Di pintu gerbang masuk Pulau Tumpeng, Oma Hiroshima bersama Yu Mirah berteriak memberi salam sambil melambaikan tangan menyambut sahabatnya yang masih berada dalam speedboat. Begitu speedboat mendekat ke tambatan dan berhenti, melompatlah sembilan oma satu persatu ke daratan. Semua oma jalan berbaris berjoget melambaikan tangan sambil memanggil nama ibu rumah juga Yu Mirah yang sudah dikenal sebagai asisten pribadinya. Begitu bertemu semua saling mencium pipi kiri kanan. Dan Oma Hiroshima beserta Yu Mirah dengan tangan kanan terbuka mengulur menunjuk ke arah rumah Joglo. Semua menuju rumah Joglo yang ditunjuk. Begitu sampai di rumah Joglo, rombongan disambut ledakan irama musik ‘Suwe Ora Jamu’ melalui dua loudspeaker yang dipasang pada tiang atas pojok kiri dan kanan. Tanpa diminta semua berjoget sambil menggoyangkan pantat berbagai gaya. Sambil berjoget merekapun bernyanyi bersama seperti murid taman kanak-kanak berbaris berputar mengelilingi meja bundar berisi tumpeng beserta hidangan lainnya. Oma Hiroshima tak ketinggalan. Sambil berjoget satu persatu tamunya didatanginya sambil mencubit pipi tamunya sebagai salam persahabatan. Di sekeliling tumpeng tampak buah-buahan dan kelapa muda yang sudah dibuka atasnya berjajar. Sambil berjoget, pikiran dan wajah para oma terlihat tersenyum sumringah.
Oma Hiroshima tampak anggun dengan kebaya warna oranye dan celana putih sutera. Sambil dirinya berjoget suaranya lepas menawarkan agar mencicipi hidangan yang ada di atas meja bundar. Rupanya para oma lebih senang berjoget dan hanya menganggukkan kepala menyambut tawaran ibu rumah. Ketika musik akan berakhir, tiba-tiba terdengar suara tokek yang berada dipohon dekat rumah Joglo berbunyi. Para oma yang berjoget sedikit merespon suara tokek itu dengan memperlambat gerak jogetnya. Dan ketika irama musik berhenti, suara tokek tinggal ujungnya saja. Semua saling pandang. Tetapi kembali lagi suara tokek terdengar dari arah yang berlawanan dari atas pohon, lalu Oma Jamu berteriak.
“Bejo, apes, bejo, apes, bejo, apes, bejo, apes, bejoooooo”.
Suara tokek itu berhenti.
“Oma Jamu, firasat apa suara tokek itu?” Tanya Oma Dubes.
“Suara tokek tadi ada awalannya otok otokkkk tokek dan jatuh ganjil sembilan. Arinya baik. Tokek ini pembawa berkah bukan pembawa sial. Jadi pertemuan kita disambutnya. Ingat, seringkali kita juga harus menghayati tanda alam maupun binatang. Karena itu raja-raja Jawa punya primbon dan primbon ini ditafsirkan oleh kita yang hidup di zaman melinial ini. Ada juga kepercayaan bahwa tokek itu jelmaan hantu dan ada juga yang menafsir jelmaan Dewa, penyembuh penyakit serta pembawa berkah. Juga dianggap jelmaan Naga. Sejarah manusia selalu berada dalam memilih ketegangan itu dalam segala penjuru. Bukankah Tuhan membuat ketegangan juga dengan menciptakan dua kutub yang berlawanan, misal setan malaikat, baik buruk, siang malam, matahari bulan, laut daratan dan sebagainya….”
Belum lagi selesai menerangkan tentang tokek, dan para oma mendengarkan dengan khusuk, tiba-tiba terdengar suara kucing mengeong dari bawah meja bundar. Semua oma tersentak. Lalu meledak tertawanya bersama. Oma Hiroshima cepat-cepat jongkok dan memanggil kucing itu. Kucing itupun datang lalu ditangkap digendongnya seperti bayi. Dielusnya sambil memujinya.
