawan sedang sibuk bersenandung selawat memuji-muji junjungan umat muslim dunia, Nabi Muhammad SAW. Bibirnya komat-kamit sambil memangku tas hijau daun sambil memeluknya. Aku ingat, ketika pertama kali masuk di SMA, waktu itu ketika hendak pulang sekolah, aku dan murid yang lain menyalami Pak Yanto selaku guru terakhir pelajaran penjas hari itu. namun Aisyah gak mau, malah menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada dan menolak bersalaman dan sangat jarang bicara dengan Pak Yanto. Sampai-sampai Pak Yanto mengira Aisyah itu sombong. Pada saat itulah ketika pelajaran olahraga, Pak Yanto seolah gak memedulikan Aisyah yang bersikap Islami. 

Teringat juga pada suatu ketika ada perlombaan tilawah al Quran di sekolah-dan di hari itu pertama kalinya Aisyah mengeluarkan talenta dan suara merdunya lewat karya sastra Tuhan itu. Suaranya menggelegar sampai-sampai banyak yang terharu. Pak Yanto nangis tersendu-sendu mendengar lantunan ayat yang dibacakan Aisyah. Mungkin dia baru paham pergaulan Aisyah.

Pria itu jongkok di pinggir jalan bersebelahan dengan tiang lampu jalan. Raka, si Anak Desa yang tampak pekerja keras membuatku paham arti realita sesungguhnya darinya. Dia selalu menekuni hobinya dari masa SD dulu, yaitu berdagang. Bahkan sejak kelas empat SD, dirinya sudah berani berjualan gorengan ke sekolah untuk ditawari pada guru dan teman-temannya, termasuk aku. Masih terngiang-ngiang sorakkannya waktu mempromosikan dagangan pada orang sekolah, "Gorengan ... gorengan .... Makan lima jangan harap bisa bayar dua", hahaha ... kira-kira begitulah.

Sedangkan Agra, masih duduk bersilang kaki sambil menopang dagu dengan tangan kanannya. Mungkin dia berteori dalam pikir. Aku gak punya banyak kenangan dengannya, yang jelas, dialah murid yang paling keras kepala di SMA. Seingetku, waktu ada olimpiade khusus di sekolah, dia pernah berdebat dengan guru yang juga menjadi juri kala itu-karena dituduh salah menjawab pertanyaan dari mereka. Perdebatan sengit terjadi di antara dirinya seorang dengan banyak guru yang menghakiminya. Dan akhirnya perdebatan dimenangkan oleh Agra setelah searching di Google soal pertanyaan mengenai sejarah Majapahit. Para guru malu tak terkira kala itu hanya dengan seorang murid yang jago berteori. Kami bersorak kagum padanya. Namun wajahnya datar saja walau dipuji.

Tanpa kusadari, ternyata taksi sudah tiba di hadapan. Seperti formasi sebelumnya, Raka duduk di kursi depan sebelah supir, aku, Alma, dan Aisyah duduk di kursi tengah bertiga. Sedangkan Agra menyendiri di belakang. Perjalanan menuju ke pelabuhan kami langsungkan. Gas ditancapkan supir dan setir dikendalikannya sesuai arah. Melintas jalan menerpa angin. Brrrmm....

~~~~~

Pemandangan beralih dari banyaknya bangunan sipil berganti latar menjadi hamparan laut yang mempesona berwarna biru berlian. Terlihat juga jejeran kapal boat berwarna putih yang terparkir di pinggiran daratan tempat kami menginjak. Angin lalu-lalang menerpa panasnya hari itu. Sampailah kami di pelabuhan Sorong.

Taksi meninggalkan kami berlima di tempat itu untuk menjemput tumpangan selanjutnya. Secara bersamaan pula mata kami kriep-kriep karena teriknya mentari serta embusan angin yang tak terkendali. Agra menutup kepalanya dengan topi yang melengkapi hoodie-nya. Alma mengenakan topi rasta yang ia bawa, begitupun Aisyah yang menggunakan topi model bucket yang menutup hijab. Raka juga ikut melindungi kepalanya dengan topi biasa atau model topi baseball berwarna merah menyelaraskan baju. 

PUK! Dari belakang seseorang memasangkan topi model floopy berwarna krem dengan pita hijau mengelilingi bulatnya topi ke atas kepalaku. Aku terkejut dan langsung berbalik pandang. Ternyata Agra, ia membuka tas miliknya. Kayaknya dia yang kasih.

"Gra, lo punya topi beginian?" tanyaku sambil memegang ujung topi itu sambil meraba teksturnya.

"Dapet dari hotel, itu merchandaise," jawabnya datar yang kemudian beralih pandang ke bentangan lautan di hadapan.

"Btw, makasih, ya." Aku berterima kasih padanya sambil menebar senyum. Dia datar saja.

Kami bergegas menuju tempat kapal berlabuh, di sana banyak para penjaga yang siap melayani perjalanan menuju Kepulauan Raja Ampat. Tampak juga para penumpang lain yang sudah lebih dulu berlayar di tengah teriknya hari itu.

"Pak, kami mau trip ke Pulau Missol. Bisakah kami menyewa jasa kapal untuk ke sana?" tanya Raka kepada seorang pria yang umurnya kisaran 40 tahun. Dengan napas terengah-engah karena panasnya hari itu, ia menjawab pertanyaan Raka di atas kapal yang bergoyang karena gelombang kecil ombak, "Boleh, ada dua pilihan untuk menuju sana," pria itu menaikki dipan kayu yang menjadi pembatas daratan dengan lautan-kemudian berdiri berhadapan dengan kami dan melanjutkan, "Pertama ada kapal lambat, kisaran waktu tempuh 4 jam. Perorangnya 100.000 rupiah. Untuk kapal cepat, waktu tempuh 

2 jam dengan perorangnya 130.000 rupiah.

Raka mengangguk paham, kemudian dia menoleh kebelakang-ke arahku yang sedang mendengarkan pembicaraan. 

"Mau yang mana? Cepat atau lambat?" tawar Raka padaku.

"Yang cepet aja, biar cepet nyampe," jawabku singkat ingin cepat-cepat berangkat. Agra, Alma, dan Aisyah terlihat mengerutkan mata mencoba menghalang silaunya matahari. Wajah putih Agra memerah oleh panas, sedangkan Alma terlindungi oleh pondasi make-up. 

Dengan persetujuanku, akhirnya kami berangkat menuju Pulau Misool dengan menaikki kapal boat yang dipandu oleh dua penjaga dan seorang nakhkoda kapal yang menuntun kami ke tujuan. Kapal berlayar.

