Oma Hiroshima

Nurinwa Ki. S Hendrowinoto
Chapter #1

CHAPTER I - HIROSHIMA, HAPPY NEW YEAR

Namanya Hiroshima, nama keramat pemberian bapaknya tentara Jepang. Tapi Mama adalah nama panggilan semasa kecil dan menjadi nama kesayangan keluarga, suami, dan sahabat. Dan sekarang setelah berumur nama kesayangan itu berubah menjadi Oma Mama. Empat puluh hari yang lalu sebelum tahun baru Oma Mama tersentak bangun. Terjaga. Dirinya tidak dapat membedakan apakah sentakan itu mimpi, inspirasi, dawuh, wangsit atau mungkin juga wisik dari para Dewa. Bahkan siapa tahu itu wahyu dari Malaikat. Yang jelas dari sentakan bangun tidur empat puluh hari yang lalu direnungkan serta ditindaklanjutinya. Dalam sentakan getar saat tidur, Oma Mama seolah mendengar suara yang memintanya agar datang ke Yerusalem untuk bertemu Bapak Ibu dan tiga orang suaminya yang telah hilang. Selama hidupnya baru pertama kali dirinya mendengar suara gaib yang mencekam serta membuatnya tersentak bangun. Dirinya juga telah berusaha bertanya kepada beberapa orang sahabat dan semuanya menyarankan mengikuti suara mimpi itu. Saran itupun belum menjadi keyakinannya dan mencoba bertanya kepada Kiai, Pastur, Bedande, Biksu juga tokoh spiritual yang dituakan, jawabnya sama. Semua mengharapkan mengikuti suara gaib dalam sentakan itu. Dan Oma Mama pun mengikuti saran serta petunjuknya.  

          Di pagi subuh ini dirinya terjaga. Tidak ada mimpi, inspirasi, dawuh, wangsit, wisik, wahyu atau suara yang menyentakkan tidurnya. Oma Mama sadar bahwa hari ini adalah hari terakhir menyongsong Tahun Baru 2018. Dirinya mencoba merenung. Perlahan-lahan membayangkan kembali tour ke Yerusalem dua belas hari dari tempat tidurnya di pulau mungil  mirip gunungan wayang kulit miliknya. Diingatnya dalam-dalam perjalanan ke kota suci tiga agama bagi umat Yahudi, Kristiani dan Islam. Di dalam wilayah Kristen terdapat Gereja Makam Kudus, tempat perjalanan, penyaliban, kematian dan kebangkitan Yesus. Di wilayah Islam Masjid al Aqsa sempat didatanginya mengingat masjid itu merupakan tempat suci ketiga setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah, selain itu diyakini umat Islam bahwa Nabi Muhammad sholat di masjid itu bersama roh seluruh nabi. Pikirannya melayang pada kenangan di tembok ratapan merupakan dinding yang tersisa dari bangunan Bait Suci situs suci bagi umat Yahudi. Kaum Yahudi meyakini bahwa lokasi itu merupakan batu fondasi penciptaan bumi, dan dimana Nabi Ibrahim bersiap untuk menyembelih mengorbankan putranya Ismail.

          Setelah berkelebat kenangan dalam perjalanan tournya ke Yerusalem, sambil tiduran perlahan-lahan bayangan berubah kepada  pulau indah mungil miliknya.  Dari kejauhan bayangan getaran pohon tertiup angin pagi tertimpa kerdipan jutaan bintang membuat pulau itu tampak bernafas. Luasnya sekitar lima hektar membukit menjulang setinggi lima meter. Di puncaknya berdiri rumah induk dikelilingi sembilan rumah kecil, sebuah bangunan dapur  dan sebuah rumah Joglo yang cukup besar dengan meja makan bundar di tengahnya dapat diputar. Laut mengelilingi dengan ombak mengalun menjilati tepiannya. Jarak dari daratan sekitar seratus meter dengan kedalaman air kalau pasang  satu meter dan kalau surut setinggi mata kaki. Ada  jembatan penghubung  agar air pasang maupun surut siapapun dapat melewati menuju rumah yang dianggap sebagai pertapaan. Bagi yang membawa mobil dapat parkir di daratan yang masih berhutan melewati jalan tanah. Sedang yang naik speedboat dapat parkir di tambatan jembatan yang terbuat dari pohon kelapa. Setelah melewati jembatan, ada jalan berundak rendah dan ujungnya berupa gerbang besar melengkung mirip pintu candi. Di kiri depan gerbang ada patung sosok tentara Jepang gagah lengkap dengan senjata bedil serta samurainya. Dan di sebelah kanannya ada patung perempuan memakai jarik serta kebaya Jawa dengan tangan mengatup seolah berdoa menyambut tamu yang datang.  Di pagi ini pun sebuah speadboat putih miliknya tampak terayun pelan tertambat di tiang jembatan yang berhias janur kuning bagai buaian bayi sedang bermimpi.