“Ini kucing manja kalau dekat saya. Penginnya digendong. Campuran kucing Anggora dan kucing kampung. Laki-laki. Lihat ini pringsilannya gede…” ujar Oma Hiroshima sambil menunjukkan pringsilan kucing yang digendongnya. Semua oma meledak tawanya mendelik dan berusaha memajukan kepalanya melihat pringsilan kucing lebih mendekat. Oma Bali bahkan memberanikan diri memegang pringsilan kucing itu sambil menggelengkan kepala lalu mengelusnya.
“Kayak manusia laki-laki saja senengnya dielus-elus…..” ujarnya tidak dilanjutkan sambil mukanya lebih didekatkan menatap pada pringsilan kucing itu. Semua yang melihat perilakunya makin tertawa terpingkal-pingkal melihat kelucuan Oma Bali. Melihat gelagat yang makin tidak terkendali, Oma Hiroshima menoleh kepada Yu Mirah sambil memberikan kucing tadi yang mengeong untuk diamankan. Yu Mirah sambil tersenyum menerima kucing itu dan membawanya masuk ke dalam rumah induk. Sebentar kemudian Yu Mirah sudah datang lagi dan tampak Oma Hiroshima mempersilahkan sahabatnya untuk mencicipi makanan yang ada di meja bundar sambil tangannya memotong pucuk tumpeng. Pucuk tumpeng yang telah terpotong itupun diserahkan pada Yu Mirah agar disimpan di dalam rumah sebagai sesaji. Yu Mirahpun kembali menuju rumah induk menyimpan pucuk potongan tumpeng. Ketika Yu Mirah kembali tampak tamunya sudah duduk dengan piring berisi nasi kuning beserta lauk yang disenanginya. Ada brongkos, sambel goreng tempe, udang tepung, srundeng, empal, ayam panggang, sapi lada hitam, sosis serta kulupan pecel dan peyek kacang. Sedang Bu Brongkos dan Pak Brongkos dari rumah dapur tampak berjalan menuju rumah Joglo membawa hidangan dengan baki di tangan masing-masing. Begitu sampai langsung Bu Brongkos dan Pak Brongkos meminta maaf atas keterlambatan menyuguhkan hidangan.
“Maaf agak terlambat, ini masih ada nasi bambu teri panggang dan sayur asem juga kurma Mesir, silahkan diicipi” ujar Bu Brongkos diikuti Pak Brongkos meletakkan baki berisi hidangan bersama bambu yang terpanggang. Rupanya nasi bambu teri panggang itu menarik semua oma yang ada di sekitar meja bundar. Cepat-cepat Oma Cenderawasih berdiri dan mencoba mengambil sebuah kurma Mesir serta mendekati bambu yang berisi nasi teri. Dipegangnya pelan. Tangannya cepat ditarik karena terasa panas. Cepat-cepat Pak Brongkos membantu memegang bambu yang terasa panas itu.
“Cuma hangat, tidak terlalu panas Oma” ujar Pak Brongkos memberi contoh memegang bambu berisi nasi teri. Lalu membuka tutup yang tersumpal daun dan mendorong dari belakang agar nasi yang sudah padat itu ke luar. Setelah itu mengambil piring dari penjalin yang dilandasi daun pisang. Bambu berisi nasi teri itu didorongnya sehingga keluarlah nasi bercampur ikan asin dari dalamnya tumpah ke dalam piring. Para oma yang melihat hampir semua menghela nafas. Bau nasi teri bambu terasa harum menyengat. Oma Cenderawasih mencoba mengambil sejumput dengan tangan kanannya. Lalu dirasakan ke dalam mulut. Senyumnya melebar sambil mengacungkan jempol.
“Rasanya seperti bakar batu di kampung saya dahulu”.
Beberapa oma melihat gelagat Oma Cenderawasih mengacungkan jempol pada berdiri dan mengambil bambu berisi nasi teri itu. Bambu-bambu berisi nasi teri itu satu persatu sudah pindah ke tangan para oma. Beberapa oma terlihat menciumi bambu merasakan aroma baunya. Oma Dosen melihat suasana langsung nyeletuk sambil tersenyum.