~~~~~

Trip pertama di Raja Ampat kami tujukan ke Pulau Missol, pulau pertama yang direkomendasi Raka untuk kami kunjungi. Dalam perjalanan, beberapa kali kuputar tubuhku menyisiri birunya lautan yang membentang bak sprei yang dikibaskan. Kilauan biru berlian bercampur dengan elegannya warna hijau zamrud-menjadikan tempat ini ramai dikunjungi turis lokal juga mancanegara.

"WOOAAAHHH ...." Mulutku gak bisa mingkem melihat pemandangan sekitar dari atas kapal yang kami tumpangi. Angin lalu-lalang berembus lembut dari segala penjuru. Topi floopy  krim yang kugunakan hampir saja terbang-namun masih sempat kutahan dengan kedua tangan. 

Pulau-pulau kecil mulai kelihatan dari kejauhan. Menyembul-nyembul ke arah langit membentuk bebatuan terjal. Gak lupa di pinggir bebatuan pulau itu tumbuh berbagai macam tumbuhan hijau. Kapal yang kami tumpangi berkelok, menghindari bebatuan yang membentuk tebing. 

"WUUEEKK ...." Aku menoleh ke belakang, menatap Alma yang duduk sambil menahan sesuatu di mulutnya. Benar saja, bagai CocaCola dicampur permen Mentos  yang kemudian dikocok, Alma muntah di dalam kantung plastik kresek berwarna hitam yang Aisyah genggam.

"Lo napa?" tanyaku yang sebenarnya udah tahu kenapa. Aku nyengir sambil sesekali memperbaiki kacamata hitam yang kugunakan longgar posisi.

"Mabuk laut." Aisyah mengelus-elus tengkuk hingga punggung Badut Kota Alma dengan tangan kanannya. Sedangkan Agra yang duduk sedikit memojok dengan mereka mulai mengusuk-ngusuk kepalanya. Sudah dua kali ia menyaksikan persalinan asam lambung itu dalam waktu dekat ini. 

Semenit kemudian, aku duduk bersebelahan dengan Agra yang dengan santainya menyaksikan pemandangan lautan di bawah atap kapal yang teduh. Sejenak suasana menjadi tenang karena kapal melaju lurus tanpa belokkan. 

Alma yang katanya ingin berfoto ria di atas kapal malah tepar di pangkuan Aisyah yang untungnya penyabar. Raka sibuk berkacak pinggang berdiri di pinggiran kapal dan merelakan kulitnya dibakar sinar matahari begitu saja. Sedangkan aku masih duduk di sebelah Agra, berharap ia membuka pembicaraan denganku, namun tak kunjung peka. 

"Gra ...." Akhirnya kesabaranku habis, aku duluan yang membuka pembicaraan dengannya.

"Hmm ...."

"Lo suka pemandangannya?"

"Iya."

"Terus, kenapa lo jarang keluar rumah? Kan pemandangan luar lebih bagus dibanding rumah?" tanyaku sambil meneroboskan kepala ke hadapannya. Berharap diperhatikan.

"Ada hal yang gak lo tahu."

Lihat selengkapnya