          Setelah memasuki  gerbang mirip pintu candi, diiringi kokok ayam hutan, debur ombak memukul tepian,  ringik binatang melata kecil di rerumputan dan desah gesekan daun tertiup angin serta semerbak harum bunga, dari pintu belakang rumah yang bertiang ukiran Jepara, Oma Mama  perempuan berumur bangun dari rebahan. Melangkah lima meter menuju kamar mandi yang berada dalam kamar tidurnya. Lalu mencuci wajahnya dan menggosok jajaran gigi utuhnya mirip jajaran peluru mitraliur. Setelah mengeringkan dengan handuk, dirinya melangkah ke lemari pakaian empat pintu di hadapan tempat tidurnya dan berganti mengenakan kemben jarik parang gelap yang diikat menutupi gundukan gunung di dada tanpa memakai baju berjalan ke arah belakang rumah. Dibukanya pintu belakang rumah itu dan melangkah sambil tangannya dibuka mengambil nafas menghirup udara segar.

          Injakan kaki jenjangnya yang bergelang binggel emas putih seberat seratus gram pada rumput renyah memecah pagi buta yang terasa sunyi sepi dan dingin. Setelah melangkah lebih kurang empat puluh meter menuju ke tanjakan gundukan  rendah bertangga sembilan buah, dirinya berhenti. Di atas tanjakan itu tampak sebuah lingkaran marmer bergaris tengah lima meter, di tengahnya tersembul sebuah nisan dari bongkahan batu hitam besar utuh bertuliskan. “Di sini Telah Tidur Dalam Pelukan Cinta: KAWASUKO dan MARHAENI, 17 Agustus !945”. Di belakang nisan itu tumbuh rimbun  pohon-pohon besar, diantaranya tampak pohon durian, nangka, sukun, rambutan, belimbing, sirsak, jeruk, jambu air, duku, mangga juga kelapa mengelilingi pinggir pulau  sebagai tanda buah kesenangan yang dikuburkan serta yang hilang tak tentu rimbanya. Dan dari pohon-pohon rimbun itu  tercium harum buah dan bunga belimbing, mangga, nangka, sirsak, jambu air,  dan jeruk Bali. Tetapi  pohon rambutan dan durian lebih menyebarkan wangi daun karena  harum buah dan bunganya semerbak di akhir tahun. Dari rimbun pohon-pohon itu terdengar suara kicau burung, kokok ayam hutan dan beberapa tokek  bersautan.

          Dalam melangkah perempuan berumur yang wajahnya indo serta kulitnya sedikit  matang itu bersenandung bebas lagu ‘Where have All The Flowers Gone’ lagu protes berpengaruh di dunia. Dengan bebas Oma Mama bernyanyi dan berteriak semerdu-merdunya di pagi buta itu seolah berdoa untuk yang tiada. Tak seorang atau setan pun yang melarangnya. Sambil menatap  kuburan batu besar hitam utuh itu, Oma Hiroshima perlahan-lahan bersimpuh. Lalu mencium batu hitam besar nisan sambil mengisak. Air matanya berderai. Sesekali wajahnya menengadah ke Langit serta kedua matanya mengatup  sambil bibirnya bergetar. Suara lirih terdengar memecah sunyi.