“Nasi kuning saja belum habis, masak sudah mau makan nasi bambu? Nanti ronde kedua atau kita bawa pulang sebagai oleh-oleh. Yang penting oleh-oleh spiritual Oma Mama saat ke Yerusalem dan kurma Mesir” ujar Oma Dosen diikuti gerakan maju mengambil dua buah kurma Mesir dan langsung didemonstrasikan masuk ke dalam mulutnya sambil kedua bola matanya kriap kriep merasakan nikmat. Rupanya demonstrasi Oma Dosen itu berhasil menggugah dan beberapa oma terlihat juga maju mengambil buah kurma sambil mengikuti gaya yang sudah di praktekan dengan kedua bola mata kriap kriep. Oma Hiroshima melihat tingkah laku para sahabatnya tampak gembira dan berteriak.
“O ya ada oleh-oleh dari Yerusalem nanti, minyak Zaitun” ujar Oma Hiroshima disambut dengan tepuk tangan sebagian para oma.
“Saya setuju kita fokus cerita oleh-oleh Oma Mama ke Yerusalem. Bagaimana hubungan suara gaib itu dengan realitas perjalanan ke Yerusalem?”
Oma Hiroshima tersenyum menatap Oma Dokter. Ketika Oma Hiroshima bersiap akan bercerita, Oma Haji nyelonong memotong.
“Apakah sampai juga di Masjid Al Aqsa?”
“Serahkan Oma Mama saja yang bercerita secara runut, jangan langsung ke Masjid Al Aqsa. Di gereja saya juga pernah ditawari ke Yerusalem, tapi saya memilih ke Vatikan karena saya Katolik. Kalau ke Yerusalem biasanya Kristen Protestan” kata Oma Pendeta meminta agar Oma Hiroshima runut dalam bercerita sekaligus mengalihkan permintaan Oma Haji. Oma Hiroshima langsung membuka tangannya tanda dirinya akan mulai bercerita sambil tersenyum.
“Oke inilah bedanya, saya ke Yerusalem bukan karena menjalankan sebuah iman, tetapi saya ke Yerusalem karena ada suara gaib yang meminta saya ke Yerusalem lewat mimpi yang menyentak. Bukankah isi kitab purba maupun kitab suci juga berasal dari mimpi dan suara gaib? Apalagi suara itu mengatakan bahwa saya akan bertemu dengan bapak ibu serta ketiga suami saya di Yerusalem. Awalnya saya ragu. Tetapi semua sahabat dan juga tokoh agama maupun tetua spiritual meminta saya mengikuti suara gaib itu. Itupun hampir saya batalkan gara-gara Donald Trump memindahkan ibukota Israel dari Tel Avip ke Yerusalem. Ketika besoknya akan saya batalkan, suara gaib itu datang lagi tengah malam bukan subuh menyentak tidur untuk tetap meminta saya ke Yerusalem. Bedanya, ada bau tanah yang sampai hari ini tetap saya ingat saat mencium tengkorak Bapak dan Ibu yang baru saja diangkat dari kuburannya. Setelah bau itu hilang, saya juga mencium bau aroma harum bunga yang selalu berada di meja sembahyang Honokarno suami saya pertama. Perlahan-lahan bau bunga itu hilang dan berubah aroma harumnya menjadi hio yang selalu berada ditangan Oei Tiong Liong suami kedua saat sembahyang. Sebentar kemudian bau hio itu hilang dan berubah aroma minyak wangi Chanel Coco kesenangan John suami saya yang ketiga apabila berangkat ke gereja. Dari suara gaib yang kedua serta bau aroma tanah kuburan bapak ibu disertai bau aroma ketiga suami itulah saya menjadi berani berangkat ke Yerusalem. Padahal di Yerusalem sedang musim dingin. Mungkin suara gaib kedua ini belum pernah saya sampaikan kepada siapapun termasuk kepada sahabat yang hadir di sini, bahkan kepada Yu Mirah sekalipun. Setelah yakin berangkat ke Yerusalem, saya membuka lemari kenangan yang menyimpan baju-baju tercinta ketiga suami. Saya tidak tahu, tiba-tiba airmata saya berhamburan bagai air bah dan satu persatu baju kenangan suami itu saya usapkan ke air mata. Setelah itu, tengah malam itu juga saya bersimpuh ke makam bapak ibu yang tinggal tengkorak di belakang rumah. Di batu hitam itu saya menangis mencucurkan air mata paling banyak dalam perjalanan hidup saya” kata Oma Hiroshima sambil berdiri dari tempat duduknya dan menunjuk batu hitam yang terlihat dari rumah Joglo. Para oma secara reflek ikut berdiri pula menatap batu hitam sesuai telunjuk Oma Hiroshima. Suasana sedih mulai menjalar. Oma Hiroshima perlahan-lahan duduk kembali diikuti semua tamunya.
