Satu teriakan melengking memenuhi ruang keluarga tiba-tiba. Zea yang baru 2 detik menempelkan pantat di karpet rasfur hijau stabilo berjengit kaget hingga menutup kedua telinga dengan refleks. Sementara itu, mamanya berlari tergopoh-gopoh dari koridor ruang belakang. Meninggalkan pekerjaannya di dapur.
“Oma! Oma kenapa?!” Zea bergegas berdiri dan menghampiri wanita berusia 67 tahun yang tengah duduk di sofa panjang, benda yang digunakannya untuk bersandar. Wajahnya langsung pucat pasi melihat reaksi bengong dan tubuh beku Meutia.
Sesaat kemudian, bola mata Meutia bergulir ke arah Zea. Membuatnya mendapat pelototan menuntut jawaban.
“Ma, Oma?” Suara mamanya Zea terdengar dekat. “Oma kenapa, Ze?”
Secepat kilat Meutia memutar kepala ke arah sang menantu. “Dewiii!” Suaranya seperti menahan tangis. Wajah terlihat meringis dan indra penglihatannya memancarkan kesedihan.
Bukannya menyahut, Dewi dan Zea malah saling pandang.
“Dew, Ze!” Meutia mengguncang lengan kiri cucunya. Membuat kontak tidak kasat mata di antara ibu-anak itu terputus. Mereka menoleh cepat ke arahnya. Sekali lagi, dia mengguncang lengan Zea dengan sedikit lebih kencang. “Ze, aku berhasil ke level 60!”
Sejurus kemudian, Zea mendongakkan ponsel agar layar terlihat olehnya. Dengan tampilan terbalik, dia bisa membaca di situ tertulis, “LEVEL UP! Congratulation! You are now a level 60 farmer!
Di bawah rangkaian huruf tersebut, terdapat gambar di-zoom berupa permen, berlian, dan entah apa lagi—Zea tidak tahu.
Tubuh tegang Zea dan Dewi menjadi lemas seketika. Zea terduduk di karpet, sedangkan mamanya bertimpuh dengan pantat meleset ke lantai. Meskipun tidak melihat apa yang terpampang di layar seperti Zea, mamanya langsung tahu arah sahutan tersebut.
Detik ini, perempuan berambut hitam pendek itu menatap layar di genggamannya dengan penuh binar. Seolah dia baru berhasil memenangkan lomba bergengsi tingkat internasional.
“Ya, Allah, Oma …,” gumam Dewi nelangsa, merasa tertipu juga.
“Omaaa!” Giliran gadis remaja di hadapannya yang berteriak. Wajahnya memerah menahan kesal. Dia mengira tadi ibu mertuanya itu sakit tiba-tiba.
“Apa, sih, Ze?” Meutia merasa terganggu.
“Ih!” Zea membalikkan badan dan mengempaskan tubuh ke sofa sebagai sandaran. “Zea kira tuh Oma sakit! Main game aja pakai teriak-teriak, sih! Norak!”
Tahu ini akan berujung pada lempar-melempar pembelaan diri, Dewi bangkit dari duduk. Dia sempat terkejut saat sadar tangan kirinya masih menggenggam batang bayam yang belum selesai dipetik.
Melihat hijau-hijau bergerak dari sudut mata, Zea melirik. Lantas menertawakan mamanya, tetapi sembari menyalahkan sang oma. Bibirnya tertarik ke atas, menahan ledakan tawa supaya uang jajan tidak terpotong. “Pfft—Oma, tuh, lihat! Saking paniknya, Mama sampai bawa-bawa bayam mentah ke sini.”
Mata Meutia melirik sekilas sebelum Dewi beranjak kembali ke dapur. Tidak peduli, dia kembali pada layar ponsel yang sedang menampilkan halaman Hay Day. Matanya menatap game di sana dengan penuh takjub. Baru kali ini dirinya menyamakan kedudukan dengan sahabat Zea yang sering sekali main ke rumah bergaya mediterania dengan jendel-jendela besar ini.
“Ze, Erlan kapan main ke sini? Tanyain gih! Aku mau pamer ke dia,” ucap Meutia seraya memainkan level barunya. Lagak kepalanya geleng-geleng, sementara bibirnya tersungging senyum bangga.
“Dih, pamer! Kayak bocah aja,” celetuk Zea seraya membenarkan posisi kerah kaus putih bergambar koala dengan tulisan negara asal hewan tersebut.
Oma menunda menjual selai nanas. Kepalanya agak tertarik ke belakang dan berkata, “Dih, sewot! Aturan kamu tuh ikut senang lihat aku bisa selevel sama Erlan.”
“Dih! Dari usia aja kalian beda jauh, Omaaa.” Cucu remajanya tidak mau kalah.