          “Bapak Ibu, aku Hiroshima, anakmu sujud sungkem. Semoga Bapak, Ibu dalam pangkuan hangat Bumi dan Langit. Hari ini, hari terakhir tahun 2017. Aku mengucapkan Selamat Tahun Baru 2018.  Tujuh puluh dua tahun lebih aku rindu kehangatan pelukan Bapak Ibu yang melahirkan diriku. Tujuh puluh dua tahun lebih  aku hanya membayangkan wajah tengkorak  Bapak Ibu. Dan setelah mengikuti suara gaib ke Yerusalem, wajah bapak ibu hanya tampak dalam mimpi. Di pagi buta ini aku menunduk di pusaramu mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu yang telah melahirkan diriku ke dunia ini. Sekarang, tataplah anakmu ini yang bahagia menyongsong tahun baru 2018 dan selalu menyayangimu…”.

          Perlahan-lahan Oma Hiroshima berdiri, lalu membuka kain batik parang gelap yang melilit tubuhnya. Taburan bintang di langit masih tampak berbinar ikut menyaksikan. Selembar kain batik itu pun dibiarkan lepas jatuh ke tanah. Oma Hiroshima telanjang bulat. Tersenyum. Membuka kedua tangannya agar batu hitam besar makam lebih jelas menatap ketelanjangannya. Diusianya yang sudah senja, tubuhnya nampak masih kencang indah mengkilat bagai boneka Barbie. Di bawah pusarnya ada tiga tato warna elok bergambar burung Perkutut, Naga dan Elang. Tato itu menggambarkan simbol suaminya yang hilang. Burung Perkutut melambangkan suami pertamanya bangsawan Jawa berdarah Arab. Naga simbol suami keduanya peranakan Tionghoa dan burung Elang simbol suami ketiganya berdarah Amerika Yahudi. Sedang di tengah payudaranya yang menggantung mirip buah pepaya California  masih terlihat berisi  bagai rudal nuklir Korea Utara yang menggegerkan dunia. Tepat di tengah belahan dada payudara ada tato lingkaran merah dan ditengahnya ada gambar persegi panjang Merah Putih. Tato lingkaran merah merupakan lambang bendera Jepang asal negara Bapaknya dan persegi panjang Merah Putih lambang bendera Indonesia asal negara Ibunya. Semua tato yang ada ditubuhnya dikerjakan oleh sahabatnya seorang ibu yang belajar melukis tato dari Italia. Setelah puas memamerkan tubuhnya, Oma Hiroshima menunduk. Kembali bersimpuh memeluk batu hitam besar nisan. Lalu menciuminya dengan lembut sambil mengelus sayang. Dan saat mengendus  penuh perasaan bercampur doa, dirinya mendengar bisikan lirih lembut suara gadis remaja dan jejaka berkata pelan.

          “Hiroshima, Happy New Year”.

          Oma Hiroshima tersentak. Kaget.  Mendengar suara yang menyapanya, cepat-cepat dirinya mengambil kain jarik parang gelapnya, berdiri,  dan kembali melilitkan ke tubuhnya. Lalu mencoba mencari arah datangnya suara. Kedua mata abu-abunya gemerlap safir mengerdip mencari suara. Demikian pula hidungnya yang mancung mirip pesawat Concord mengendus-endus. Ditatapnya speedboat kesayangannya yang diayun pelan ombak pagi, tak ada orang. Ditatapnya pintu belakang yang tertutup tempat dirinya tadi ke luar juga tak seorangpun muncul. Diamatinya pohon demi pohon kalau ada manusia bersembunyi di baliknya, kosong, Setelah usaha aksi mendeteksi asal suara tidak membuahkan hasil, Oma Hiroshima menatap kembali ke pusara nisan orang tuanya: Kawasuko dan Marhaeni. Sambil menatap batu besar hitam nisan, perlahan Oma Hiroshima membungkuk dan akhirnya merangkul kembali batu besar hitam nisan sambil menggosok-gosokkan hidung pada batu hitam itu. Dirinya yakin suara yang menyapanya tadi adalah suara dari dalam batu besar hitam nisan. Suara lelakinya terasa  masih muda jantan beraksen asing dan suara wanitanya terasa lembut merdu gadis remaja Jawa. Kedua matanya dipejamkan sambil merangkul batu hitam besar nisan semakin erat. Pikirannya melayang jauh saat Pakde Subiantoro kakak ibunya yang memelihara dan membesarkannya bercerita tentang kisah cinta hidup Kawasuko dan Marhaeni orang tuanya.

