Omah Abu

Azzahra R Kamila
Chapter #2

Serpihan Kedua

1 tahun yang lalu, Holland Village, Singapura, 3 November 2007

“Richie, kamu mau belajar nyetir?”

Suara dari benda panjang berwarna hitam di tangannya masih belum terhenti.  Jari-jarinya masih sibuk memijit tombol-tombol, dan karena terlatih, Richard bisa mengalihkan perhatiannya sesaat.  “Tumben banget, tiba-tiba baik.”

“Supaya kamu bisa ke mana-mana pakai mobil Tante,”  Vivian memutar kemudinya ke arah kanan jalan untuk menyusuri Farrer Road.  “Kadang lebih enak pakai mobil daripada MRT.”

“Usia legal buat nyetir di sini 18 tahun.  Richie kan baru 16 tahun.”

“Tante belajar nyetir pas seusia kamu, kok,” Vivian menaikkan kedua sudut bibirnya.  “Eyang yang ngajarin.”

Keponakannya mengerutkan dahi.  “Jangan disamain dong, Richie kan enggak tinggal di Jogja.”

“Kita bisa coba habis check up.”  Mobil berhenti dengan mulus tepat ketika lampu merah di perempatan menyala.  “Cari tempat sepi, putar-putar dulu sekitar situ.”

Richard kemudian mengambil ponsel kecil dari saku celana jeans-nya, tampak memijit beberapa tombol, lalu menekan layarnya ke telinga kiri.  “Halo, Oom Thomas?  Ini istrinya dijeblosin aja ke LP Cipinang.   Dia  melakukan hal enggak senonoh sama anak di bawah umur.”

“Richie!”  Mata coklat Vivian melotot.  “Kamu enggak beneran nelepon Mas Tommy, kan?”

“Tante cuma mau manfaatin keponakan,”  ia mengerang.  “Pakai taksi aja sih, Tan.  Ujung-ujungnya pasti kecipratan repot juga.”

“Taksi enggak bisa tiba-tiba muncul kalau butuh!  Gimana kalau air ketubannya keburu pecah sebelum sampai rumah sakit?”  Tantenya masih berargumentasi.  “Dari rumah ke rumah sakit cuma 6 menit, kok.  Enggak akan ada polisi yang nilang!”

Hanya butuh waktu sedetik baginya untuk kembali menempelkan ponsel ke telinga.  “Halo, malaikat?  Tolong rekam baik-baik–”

Fine, Tante cari taksi aja nanti,”  wanita berambut pirang itu mengangkat tangannya tanda menyerah.  “Hhh, kamu tuh ada-ada aja!  Biar supir taksinya yang ngepel sisa air renang adik sepupu kamu kalau tiba-tiba bocor.”

“Tante mending pulang ke Jogja sebelum hamil tua,”  Richard memberi saran. “Oma lebih berpengalaman ngurus lima anak.”

“Terus kamu gimana?  Masih sekolah, ditinggal sendirian pula… terakhir Tante ninggalin kamu cuma beberapa jam di rumah, malah kena semprot tetangga sebelah!”

“Richie bisa numpang tinggal di tempatnya Fifin.”

Vivian memutar bola matanya.  “Richie, perlu Tante ingatkan lagi apa yang terjadi terakhir kali kamu menginap di sana?  Satu set alat masak punya Teh Kemala rusak buat jadi alat percobaan IPA.  Itu alasannya Tante potong uang jajan kamu, untuk ganti rugi.”

“Tante Vivi, untuk mencari jawaban atas misteri alam ini akan selalu membutuhkan tumbal.  Wajan itu diperlukan untuk menyanggah hukumnya Priestley.”

“Richard Triendl Wibowo!” Teriakan lima oktaf itu langsung menghardiknya.  “Kalau kamu bikin repot Tante selama masa kehamilan, bakal Tante kirim kamu ke Nusakambangan!”

“Jadi gitu ya, selama ini.”  Keponakannya tiba-tiba menutup seluruh wajah dengan jari-jarinya yang ramping dan kurus.  Bahunya berguncang dengan suara napas yang terdengar sesenggukan.  “Ternyata Richie jadi anak adopsi sebagai pencitraan karier Oom Thomas.”

“Enggak usah pura-pura nangis, kamu enggak akan bisa nipu Tante lagi!”  Tantenya masih mengomel.  Suara klakson dari belakang menyahut-nyahut karena lampu hijau sudah menyala sejak tadi.  Gerutuan wanita yang merupakan walinya selama 9 tahun masih terdengar dengan nada oktaf yang sama, memaki-maki penduduk Singapura yang rata-rata tidak sabaran dan suka ngebut di jalanan.  

Siang itu, setelah pulang kebaktian dari gereja, gerombolan mobil di Holland Road terlihat  padat merayap.   Persimpangan dari Holland Road menuju Holland Ave selalu ramai di akhir minggu karena menjadi destinasi favorit para ekspat dan penduduk lokal untuk menghabiskan waktu dengan berbelanja dan berwisata kuliner.  Kultur yang ditawarkan oleh Holland Village tidak bisa ditolak.  Bagaimana tidak?  Diapit oleh kehijauan Bukit Timah yang seperti taman safari dan Queenstown yang merupakan lingkungan perumahan bersahaja, Holland Village adalah kawasan Bohemian bagi yang ingin lebih bebas menikmati hidup. Setidaknya bagi orang-orang yang menginginkan pusat hiburan chic namun terjangkau, surganya tepat di area tempat tinggal Vivian Wibowo.   

Lihat selengkapnya