Pasar Beringharjo, Yogyakarta, 3 November 2008
Pengapnya udara diakibatkan oleh sinar mentari yang secara jumawa berseru ke seru sekalian alam tentang ekistensinya pada ubun-ubun para manusia yang kepanasan, adalah pertanda bahwasanya kehidupan yang dinaunginya sempat terusik. Entah berapa banyak tetes peluh keringat para kuli dan buruh gendong bila dikumpulkan jadi satu wadah, diakibatkan kenarsisan sang mentari yang masih bersinar terang untuk jagat raya sesuai perintah Tuhannya. Itu tentu saja tak menghentikan kegiatan yang sudah berlangsung sejak fajar. Semua masih seperti biasa.
Setidaknya, segalanya tampak biasa saja kala itu di area depan Pasar Beringharjo.
Lalu-lalang di jalan tentu saja membuat para penarik becak berlomba-lomba merayu calon pengguna jasanya. Mulai dari ibu-ibu dengan kerudung ungu dan daster oranye yang tengah kepayahan membawa barang belanjaannya hingga beberapa remaja bau kencur baru selesai sekolah, yang akan membuat para ekspat terpesona dengan kecantikan legam kulitnya, berlari dan tertawa riang di antara himpitan suara para pedagang yang berteriak untuk bisa segera memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melenggang begitu saja melewati kumpulan becak yang berjajar, tak memedulikan kepulan debu di sekitarnya yang mulai meliuk-meliuk secara kongkret.
Hanya ada satu orang yang tak ikut dengan persaingan umat manusia di sekitarnya. Pemuda tanggung itu cukup lama memejamkan matanya. Ia berulang kali menghirup dalam-dalam aroma wilayah yang sudah sangat ia kenal sejak dahulu kala: rasa balsamik bercampur dengan rempah-rempah dan kayu dari olibanum. Tubuhnya duduk dengan sikap santai dan kaki dimiringkan ke arah besi yang menopang tudung hitam yang melindunginya dari sengatan benda yang berpijar beratus-ratus kilometer jauhnya dari bumi. Rambutnya yang merah kecoklatan sesekali bergerak mengikuti embusan angin yang hanya muncul semaunya.
Lalu ia membuka matanya, tepat ketika pemuda itu mendengar logat tidak asing yang jaraknya hanya sekitar satu meter jauhnya. Bibirnya yang tipis berwarna merah muda langsung menyeringai lebar dari telinga ke telinga. Ia melompat turun dari kereta penumpang, menjejakkan sepatu ke aspal yang panas di depan Stadsklok, lalu menyambut suara itu dengan antusias.
“Meneer, heb je een rit nodig naar Kotabaru?1”
Sepasang insan yang tengah berdiskusi dengan bahasa Belanda itu menengok ke arahnya. Mereka sama-sama memakai boots tinggi yang terlihat apik, kacamata hitam, dan topi sebagai pelindung panas. Pakaiannya terlihat sederhana dengan kaos lengan pendek dan celana pendek. Tetapi dari cara mereka membuka peta umum Yogyakarta, ia tahu bahwa kedua orang yang tengah memanggul tas carrier yang masih terlihat sangat bagus adalah pelancong pemula.
“Kamu bisa bantu?” tanya pemuda dengan brewok pirang terang. Si pemuda berambut merah memerhatikan tangan si brewok yang melipat kembali peta itu.
“Petanya kurang membantu, ya?” tanya si pemuda berambut merah. Perempuan berambut coklat yang sepertinya merupakan pasangan si brewok mengangguk. Suaranya ternyata cukup berat ketika ia berbicara.
“Kami ingin pergi ke penginapan. Kira-kira dari sini ke arah mana?”
“Ah, kalian bisa naik ini,” kata si pemuda berambut merah, menunjuk becak yang sebelumnya ia naiki. “Tukang becak bisa bantu mengantar sampai tempat tujuan.”
“Hoe veel?2”
“Dertiegduizend,3” tawar si pemuda berambut merah. Kedua pelancong itu bertatap-tatapan, terlihat ragu.
“Bukankah Kotabaru dekat dari sini?”
Si pemuda berambut merah mengangkat bahu. “Memangnya mau ke mananya?”
Ketika si perempuan berambut coklat memberikan alamat hotelnya, si pemuda berambut merah mengangguk-ngangguk. “Ah, di sekitar situ sedang ada perbaikan jalan, jadi terpaksa berjalan memutar. Tarifnya jadi agak mahal.”
Mereka kembali bertatapan, kemudian menyetujui tawaran si pemuda berambut merah. Setelah mereka menaiki becak, si pemuda berambut merah melambaikan tangannya pada seorang bapak berkulit sawo matang paruh baya yang berjongkok di emperan Malioboro. Bapak berpakaian sahaja itu menghampirinya.