          “Kawasuko, bapakmu itu gagah, jantan, sedikit brewok, matanya sipit liar, berkulit kuning emas, brangasan tetapi hatinya lembut dan pantas sebagai komandan tentara Jepang. Di pinggangnya selalu menggantung pistol di kanan dan di kiri terselip samurai pendek yang kedua senjata itu telah  kuserahkan  kepadamu sebagai kenangan bahwa kedua benda itulah yang mengakhiri hidupnya. Kuserahkan juga selembar kain batik parang gelap yang dipakai ibumu, saat melahirkan dirimu. Awalnya, Kawasuko, sebagai komandan di daerah lapangan terbang Wirasaba, Purbalingga yang dibangun tentara Belanda pada tahun 1938 berupa landasan pacu berumput karena hanya pesawat terbang perang kecil saat itu yang dapat mendarat. Bapakmu senang menikmati gadis-gadis pribumi yang diculik anak buahnya sebagai hiburan tentara Jepang  dengan sebutan Jugun Ianfu. Suatu petang, seorang gadis menjerit meronta dibawa anak buahnya dan akan diperkosa. Tetapi Kawasuko berteriak memintanya. Anak buahnya menyerahkan dengan terpaksa karena gadis yang diculiknya cantik mempesona. Ingat, kecantikan ibumu itu campuran dari darah bangsa yang pernah datang ke Jawa. Buyut, nenekmu ada berdarah India, Cina, Arab, juga Belanda. Jadi kita ini benar-benar Bhinneka Tunggal Ika dunia bukan keturunan ayam kampung. Ya kita semua adalah bangsa pendatang. Kalau mau asli ya kayak tengkorak Trinil setengah monyet. Dan Jepang menambah lewat Marhaeni, ibumu. Jadi kalau kedua bola matamu abu-abu itu mungkin pengaruh Belanda. Hidungmu mancung mungkin juga kombinasi pengaruh India, Arab dan Belanda. Kuning emas keputih-putihan  kulitmu tentu pengaruh darah Jepang atau Cina. Juga rambutmu sedikit blonda pasti pengaruh Belanda. Nah, aku lanjutkan ceritaku, gadis yang diculik itu pun dibawa ke kamar dan akan dinikmatinya. Setelah memandang paras gadis yang akan dinikmatinya, seperti tersihir, Kawasuko menangis sejadi-jadinya. Paras gadis itu mirip dengan  satu-satunya adik kesayangannya yang tinggal di Hiroshima. Dia memeluk gadis itu sambil menangis meminta maaf dan bercerita dengan bahasa Melayu terbata-bata. Gadis itu pun runtuh hatinya dan ikut menangis. Lalu Kawasuko berjanji bahwa dirinya akan menjadikan istri dan bukan sebagai gadis hiburan. Gadis itu adalah Marhaeni, ibumu. Dan setelah hamil tujuh bulan, barulah Kawasuko, bapakmu, dikawal dengan beberapa orang tentara Jepang anak buahnya serta Gicol anak buah Jawa asal desa candi Borobudur  kepercayaannya membawa Marhaeni mendatangi orang tua dan memohon maaf sambil berkata bertanggung jawab atas perbuatannya. Kiswo, Carik Telaga Wera orang tua Marhaeni, ya orang tuaku, ya kakekmu, marah bercampur gembira. Marah karena satu-satunya putri kesayangannya telah diculik Jepang, dan gembira karena putrinya telah kembali ke pangkuannya meskipun dalam keadaan hamil tua. Sebagai orang tua, Jawa, nasi sudah menjadi bubur. Semua yang telah terjadi adalah takdir. Harus disyukuri. Bahkan, Kawasuko menyembah Kiswo, Carik Telaga Wera, ayahku ya kakekmu, sambil memohon maaf dan berjanji akan sehidup semati. Bayangkan, komandan tentara Jepang berkuasa yang melatih tentara Indonesia menunduk sembah sungkem sambil mencucurkan air mata. Sopan santun tradisi Jepang inilah yang membuat bangsa Jepang menjadi bangsa besar sampai hari ini meskipun kalah perang dengan Amerika. Akhirnya hamil tujuh bulanan itu dirayakan dengan nanggap wayang kulit cerita berjudul Togog Tanding Semar. Seekor sapi pemberian Kawasuko dan dua ekor kambing sumbangan anak buahnya dikorbankan dan menjadi pesta mewah bagi penduduk sedesa yang saat zaman Jepang itu memang compang-camping melarat hidupnya. Buah kelapa muda digambar Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih agar kelak bayi yang dilahirkan rupawan seperti Dewa Dewi itu. Orang tuamu Kawasuko dan Marhaeni  menempati rumah di daerah yang sekarang telah jadi Waduk Mrican. Keduanya bahagia dan sering berkunjung ke Telaga Wera naik mobil jip hijau tentara berbendera Jepang di depannya membawa oleh-oleh dari kota yang tidak ada di desa. Singkat kata, tiada pesta yang tidak berakhir, setelah kehamilan memasuki  sembilan bulan,  bom atom jatuh di Hiroshima. Kawasuko, bapakmu, menangis tersedu-sedu di pangkuan Marhaeni, ibumu, karena yakin bahwa seluruh keluarga termasuk adik perempuan kesayangannya tewas. Mulai saat itulah, Kawasuko limbung dan sering mengigau sendiri. Suatu pagi, saat matahari kemerahan akan terbit, Kawasuko menatapnya dan berteriak dalam bahasa Jepang sambil kedua tangannya menengadah ke matahari di belakang rumah bahwa dirinya, sebagai tentara Jepang tak pernah kalah dan