“Akhirnya saya berangkat! Jadi saya berangkat bukan panggilan sebuah iman, tetapi panggilan dari suara gaib. Anehnya, setiap saya datang ke tempat sakral ketiga agama itu, di Tembok Ratapan, Gereja Kelahiran Yesus dan Masjid Al Aqsa, muncul kembali aroma bau tanah kubur bapak ibu serta ketiga aroma harum kesenangan suami saat sembahyang tercium hidung sampai ke hati. Selain itu baru pertama kali saya melihat wajah ganteng laki-laki muda gagah dalam pakaian kebesaran tentara Jepang dan gadis cantik memakai kebaya serta jarik batik persis peninggalan ibu yang saya simpan” ujar Oma Hiroshima menutup mukanya sambil menangis tersedu-sedu.
Semua oma menatap Oma Hiroshima. Satu persatu menunduk ikut bersedih. Semua mengetahui riwayat orang tua Oma Hiroshima. Dan semua sadar ikut bersedih bahwa Oma Hiroshima belum pernah melihat wajah orang tuanya. Oma Guru yang masih saudara tua sepupu tak kuat melihat penderitaan Oma Hiroshima akhirnya ikut menangis. Yu Mirah yang mengikuti Oma Hiroshima ke Yerusalem airmatanya mengalir membasahi pipi dan sesekali diusapnya. Lalu Yu Mirah berdiri berjalan mendekati Oma Hiroshima sambil memeluk menguatkan jiwanya. Wajah Oma Hiroshima masih menunduk dan perlahan-lahan mulai kembali tegak. Suasana sedih itu mulai cair ketika terdengar kokok ayam jantan diiringi suara merayu betinanya. Matahari sedikit redup. Mendung tipis menggantung. Perlahan-lahan Oma Hiroshima membuka kedua tangannya kembali seolah menunjukkan suasana tanda dirinya mampu menguasai emosinya.
“Maaf sahabat-sahabat, ternyata suara gaib itu benar. Meskipun lewat mimpi, saya akhirnya diberi petunjuk wajah bapak dan ibu. Wajah bapak ibu yang berupa tengkorak dengan tengkorak bapak tertembus dua peluru langsung berubah menjadi seorang tentara Jepang muda gagah dan seorang gadis imut-imut tersenyum. Dalam mimpi itu bapak dan ibu saling berpelukan…” ujar Oma Hiroshima sambil menahan perasaannya. Suaranya kembali bergetar. Dan sambil menahan perasaannya, bibirnya yang indah itu dicobanya tersenyum. Tetap saja. Meskipun bibirnya mampu menahan perasaannya, air matanya tak terbendung. Oma Hiroshima kembali lagi menunduk sambil memegang dahinya. Melihat gelagat dalam suasana sedih, Yu Mirah cepat-cepat memecahkan suasana .
“Oma-oma, baiknya disambi makan. Biar suasananya menjadi gembira. Ceritanya dilanjutkan nanti saja”.
Rupanya permintaan Yu Mirah disambut meriah para oma. Satu persatu oma menikmati makanan. Bu Brongkos dan Pak Brongkos yang dari tadi berada di pojok luar meja bundar mencoba meladeni tamunya. Bu Brongkos sambil tersenyum berteriak menyuguhkan hidangan sambil memperkenalkan masakannya. Suasana makan yang meriah mencairkan suasana. Oma Hiroshima yang menunduk sudah kelihatan senyumnya dan mengambil kelapa muda menyedot airnya. Lalu kelapa muda itu diletakkan di atas meja dan Oma Hiroshima mengambil piring terbuat dari rotan dilandasi daun pisang. Setelah mengambil nasi kuning langsung dengan sendok besar mengambil masakan brongkos.
“Silahkan dicicipi brongkos asli buatan Bu Brongkos. Ditanggung enak tenan…”.