“Ke guesthouse Ndalem Kotabaru ya, Pak Topo,” logat si pemuda mendadak berubah medok. Ia kemudian berbisik ke telinga bapak itu meski menyadari bahwa kedua calon penumpang tak akan mengerti omongannya. “Tadi tarifnya tigang doso, 20% kanggo kulo, njih. Santai mawon, Pak, mereka enggak buru-buru. Mau berlama-lama menikmati jalanan Jogja, katanya.”
“Siap, cah bagus,” si bapak memberikan lembar lima ribuan dan seribuan dari kantung kausnya pada Richard, merasa senang dapat order di siang terik ini. Jarang-jarang ia mendapat kesempatan seperti itu mengingat ia dan kawan-kawannya memiliki pakem tertentu dalam menarik penumpang: sama rata sama rasa. Semua pengayuh becak harus mendapat kesempatan yang sama dalam menawarkan jasanya pada calon penumpang yang hendak berpergian ke area pusat batik atau Kampung Patuk untuk membeli bakpia. Tidak boleh ada yang namanya rebutan.
Maka terkadang Pak Topo bisa menunggu berjam-jam agar bisa mendapat order kesekian. Meski menguntungkan bila ia mengajak para turis pergi ke toko oleh-oleh yang menjadi rekanannya, tak semua toko oleh-oleh bersedia bekerja sama dengan pengayuh becak dan memberikan komisi. Pak Topo selalu senang jika si cucu juragan batik itu mampir sepulang sekolah. Pemuda itu selalu memiliki cara ajaib yang turut membantu para pengayuh becak Tugu Ngajaman mengais rezeki. Pak Topo yang sudah lama mangkal di tempat itu tahu persis bahwa di balik penampilannya yang asal dan cuek, si pemuda berambut merah itu mewarisi otak bisnis dan kedermawanan salah satu tokoh batik terkemuka di Yogyakarta.
Richard melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore. Apakah sudah selama ini ia mangkal di pasar? Sepertinya sudah waktunya ia pulang.
Ia mengucapkan pamit pada beberapa pengayuh becak kenalannya, mencangklong ransel, dan berjalan lurus menuju trotoar Malioboro menuju Tugu Yogyakarta yang padat oleh pedagang. Tiba-tiba ia merasakan getaran di ponselnya. Ia mengambil ponsel itu dari saku jeans-nya.
“Saat ini Tuan Richard Wibowo sedang sibuk, silakan hubungi lagi setelah transfer ke rekening. Matur nuwun.”
“Rekeningmu asem!” Suara di seberang memaki. “Ditelepon kok enggak diangkat-angkat? Mau hijrah enggak balik-balik kayak Bang Toyib?!”
“Lha, Mbakyu, galak tenan sih,” ia menjauhkan telinganya yang sempat agak berdenging. “PMS malah dipelihara, mending jenglot aja sekalian! Kaya dari pesugihan lagi ngetren sekarang.”
“Ngaco!” suara medok Maria, kakak sepupunya, makin sewot. “Hhh, kenapa malah jadi ngomongin jenglot? Iki lho, kowe ngendhi? Oma nyariin!”
“Menopo to?” Ia kemudian mengeraskan suaranya ketika tangannya melambai ke arah bus Kopata yang akan membawanya ke sekitaran Alun-Alun Kidul. Kakinya segera berpijak ke bagian belakang bus merah yang masih kosong. Angin semilir kembali mempermainkan anak-anak rambutnya dari jendela dan lubang pintu yang lebar.
“Tante nelepon tadi, yang angkat itu Oma. Dikira sudah pulang, biasanya kalau main juga laporan dulu. Kamu lagi kelayapan sekitar tokonya Eyang?”
“Tante Vivi?”
“Bukan! Maksudku… Tante Ulrike!”
“Hah? Ngapain nelepon dari alam kubur?”
“Heh, bercandanya tuh ora kira-kira, ya?” Maria menghela napas, masih kesulitan mengikuti gaya bicara adik sepupunya yang satu itu. “Tante Ulrike tadi nyariin kamu. Oma bilang ke Tante, sekalian nanti malam saja kalau mau bicara. Buruan pulang gih, semua sudah ngumpul buat ulang tahun kamu, nih!”
Richard memicingkan kedua matanya. Apa maksudnya?
Namun sebelum ia sempat berbicara lagi, sambungan telepon sudah tertutup. Ia memandang ponselnya agak lama sebelum memasukannya lagi ke saku jeans. Ibunya menelepon?
Ketika layar ponselnya yang kecil mati, ia kemudian menekan sebuah tombol untuk menyalakan hingga warna birunya kembali menyala. Tertera tanggal di layar digital itu: 03/11/2008. Jika memang benar ini sebuah kejutan yang disiapkan oleh keluarga Pakdenya untuk ulang tahun ketika ia pulang, tak tahu lagi dirinya harus memperlihatkan topeng mana dari sekian ribu wajah yang ia miliki hingga hari ini.