menyerah. Setelah itu, Marhaeni yang melongo sambil mengelus perut buncitnya didatanginya. Diciuminya perut Marhaeni sambil berkata-kata dalam bahasa Jepang yang tidak dimengerti Marhaeni. Pada saat itulah Kawasuko bersumpah kepada Marhaeni bahwa kalau Jepang menyerah, dia akan Seppuku, Harakiri, bunuh diri adat kebesaran Kesatria Jepang. Ibumu hanya mengisak mengeluarkan air mata mendengar sumpah itu. Setelah sumpah itu diucapkan, Marhaeni, ibumu dilatih untuk berani melihat darah. Awalnya diajari memotong ayam. Sebagai gadis Jawa, sebuah pantangan lebih-lebih saat hamil. Bahkan ada kepercayaan kuat apabila istri sedang hamil suami harus berperilaku santun dan tidak boleh membunuh binatang apapun agar anaknya tidak cacat. Beberapa kali latihan memotong leher ayam gagal dan Kawasuko terus melatih Marhaeni sampai akhirnya berhasil. Latihan itupun dilanjutkan ditingkatkan dengan menyembelih angsa yang sedikit lebih besar, disusul kalkun serta biawak dan akhirnya menyembelih kambing. Tentu saja Marhaeni, ibumu, menangis tersedu-sedu bahkan beberapa kali pingsan saat menyembelih. Yang terakhir, Kawasuko mengajari ibumu memenggal kepalanya apabila samurai yang telah dihujamkan merobek jantungnya cepat diikuti dengan memegal tengkuk kepalanya. Marhaeni, ibumu, selalu menolak saat mendapat pelajaran memenggal kepala suaminya. Akhirnya, Gicol anak buah kesayangannya yang menjadi kepercayaannya  diajar memegal kepalanya saat nanti Seppuku dilakukan. Karena Marhaeni ibumu gagal dilatih memenggal kepala, maka Kawasuko, bapakmu, melatihnya menggunakan pistol. Rupanya, Marhaeni, ibumu, punya bakat menembak. Sasaran latihan adalah buah kelapa yang berbuah lebat di belakang rumah.  Akhirnya benar, setelah bom atom jatuh di Hiroshima tanggal 6 Agustus dan jatuh lagi tiga hari kemudian di kota Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945 lalu tanggal 15 Agustus Jepang menyerah. Maka tanggal 16 Agustus, Kawasuko dengan pakaian putih-putih mengadakan upacara Seppuku hanya disaksikan  Gicol anak buah kepercayaannya dan Marhaeni, ibumu, serta mbok Ranten pembantu.  Mendengar niat Kawasuko, ibumu menjerit sejadi-jadinya. Dan di belakang rumah itulah upacara Seppuku dilakukan. Tetapi ketika akan dilakukan, Marhaeni, ibumu, pingsan, sehingga upacara ditunda sehari pada tanggal 17 Agustus 1945, tepat saat Proklamasi dibacakan Bung Karno. Dan sebelum dilakukan Seppuku, Kawasuko berpesan kepada Marhaeni, ibumu, agar bayi yang dikandungnya, lahir laki maupun perempuan agar diberi nama Hiroshima, untuk mengenang tanah kelahirannya dan tanah tumpas seluruh keluarganya. Seppuku berjalan, Kawasuko kembali berkata-kata berdiri menghormat kepada matahari dan setelah itu  samurai pendek dihujamkan merobek dada Kawasuko dengan jeritan doa. Gicol anak buah kesayangannya diminta cepat menghujamkan parang yang telah diasah ke tengkuk Kawasuko seperti yang diajarkan sebelumnya. Rupanya, Gicol tidak sampai hati, sambil menangis parang itupun menghujam meleset ke punggung. Kawasuko menjerit kesakitan. Akhirnya, Marhaeni tidak tahan melihat dan mendengar erangan maut suaminya,  mengambil pistol yang ada di meja dan menembak dua kali di kepala Kawasuko yang sedang sekarat. Kawasuko rebah. Tersungkur. Marhaeni langsung menubruk merangkul Kawasuko suaminya. Pingsan. Rupanya peristiwa Seppuku itu membuat ketegangan jiwa Marhaeni, ibumu, karena merasa yang membunuh suami tercinta adalah dirinya. Jiwanya goncang dan setelah Dhuhur tepat matahari berada di ubun-ubun,  bayi yang dikandungnya lahir tetapi nyawa Marhaeni, ibumu melayang. Bayi itu perempuan. Cantik bersih. Bayi itu adalah dirimu, Hiroshima, nama sesuai amanat Kawasuko, ayahmu. Jadi pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari lahirmu sekaligus hari kematian kedua orang tuamu dan hari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Lalu setelah Ashar saat matahari mulai redup, kedua jenasah itu dikuburkan di belakang rumah itu juga dalam sebuah lubang. Dan sang jabang bayi diserahkan kepada Kakek Nenek di Telaga Wera dengan cucuran air mata. Setelah empat puluh tahun, tepatnya tahun 1985 ketika mendengar akan dibangun Waduk Mrican yang sekarang diberi nama Waduk Panglima Besar Jenderal Soedirman 1987, sebuah kuburan berisi dua orang yakni Kawasuko dan Marhaeni dibongkar dipindahkan. Kamu masih ingat Nduk, Hiroshima, ketika mengangkat dua tengkorak Ayah Ibumu. Sebuah tengkorak ada dua buah lubang bekas tembakan dan pelurunya masih bersarang di dalam tengkorak itu. Kamu menciuminya belepotan tanah kubur sambil meraung menangis. Ya itulah Ayah Ibumu: Sepasang Tengkorak”.

          Kenangan cerita Pakde Soebiantoro sampai kapanpun terus mengiang dan tersimpan indah di benaknya. Juga selain sebuah samurai pendek, sebuah pitol milik Kawasuko, ayahnya saat Seppuku, serta selembar jarik milik Marhaeni, ibunya saat melahirkan, dan dua buah peluru yang bersarang di tenggorak Kawasuko, menjadi benda suci disimpan rapi dalam kotak emas di lemarinya bersama pakaian ketiga suaminya yang hilang tak tentu rimbanya. Dokumentasi foto kedua orang tuanya sudah musnah dibakar ketika rumah kakeknya di Telaga Wera diserbu Tentara Nasional Indonesia dikira sarang mata-mata Jepang.

          Pikiran Oma Mama kembali lagi melayang kepada sikap nekad sekaligus kagum kepada seppuku bapaknya. Tanpa disadari dari cerita Pakdenya juga dirinya mengerti spiritual kedua orang tuanya. Semasa muda dirinya mencoba mempelajari latar belakang Shinto agama Jepang kepercayaan bapaknya secara diam-diam melalui buku. Secara harafiah Shinto berarti ‘jalan para Dewa’, ‘pemujaan para Dewa’, ‘pengajaran para Dewa’ atau ‘agama para Dewa’, agama asli bapaknya, Jepang. Sebuah aliran spiritual asimilasi perpaduan antara agama Budha, agama Konfusius serta tradisi leluhur nenek moyang bangsa Jepang yang meyakini ‘jalan roh’, karena arti kata ‘Shin’ adalah roh dan arti kata ‘to’ berarti jalan. Pikiran  Oma Hiroshima terus melayang membayangkan agama Shinto yang dianut bapaknya merupakan perpaduan antara faham serba jiwa seperti animisme dengan perpaduan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwa semua benda hidup maupun benda mati tetap memiliki roh atau spirit, bahkan dianggap berkemampuan untuk berbicara serta memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan. Agama bapaknya ini mirip dengan agama Kejawen, kepercayaan ibunya, Marhaeni yang dekat kepada alam dan pemujaan kepada roh leluhur nenek moyang. Agama ibunya ini terlihat masih dijalankan Pakde Subiantoro. Pada hari tertentu Pakde bersemedi di dalam kamar gelap sambil membakar kemenyan serta memercikkan air kembang di dalam gelas kepada keluarga termasuk dirinya sambil mengucapkan mantera. Pakde pun bercerita bahwa Marhaeni, adiknya, juga ibuku, semasa remaja sudah melakukan puasa Senin Kamis dan setelah rumah tangga mempelajari ilmu Bidadari agar suaminya tidak lari kepelukan perempuan lain. Lebih-lebih saat dirinya dalam kandungan, olah spiritual ibunya makin khusuk. Kedua orang tuanya menjalankan spiritualnya masing-masing dan saling melengkapi tidak mempertentangkan. Apabila bapaknya berdoa menatap matahari siang hari, ibunya kebalikannya berdoa pada tengah malam menatap bulan bintang. Sementara hari ini, semua manusia dari zaman Tengkorak Trinil tidak seorangpun yang pernah melihat Tuhan dan nabinya tetapi mendiskusikan bahkan saling berperang, membunuh, menghina sesama manusia, menganggap yang disembahnya paling mulia. Lebih ngeri lagi saling membunuh hanya karena wahyu yang diyakini dari Tuhan menjadi senjata untuk saling merebut surga dengan darah manusia. Lalu kemana roh manusia tengkorak Trinil yang tidak beragama dan tidak mempunyai kitab wahyu itu? Apakah ke surga, neraka atau gentayangan?     

          Oma Mama menggelengkan kepala. Dirinya merasa bahwa kedua keyakinan orang tuanya itu telah merasuk ke dalam jiwanya dan kelebatan kenangan itu muncul kembali pada pagi buta di batu besar hitam nisan. Dan kuburan Bapak Ibunya ini pun sengaja dipindahkan ke pulau kecil miliknya yang dibeli dari warisan  ketiga suaminya yang hilang. Kuburan orang tuanya inilah yang menjadi sihir dalam kehidupannya karena dimanapun dirinya berada selalu kuburan orang tuanya ini memanggilnya. Dirinya merasa bahwa kuburan kedua orang tuanya merupakan kiblat hidup serta doanya. Bagi dirinya, kedua orang tuanya inilah yang dipercaya Langit melahirkan dirinya. Dan kepada kedua orang tuanya inilah dirinya selalu bersujud, dan diajaknya bercakap-cakap apabila hatinya sedang sedih atau gembira. Bukan hanya batu besar hitam nisan itu saja diajaknya berbicara, seringkali pohon, bunga, ikan di pantai atau kupu-kupu yang terbang indah disapanya karena dirinya merasa bahwa tanaman atau binatang yang hidup itu Tuhan selalu mempunyai rencana dan mencintainya.  

Lihat selengkapnya